JAKARTA - Mantan Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) Harry Prasetyo mengatakan penyebab perusahaan mengalami gagal bayar sejak 2018 adalah karena tidak lagi melakukan penjualan. 

"Tidak beroperasi sebagaimana mestinya. Tidak berjualan," kata Harry dalam persidangan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (3/9/2020).

Harry menjelaskan Jiwasraya memiliki beberapa produk asuransi seperti produk pensiun, produk tradisional, produk kesehatan, dan saving plan.

"Itu tidak berjualan lagi karena apa?" tanya Ketua Majelis Hakim Rosmina.

"Itu yang saya tidak paham kenapa manajemen yang baru tidak lagi berjualan," jawab Harry.

Harry menyatakan ia mengetahui Jiwasraya tidak lagi berjualan melihat dari pemberitaan media. Pencapaian premi menurut manajemen per Juni 2018 tidak mencapai target. Meskipun dari Juni 2018 sebenarnya masih ada produk yang diperjualkan. "Tapi kelihatannya dihentikan. Karena dianggap merugikan," katanya.

Hal itu berbeda dengan yang ia lakukan saat menjadi direksi Jiwasraya periode 2008-2018. Kondisi Jiwasraya berkembang dengan sangat baik sejak 2008 hingga terakhir kali menjabat yakni pada 15 Januari 2018.

"Posisi laporan keuangan itu sangat baik dengan RBC (risk based capital/tingkat solvabilitas) yang tadinya minus 580% menjadi plus, kurang lebih 200-an%. Itu suatu prestasi bahwa kami menghidupkan kembali mayat hidup yang sudah takkan mungkin kembali hidup," kata dia.

Sebagai informasi, tingkat solvabilitas perusahaan asuransi konvensional baik untuk sektor asuransi jiwa maupun asuransi umum minimum sebesar 120%.

Harry pun menjawab kaitan dirinya dengan Heru Hidayat (Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Tbk/TRAM). Harry pernah mendapat laporan dari Syahmirwan bahwa NAB (harga saham) atas Reksa Dana Penyertaan Terbatas (RDPT) naik. Sehingga ia ingin tahu apa yang menjadi underlying RDPT tersebut pada sekitar Januari 2009. Pada saat itulah Harry baru tahu bahwa saham-saham yang menjadi underlying RDPT berada di bawah kendali Heru Hidayat.

Sebelumnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) Roni menanyakan apakah Harry pernah memerintahkan mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya Syahmirwan untuk melakukan pembicaraan dengan Heru Hidayat terkait investasi saham yang akan dibeli Jiwasraya ketika itu.

"Saya tidak pernah memerintahkan kepada saudara Syahmirwan untuk berhubungan dengan Pak Heru Hidayat atas pembelian saham-saham," kata Harry.

"Ini benar nggak keterangan saudara dalam BAP (nomor 37) dan alasan saudara mencabutnya apa?" tanya Roni.

"Karena saya tidak memerintahkan langsung ke saudara Syahmirwan untuk berbicara langsung dengan Pak Heru Hidayat," kata Harry.

"Saudara Syahmirwan bagaimana keterangannya, pernah saudara diperintahkan oleh saudara Harry Prasetyo untuk bertemu dengan atau berbicara dengan Heru Hidayat?" tanya Roni ke Syahmirwan, yang juga hadir sebagai saksi dalam persidangan itu.

"Tidak pernah," jawab Syahmirwan.

"Dan sepengetahuan saya pada waktu itu saudari Agustin melakukan pembicaraan dengan saudara Joko Hartono Tirto sebagai orang kepercayaan saudara Heru Hidayat. Benar itu saudara saksi?" tanya jaksa.

"Itu betul," jawab Harry.

Menurut Harry, tentang Heru Hidayat, niatnya memang membantu Jiwasraya untuk tetap perform dari sisi kelolaan investasi dan juga menjaga likuiditas. "Jadi, harus selalu likuid dari segala guncangan pasar sekalipun," kata Harry.

Dia menjelaskan secara umum Heru Hidayat mengetahui kondisi insolvensi yang dialami Jiwasraya pada 2008. Saat itu, pemerintah tidak memberikan dana talangan atau penyertaan modal negara (PMN). Jiwasraya hanya menerima surat jaminan dari pemerintah bagi kelangsungan hidupnya ke depan.

"Itulah menjadi alat kami, keyakinan kami untuk tetap beroperasi dengan tetap berjualan, menjual premi dan seterusnya," ujar Harry.

Alhasil, sambung dia, pada 2008-2018 Heru Hidayat turut membantu Jiwasraya. Namun, dia menegaskan bahwa hasil kinerja perseroan pada periode itu tak semata-mata merupakan hasil bantuan dari Heru Hidayat.

Harry menyatakan secara umum kinerja tata kelola investasi  Jiwasraya berada di tangan divisi investasi dan dipantau oleh komite investasi perseroan.

Direksi, ujarnya, memberikan diskresi kepada manajer investasi atau pihak ketiga untuk melakukan pengelolaan investasi dengan berdasar pada prosedur yang berlaku.

Kebijakan itu disebutnya berlaku untuk penataan investasi Jiwasraya di sejumlah instrumen pasar modal, yakni reksa dana, saham, dan obligasi atau surat utang negara.

"Jadi, ini adalah kinerja dari JS sendiri pak. Jadi, bukan (hanya hasil dari) minta tolong dari Pak Heru Hidayat saja. Dalam portofolio (investasi) JS sendiri ada saham-saham grup lain juga," ungkap dia.

Dengan sejumlah kebijakan itu, Harry berdalih pada 2008 hingga akhir 2017, kinerja investasi Jiwasraya terus membaik. Pada 2008 atau ketika para direksi diberikan amanah oleh pemerintah untuk menangani Jiwasraya, sebut dia, neraca keuangan perseroan tercatat minus Rp6,7 triliun atau dalam kondisi insolvensi dengan nilai aset sekitar Rp5 triliun.

Pada 2017, lanjut Harry, total aset Asuransi Jiwasraya sudah mencapai Rp45 triliun. Jika pada 2008 perseroan tak memiliki kas, sambung dia, maka pada 2017 kas perseroan tercatat sekitar Rp4 triliun.

"Kami memiliki surat berharga negara kurang lebih Rp3 triliun. Kami memiliki saham yang sudah disarankan oleh ketika itu. Kementerian BUMN melalui Deputi Jasa Keuangan, Pak Gatot Tri Hargo menyampaikan dalam satu acara RUPS atas laporan keuangan di mana kami harus berpihak, harus, saya garis bawahi harus membeli saham-saham BUMN. Dan ketika itu untuk 21 jenis saham BUMN hanya beberapa jenis saham BUMN yang tersisa," ujarnya.

Oleh karena itu, Harry menyatakan kondisi Jiwasraya berkembang dengan sangat baik sejak 2008 hingga dia terakhir kali menjabat yakni pada 15 Januari 2018. (G-2)

BACA JUGA: