JAKARTA - Sekretaris (Ses) NCB Interpol Polri 2013-2015, Komisaris Jenderal Polisi (Purnawirawan) Setyo Wasisto menjelaskan upaya menangkap buronan korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali, Joko Soegiarto Tjandra.

Ia mengungkapkan adanya informasi Joko Tjandra akan menghadiri pernikahan anaknya di Korea Selatan dalam sidang lanjutan kasus penghapusan nama Joko Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO) dengan Terdakwa Brigjen Prasetijo Utomo di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (23/11/2020).

Dalam sidang pemeriksaan ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan empat orang saksi. Salah satu saksi yang diperiksa awal secara terpisah dengan saksi lain adalah Setyo Wasisto. Dan tiga lainnya adalah 1) Kepala Kantor Imigrasi Jakarta Utara, Sandi Andaryadi; 2) Pegawai Ditjen Imigrasi, Fery Ardiansyah; 3) supir (wiraswasta) Winarno alias Wiwid.

"Terkait status red notice Joko Tjandra, apa saudara pernah membuat surat atas nama yang bersangkutan tadi, terkait dengan pencegahan penangkapan atau cekal selama menjabat?" tanya anggota tim Jaksa Penuntut Umum kepada Wasisto dalam sidang Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, diikuti Gresnews.com, Senin (23/11/2020).

Saksi Setyo Wasisto menjelaskan pernah menyurat ke Interpol Taiwan karena saat itu ada informasi terdakwa Joko Tjandra sering pergi ke sana. Sehingga NCB Interpol Polri meminta bekerja sama dengan Interpol Taiwan untuk meminta atensi atau perhatian.

Kedua, Wasisto pernah menyurat ke Interpol dan perwakilan polisi Korea Selatan. Ia mendapat informasi anak Joko Tjandra akan menikah di Korea Selatan.

Jaksa kemudian menanyakan peristiwa di Taiwan itu kapan tahunnya. "Dalam kurun waktu jabatan saya, saya lupa. (Di) Taiwan 2014, Korea 2015 kalau gak salah," jawab Wasisto.

Jaksa menanyakan apakah pada 2015 status red notice Terdakwa Joko Tjandra masih berlaku. Wasisto mengatakan bahwa dia melakukan surat menyurat dengan merujuk nomor kontrol red notice Terdakwa Joko Tjandra dan itu selalu ia tembuskan ke NCB Interpol Lyon Perancis.

"Dan tak pernah ada penolakan yang berarti menurut saya masih berlaku," kata Wasisto. Red notice tersebut masih berlaku hingga selesai Wasisto menjabat.

Wasisto mengakui pernah membuat surat ke dalam negeri terkait penangkapan atau memasukkan DPO atas nama Joko Tjandra pada tahun 2015.

Surat itu ia kirimkan ke Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi tanggal 12 Februari 2015. Dengan alasan mendapat laporan dari anggota bahwa orang tua Joko Tjandra meninggal dunia dan disemayamkan dirumah duka di Jakarta. Selain itu, berdasarkan referensi 1) Red notice; 2) NCB Interpol Polri menjelaskan bahwa Joko Tjandra adalah buronan atau DPO Kejagung.

"Kami juga mencantumkan ada dua identitas, karena kami mendapat ada adendum dari red notice adanya identitas baru dari yang bersangkutan (Joko Tjandra) dan nomor paspor yang bersangkutan dari negara Papua Nugini," tutur Wasisto.

Selanjutnya, jaksa mencecar saksi, bagaimana respons dari pihak Imigrasi dari surat yang dikirimkan oleh Wasisto tersebut. Menurut Wasisto, tidak ada surat balasan tetapi ia langsung bergerak karena ada tim Interpol, Bareskrim, Kejagung dan Imigrasi.

"Kami ingat betul mendapat laporan pelaksanaan tugas kegiatan tersebut, baik di rumah duka, pemakaman maupun Bandara Halim. Ternyata nihil tidak diketemukan," ujar Wasisto.

Selain itu, Jaksa mempertanyakan, apakah nama Joko Tjandra ada atau tidak dalam sistem imigrasi saat itu. Wasisto mengakui tidak tahu. Ia saat itu hanya mengingatkan dan berharap ada potensi Joko Tjandra masuk ke Indonesia karena orang tuanya meninggal.

Wasisto pun mengakui pernah membaca surat pada saat pemeriksaan di penyidikan. Ia pernah ditunjukan beberapa surat Divisi Hubinter Polri April tahun 2020. Hal itu terkait penyampaian informasi pembaharuan data, penegasan Interpol berwenang mengajukan red notice.

Diketahui, Joko Tjandra didakwa telah menyuap dua jenderal polisi guna membantu menghapus namanya dari daftar DPO yang tercatat di Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM.

Mantan Kepala Koordinasi dan Pengawasan (Karo Korwas) PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo didakwa menerima suap dari Joko Soegiarto Tjandra. Prasetijo disebut menerima US$150 ribu karena mempertemukan kolega Joko Tjandra, Tommy Sumardi, dengan mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri Irjen Napoleon Bonaparte dengan agenda penghapusan red notice.

Perkara itu bermula saat Joko Tjandra meminta bantuan rekannya yang bernama Tommy Sumardi mengenai penghapusan red notice yang ada di Divhubinter Polri. Sebab, Joko Tjandra yang saat itu berstatus buron perkara pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali tengah berada di Malaysia dan ingin ke Indonesia untuk mengurus upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tommy Sumardi pun meminta bantuan Brigjen Prasetijo.

Brigjen Prasetijo kemudian mengenalkan Tommy Sumardi pada Irjen Napoleon Bonaparte yang saat itu menjabat sebagai Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadivhubinter) Polri. Dalam pertemuan itu, Napoleon mengatakan red notice Joko Tjandra bisa dibuka asal disiapkan uang Rp3 miliar.

Tommy Sumardi lalu melaporkan hal itu ke Joko Tjandra yang dibalas langsung dengan mengirimkan US$100 ribu. Lalu Dia mengantarkan uang itu ke Napoleon ditemani Prasetijo.

"Dan saat itu uang dibelah dua oleh terdakwa dengan mengatakan `ini buat gw, nah ini buat beliau sambil menunjukkan uang yang sudah dibagi dua," ujar jaksa saat membacakan surat dakwaan dalam persidangan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (2/11/2020).

Dalam perjalanan Prasetijo mengambil US$50 ribu sehingga Tommy Sumardi hanya membawa US$50 ribu untuk Napoleon. Uang itu akhirnya ditolak Napoleon.

Tommy Sumardi menyerahkan sisa uang yang ada sebanyak US$50 ribu. Namun Irjen Napoleon Bonaparte tidak mau menerima uang dengan nominal tersebut. Napoleon minta menaikkan nominalnya. Kemudian mereka meninggalkan ruang Napoleon.

"Selanjutnya sekitar pukul 16.02 WIB Tommy Sumardi dan Brigjen Prasetijo dengan membawa paper bag warna gelap meninggalkan gedung TNCC Mabes Polri," tutur jaksa.

Perkara red notice Interpol Joko Tjandra pada akhirnya selesai ditangani Irjen Napoleon. Lalu masih pada Mei 2020 Brigjen Prasetijo menghubungi Tommy Sumardi untuk meminta uang.

Tommy datang menemui Prasetijo sambil membawa uang US$50 ribu dan diserahkan Tommy ke Prasetijo di ruangan kerja Prasetijo. "Sehingga total uang yang diserahkan oleh Tommy Sumardi kepada terdakwa Brigjen Prasetijo adalah sejumlah US$150 ribu," tutur jaksa.

Sementara itu data penghapusan red notice lantas digunakan oleh Joko Tjandra untuk masuk wilayah Indonesia dan mengajukan Peninjauan Kembali pada Juni 2020 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

AkhirnyaJoko Tjandra ditangkap berkat kerja sama antara Polri dan Polisi Diraja Malaysia (PDRM). Joko Tjandra ditangkap pada Kamis (30/7) dan Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo turun langsung membawa Joko Tjandra dari Malaysia.

Atas perbuatannya Prasetijo pun didakwa melanggar Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan/atau Pasal 11 atau Pasal 12 huruf a atau b UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. (G-2)

BACA JUGA: