JAKARTA - Kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) atau AJS yang merugikan uang negara lebih dari Rp16 triliun terus bergulir. Jaksa mendakwa salah satu terdakwa Piter Rasiman Direktur Utama PT Himalaya Energi Perkasa Tbk (HADE) dengan tuntutan 20 tahun penjara.

Himalaya adalah emiten yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan kode saham HADE dan sebelumnya bernama PT HD Capital di bisnis sekuritas.

Direktur Eksekutif Setara Ismail Hasani menilai tuntutan 20 tahun pidana penjara terhadap Piter Rasiman oleh Jaksa Penuntut Umum sudah maksimal. Namun esensinya bukan itu tapi bagaimana uang negara yang dikorupsi dikembalikan kepada negara.

"Artinya perampasan-perampasan aset harus menjadi prioritas. Karena sejauh ini hukuman mati belum pernah digunakan dan saya juga secara pribadi menentang hukuman mati sekalipun itu ada dalam undang-undang pemberantasan korupsi," kata Ismail kepada Gresnews.com, Selasa (13/7/2021).

Menurut Ismail bahwa biasanya terjadi barter bila mendapat hukuman berat maka tidak ada kewajiban pengembalian uang. Hal ini sudah menjadi trend sekarang ini adalah pengembalian uang negara kemudian ditukar dengan tahanan badan sangat ringan.

"Ini juga yang menjadi trend buruk saya kira. Jadi semestinya itu tidak bisa diganti atau subsidair hukuman badan. Jadi kewajiban betul-betul mengembalikan uang negara dan itukan alat negara bisa melakukan penyitaan-penyitaan terhadap aset-aset yang tersisa misalnya," tukasnya.

Tentu saja ada dampaknya bila tidak ada kewajiban pengembalian uang negara. "Kalau itu terjadi, ini juga tidak berkontribusi dalam konteks perekonomian nasional, perekonomian negara," kata Dosen Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.

Di Jiwasraya ada 2.141 kontrak polis korporasi yang mencakup 2,26 juta pekerja dan pensiunan sebagai tertanggung, sekitar 2.102 kontrak polis. Sementara ada juga 17.459 total nasabah saving plan dan 245.458 pemegang polis di segmen ritel.

Ismail menegaskan bahwa setelah tuntutan 20 tahun ini kemudian nanti akan dibuktikan, dan biasanya kalau tuntutan itu sudah melalui proses pembuktian tinggal bergantung pada hakim.

"Nah bagaimana kemudian hakim memastikan hukuman yang seberat-beratnya dan yang kedua memasukkan kewajiban pengembalian uang negara," tegasnya.

Jadi Tolak Ukur

Sementara itu peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan pengungkapan kasus korupsi seperti Jiwasraya ini bagus yang dapat menjadi sebuah tolak ukur bagi investor untuk mau menanamkan investasinya di Indonesia.

"Semakin banyak pengungkapan kasus korupsi itu maka akan meningkatkan kepercayaan publik," kata Huda kepada Gresnews.com, Selasa (13/7/2021).

Menurut Huda, karena ini adalah bidang investasi saham dan reksadana PT Asuransi Jiwasraya (AJS) yang termasuk BUMN. Hal pasti mempertebal lagi kepercayaan kepada pemerintah memberikan kesan bahwa pengelolaan BUMN itu harus lebih baik lagi.

Selain itu karena Jiwasraya basisnya adalah konsumennya itu adalah perorangan. Ini yang penting dan sebenarnya yang mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap investasi asuransi yang dikelola oleh BUMN.

"Ini sebenarnya membuktikan juga bahwa di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ini terjadi. Sebenarnya juga memperlihatkan bobroknya OJK dalam mengelola perusahaan-perusahaan yang berkaitan dengan investasi. Karena Asuransi dan ivestasi itu masuknya ke ranah OJK," jelasnya.

Huda menerangkan bahwa sebenarnya dengan adanya tuntutan ini memperlihatkan kebobrokan dari sistem OJK yang tidak dapat mencegah terjadinya korupsi diseputaran Benny Tjokrosaputro (Bentjok) dan kawan-kawan.

Jadi, kata Huda seharusnya ada respon dari OJK kalau untuk hadapi tuntutan ini. Karena ini berkaitan dengan sistem di OJK nya seperti apa.
Karena kalau melihat saham reksadana dan investasi dan asuransi ada di OJK. Dan itu diperlukan sistem yang kuat agar kasus-kasus seperti Jiwasraya, Asabri, BPJS PK, itu tidak ada lagi kedepannya.

"Sebenarnya ketika OJK tidak mampu untuk mengatasi hal ini, atau meminimalisir dari adanya kasus korupsi di sektor keuangan, sebenarnya OJK tidak berfungsi lagi. Mendingan kembalikan ke BI (Bank Indonesia) aja," tuturnya.

Menurut Huda, OJK didirikan untuk memperingan kinerja Bank Indonesia, dibidang pengawasan lembaga dan pengawasan tentang bisnis lainnya di OJK.

"Ketika lolos kasus investasi kasus korupsi yang pasti OJK bertanggungjawab dong. Apalagi ditengarai itu ada goreng saham, itu kan diawasi oleh OJK, kenapa OJK diam. Itu kasusnya seperti memutar uang jiwasraya, memuter uang jiwasraya diputar ke saham saham yang dia non LG45. Dimana itu saham-saham dari Benny Tjokrosaputro, dan kroni-kroninya yang dia memang tidak profitable ketika membutuhkan. Cuma memiliki sahabat yang ada di OJK dan yang harus dipertanggungjawabkan kenapa OJK mengeluarkan transaksi itu," ungkapnya.

Huda menegaskan bahwa jiwasraya itu milik BUMN dan seharusnya OJK harus berhati-hati dalam mengelola dan mengembangkan uang masyarakat yang merupakan nasabah.

"Soalnya jiwasraya itu milik BUMN itu seharusnya lebih perketat lagi dalam pengembangan uang milik masyarakat," pungkasnya.

Jalannya Kasus

Piter Rasiman Dituntut 20 Tahun Penjara dan Denda Rp 1 miliar subsidair 6 bulan kurungan oleh Jaksa Petrus Napitupulu melalui daring dari kejaksaan Agung RI di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin, 12 Juli 2021 kemarin.

Piter Rasiman didakwa mengatur dan mengendalikan lawan transaksi (counterparty) dalam pengelolaan instrumen investasi saham dan Reksa Dana dari PT Asuransi Jiwasraya (Persero) atau PT AJS dan telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan, bersama-sama dengan Hary Prasetyo, Hendrisman Rahim, Syahmirwan, Heru Hidayat, Benny Tjokrosaputro dan Joko Hartono Tirto.

Ia telah melakukan pengelolaan Investasi Saham dan Reksa Dana PT AJS tidak transparan dan akuntabel dengan melakukan kesepakatan tanpa ditetapkan oleh Direksi PT. AJS

Ia juga melakukan pengelolaan Investasi Saham dan Reksa Dana, tanpa analisis yang didasarkan pada data yang objektif dan analisis yang profesional dalam NIKP (Nota Intern Kantor Pusat) tetapi analisis hanya dibuat formalitas belaka.

Kemudian Syahmirwan, Harry Prasetyo, dan Hendrisman Rahim telah melakukan pembelian saham BJBR, PPRO dan SMBR walaupun kepemilikan saham tersebut telah melampaui ketentuan yang diatur dalam Pedoman Investasi yaitu maksimal sebesar 2,5 % dari saham beredar.

Sementara Piter Rasiman menyediakan dan mengendalikan akun-akun lawan transaksi (counterparty) dalam pembelian dan/atau penjualan saham BJBR, PPRO, SMBR dan SMRU pada PT AJS, dengan tujuan mengintervensi harga yang pada akhirnya tidak memberikan keuntungan investasi dan tidak dapat memenuhi kebutuhan likuiditas guna menunjang kegiatan operasional PT AJS.

Atas perbuatannya tersebut, Piter Rasiman didakwa dengan dakwaan pertama Primair dalam Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahaan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Subsidair Pasal 3 Jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahaan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Dan dakwaan kedua Primair sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP.

Serta dakwaan subsidair Pasal 4 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP. (G-2)

 

BACA JUGA: