JAKARTA - Kericuhan mewarnai ruang sidang usai vonis Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat. Mereka adalah para nasabah PT Asuransi Jiwa Adisarana Wanaartha, atau dikenal sebagai WanaArtha Life yang tak puas dengan putusan Majelis Hakim yang menyatakan bahwa rekening WanaArtha Life terkait Jiwasraya tetap disita.

Salah satu nasabah WanaArtha Samsuga Sofyan mengatakan bahwa hari itu adalah kiamat bagi keadilan di Indonesia.

"Kenapa? Kami ini nasabah Wanaartha (sambil dibarengi isak tangis)," kata Samsuga kepada Gresnews.com usai sidang, di pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Senin, (26/10/2020).

Ada sekitar 20 orang lainya yang mengaku nasabah WanaArtha merangsek maju ke mimbar sesaat sidang ditutup oleh Ketua Majelis Hakim Rosmina, Senin (26/10/2020) malam.

Mereka mengejar para hakim, namun gagal karena para hakim sudah berhasil meninggalkan ruangan terlebih dulu. Panitera yang kemudian jadi sasaran untuk protes mereka.

Sebelumnya, Kejaksaan Agung memblokir sebanyak 235 rekening efek terkait kasus dugaan korupsi di Jiwasraya. Dari ratusan rekening tersebut diantaranya milik WanaArtha Life.

Soal pemblokiran ini, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Hari Setiyono mengatakan, rekening yang diblokir, disita dan dibuatkan berita acara penyitaan.

Kemudian, dititipkan dan dibuatkan berita acara penitipan yang nantinya dijadikan bukti hasil kejahatan. Bila jaksa penutuntut umum (JPU) bisa membuktikannya sebagai hasil kejahatan, maka nantinya akan dirampas untuk negara.

Namun manajemen WanaArtha telah membantah dan mengklarifikasi perihal dugaan keterlibatan mereka dalam kasus Jiwasraya. Karena itu, direksi WanaArtha telah memberikan keterangan sebagai saksi kepada Kejaksaan Agung pada 29 Januari dan 13 Maret lalu. Meski telah memberi keterangan, rekening perusahaan ini masih saja diblokir.

Nasabah lainnya Stefanie juga mengatakan bahwa yang Ia tahu itu seluruh aset perusahaan, asetnya disita, seluruhnya disita.

"Total aset sekitar Rp 4triliun," kata Stefanie ditempat yang sama.

Lanjut Stefanie, kenapa pemerintah menggebu-gebu sekali untuk membela, menaruh perhatina kepada nasib nasabah Jiwasraya tapi menghiraukan nasabah WanaArtha.

"Kami disebut oknum, kami disebut orang-orang yang mengaku nasabah. Padahal kami adalah nasabah murni. Itu yang kami pertanyakan. Kenapa pemerintah, kenapa kamu menyelamatkan nasabah Jiwasraya tapi mengorbankan nasabah lain," jelasnya.

Menurut Stefanie, upaya hukum sudah dilakukan. Mereka sudah mengirim surat kepada presiden, kepada pengadilan negeri.

"Kami datang ke kejaksaan, ke OJK, kami datang ke Istana Bogor dan ibu Megawati. Sudah kami lakukan. Yang bisa kami lakukan sudah kami lakukan," tuturnya.

Kembali Samsuga mengatakan bahwa setelah putusan hakim ini langkah selanjutnya, mereka akan melawan. Melawan sesuai dengan proses hukum, dengan class action dan lain-lain.

Mereka juga menduga hal ini berkaitan dengan politik. "Saya tidak pernah membayangkan ini ada kaitannya dengan politik. Mungkin dugaan yang dikait-kaitkan dengan Jiwasraya. Kami ini nasabah, rakyat kecil. Uang kami dari sedikit sedikit kami tabung di WanaArtha," katanya.

"Negara dimana hadirnya. UUD 1945 didalamnya adalah melindungi warganegara. Tapi dimana negara, tidak ada satupun yang membela kami didalam putusan majelis hakim," tukasnya.

Sementara itu, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat menjatuhkan vonis terhadap Direktur Utama PT Hanson International Tbk Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat Komisaris Utama PT Trada Alam Minera (TRAM). Keduanya di vonis dengan pidana penjara seumur hidup.

Benny dan Heru dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) atas kasus pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT Asuransi Jiwasraya.

"Menjatuhkan pidana oleh karena itu dengan pidana penjara seumur hidup," kata ketua majelis hakim Rosmina di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, diikuti Gresnews.com, Senin (26/10/2020).

Dalam kasus ini, Benny Tjokro dan Heru Hidayat divonis hukuman penjara seumur hidup. Benny harus membayar uang pengganti sebesar Rp6,078 triliun. Heru juga dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp10,728 triliun.

Jika tidak dibayar dalam waktu satu bulan setelah hukuman berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya disita.

Dalam pertimbangannya, hakim menuturkan hal-hal untuk kedua terdakwa masing-masing yang memberatkan, antara lain melakukan korupsi secara terorganisir sehingga sulit terungkap, terdakwa menggunakan tangan orang lain dalam jumlah banyak.

Hakim menyebut perbuatan Benny dan Heru bersama dengan empat terdakwa lain telah merugikan keuangan negara sebesar Rp16,8 triliun atas korupsi di tubuh PT AJS.

Angka ini berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif dalam Rangka Penghitungan Kerugian Negara Atas Pengelolaan Keuangan dan Dana Investasi pada periode Tahun 2008 sampai 2018 Nomor: 06/LHP/XXI/03/2020 dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Mereka terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Selain itu, mereka juga terbukti melanggar Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Benny disebut menyembunyikan dan menyamarkan hasil kekayaan untuk membeli empat unit apartemen di Singapura. Rinciannya satu unit di St. Regis Residence dengan harga SGD5.693.300 dan tiga unit di One Shenton Way dengan cara kredit dengan jangka waktu kredit selama 30 tahun, dengan pembayaran cicilan sebagian dari hasil tindak pidana korupsi dalam pengelolaan saham dan Reksa Dana PT AJS.

Pada 2015, Benny membuat kesepakatan dengan Tan Kian selaku pemilik PT Metropolitan Kuningan Properti untuk pembangunan apartemen dengan nama South Hill.

Pada saat proses pembangunan tersebut dilakukan penjualan secara pre-sale, di mana hasil penjualan itu, Benny telah menerima pembayaran sebesar Rp400 miliar dan Tan Kian menerima Rp1 triliun.

Terdapat pembagian hasil penjualan apartemen yang belum terjual disepakati Terdakwa Benny mendapat bagian 70% dan Tan Kian memperoleh 30%.

Ia juga disebut menerima bagian berupa 95 unit apartemen dan mengatasnamakan orang lain.

Benny, yang juga merupakan pemilik PT Blessindo Terang Jaya (perusahaan properti), pada tahun 2016 melakukan pembangunan perumahan dengan nama Forest Hill mengatasnamakan bangunan berupa rumah toko (ruko) yang sudah terbangun sebanyak 20 unit atas nama Caroline.

Selain itu, mereka yang terlibat dalam perbuatan kejahatan bersama Benny, yakni Komisaris Utama PT Trada Alam Minera, Heru Hidayat dan Direktur PT Maxima Integra, Joko Hartono Tirto. Sedangkan penasihat hukum Benny, Soesilo Aribowo, menyatakan akan banding. (G-2)

 

BACA JUGA: