JAKARTA - Majelis hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam putusan sela tidak menerima eksepsi atau nota keberatan yang diajukan pihak terdakwa, yakni mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Pol Napoleon Bonaparte. Kasus yang melibatkan Napoleon itu terkait dugaan penerimaan uang sejumlah SG$200 ribu dan US$270 ribu untuk pengurusan penghapusan red notice Joko Soegiarto Tjandra, buron kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali.

"Menyatakan keberatan tim penasihat hukum terdakwa tidak dapat diterima. Menyatakan sah surat dakwaan penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Nomor Reg: prek pds 10/m.1.14/ft.1/10/2020 tanggal 23 Oktober 2020 sebagai dasar pemeriksaan dan mengadili perkara Tipikor atas nama Terdakwa Napoleon Bonaparte," kata Ketua Majelis Hakim Muhammad Darwis dalam persidangan yang diikuti Gresnews.com, Senin (23/11/2020).

Atas dasar tersebut, majelis hakim memerintahkan jaksa pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan untuk melanjutkan sidang mendatang ke tahap pemeriksaan saksi. Selain itu juga menangguhkan biaya perkara sampai putusan akhir. Salah satu pertimbangan hakim, eksepsi pengacara Napoleon dianggap sudah memasuki pokok perkara.

Hakim menilai secara keseluruhan uraian dakwaan dalam surat dakwaan penuntut umum Nomor Reg: prek pds 10/m.1.14/ft.1/10/2020 tanggal 23 Oktober 2020 baik dakwaan alternatif pertama atau kedua-atau kelima telah disusun secara cermat, jelas dan lengkap sehingga memenuhi ketentuan Pasal 143 Ayat (2) huruf A dan B UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana oleh karena surat dakwaan tersebut adalah sah dan dapat diterima sebagai dasar pemeriksaan perkara ini.

Napoleon sebelumnya didakwa melakukan perbuatan tindak pidana korupsi bersama-sama dengan mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo dan pengusaha Tommy Sumardi.

Jaksa menuturkan kasus suap ini dilatarbelakangi ketika pada 2015 Sekretaris National Central Bureau (NCB) Interpol Indonesia pada Divhubinter Polri yang dijabat oleh Brigjen Pol Setyo Wasisto bersurat kepada Dirjen Imigrasi mengenai Joko Tjandra yang diperkirakan akan masuk ke Indonesia.

Berdasarkan surat tersebut, Direktur Penyidikan dan Penindakan Keimigrasian pada Ditjen Imigrasi menginstruksikan kepada Kepala Kantor Imigrasi seluruh Indonesia melalui Surat Nomor IMI.5.GR.02.06- 3.20135 tanggal 12 Februari 2015 untuk melakukan tindakan pengamanan dan berkoordinasi dengan aparat Kepolisian setempat untuk dilakukan tindakan hukum terhadap Joko Tjandra.

Sekitar April 2020, Joko menghubungi pengusaha Tommy Sumardi agar bisa masuk wilayah Indonesia secara sah untuk mengurus Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang menghukum Joko dengan pidana penjara 2 tahun dan denda Rp15 juta subsider 3 bulan.

Tommy kemudian menghubungi Brigjen Prasetijo yang menjadi pintu masuk untuk berkoordinasi lebih lanjut dengan Napoleon selaku Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri.

Sementara Napoleon mengaku dizalimi oleh pejabat negara atas perkara yang menjeratnya. Ia berpendapat bahwa DPO bukan merupakan kewenangannya selaku mantan Kadivhubinter Mabes Polri.

Lagi pula, kata dia, status red notice atas nama Joko Tjandra Nomor: A-1897/7-2009 telah terhapus dari sistem basis data Interpol sejak 2014 karena tidak ada perpanjangan dari Kejaksaan RI sebagai lembaga peminta.

"Saya merasa dizalimi melalui teks oleh pemberitaan statement pejabat negara yang salah tentang tuduhan menghapus red notice," kata Napoleon dalam persidangan, Senin (9/11). (G-2)

BACA JUGA: