JAKARTA, GRESNEWS.COM- "Tanah adalah ibu yang memberi kita makan untuk kehidupan. Ibu adalah mahluk sehingga ibu harus dihargai, diperlakukan dengan sopan dan dikelola dengan arif. Benih adalah anak, ia harus didik dan diperlakukan dengan baik. Disapih dan ditimang seperti bayi. Dijaga supaya menjadi induk yang baik. Dihormati supaya bernas, jangan dibiarkan terlalu berpanasan. Benih harus ditinggikan dan diantung supaya kelak melahirkan generasi yang baik."

Bait-bait di atas adalah potongan jampe atau doa yang biasa dilantunkan warga kasepuhan Ciptagelar, Sukabumi, Jawa Barat, saat akan menanam atau menyimpan benih. Bagi masyarakat Ciptagelar yang banyak menggantungkan hidup dari pertanian--sebagaimana petani di berbagai tempat lain di nusantara--benih adalah senyawa yang tidak bisa dipisahkan dari petani. "Tak ada petani tanpa benih, pun demikian tak akan lestari benih tanpa campur tangan petani," kata Said Abdullah, Sekjen Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI), kepada Gresnews.com, Senin (2/12).

Komentar itu disampaikan Ayip--begitu dia biasa disapa, menanggapi kegiatan ruwatan benih yang dilaksanakan 187 petani dari 42 kabupaten di Indonesia yang dilaksanakan di Bogor beberapa waktu lalu. Lewat perhelatan ini, para petani ingin menggugah kesadaran diri dan juga khalayak akan arti penting petani bagi ketersediaan pangan untuk seluruh rakyat Indonesia. Selama ribuan tahun, para petani terus menjaga keberadaan benih melalui sistem sosial budayanya dan dengan segala kearifannya. Setidaknya sejak 1960-an petani telah mengembangkan 1,9 juta jenis/varietas tanaman. "Untuk tanaman pangan, petani memuliakan 5000 tanaman pangan dan menjadi penyumbang terbesar pada bank benih dunia," kata Ayip.

Selain dihadiri para petani, acara ini juga diisi workshop perbenihan bekerjasama dengan IPB, pertemuan tahunan AB2TI, pameran benih, tradisi wiwit benih dan dialog kebijakan perbenihan dengan Dirjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Udoro Anggoro Kasih dan Staf Khusus Presiden Bidang Pangan Hariyanto. Dalam kesempatan berdialog dengan petani, Anggoro mengatakan, persoalan benih memang sangat penting terkait masalah ketahanan pangan nasional yang berujung pada kemandirian pangan yang masih menjadi pekerjaan rumah bersama. "Ada tiga kata kunci ketahanan, produksi, distribusi, dan keterjangkauan," ujarnya.

Untuk saat ini, kata Anggoro, ada beberapa komoditas andalan untuk mencapai ketahanan pangan, yaitu padi , jagung, kedelai, dan juga ternak sapi. Komoditas-komoditas ini kata Anggoro harus belimpah di negara kita karena semua tersedia. "Sumber produksi ada, fokus kepada benih," katanya. Karena itu, Anggoro mengaku senang bisa berdialog dengan petani, agar pemerintah bisa mendengar apa yang masih belum pas dari para petani. "Kuncinya persamaan pemahaman dan pemikiran kata benih antara petani dan pemerintah apakah sudah sama. Jika sudah sama bagus. Dan jika belum sama mari didiskuiskan saat ini," ujar Anggoro.

Persepsi soal benih ini memang penting untuk disamakan. Wardiono, petani asal Klaten, Jawa Tengah mengatakan, ketakutan pemerintah akan ketahanan pangan selama ini, membuat pemerintah cenderung mengabaikan petani dalam hal ketersediaan benih. Pemerintah atas nama ketahanan pangan dan ketersediaan benih kerap mendatangkan benih impor untuk ditanam para petani meski sering kali tak cocok sehingga malah berujung pada gagal panen. "Benih ditanam berkali-kali tidak tumbuh bikin petani rugi," kata Wardiono.

Karena itu, kata Wardiono, dalam soal benih seharusnya pemerintah berbicara dengan petani dan bukan dengan pengusaha (importir-red). "Petani jangan dianggap bodoh padahal inovasi petani sesuai kearifan lokal tidak kalah dengan yang dilakukan pengusaha malah bisa berhasil. Pemerintah selalu mengeluarkan dana banyak (untuk benih impor-red) tapi mubazir, tidak tepat sasaran," ujarnya. Karena itu dia menyarankan agar urusan benih diserahkan kepada masyarakat lokal dan petani jangan dihalang-halangi untuk membudidaya benih. "Beras petani enak, ke pemerintah, beras miskin dan malah jadi tidak enak," ujar Wardiono lagi.

Dengan banyaknya petani membudidaya benih sendiri, selain bisa mandiri dalam penyediaan benih, menurut para petani pembudidaya benih yang hadir dalam acara itu, juga akan tercipta keragaman benih di tiap daerah di seluruh penjuru negeri. Keanekaragaman pangan sangat penting bagi negara berkembang seperti Indonesia. Menurut kajian Oxfam Internasional, pada saat krisis pangan tahun 2008 lalu, negara yang memiliki keragaman pangan tinggi adalah yang paling tahan guncangan pangan global. "Indonesia adalah salah satu negara yang tak terpengaruh gejolak harga pangan pada saat itu," ujar Ayip.

Sayangnya, situasi ini mendapat ancaman dari sistem pangan yang berkembang saat ini. Dalam sistem pangan global yang berkembang justru terjadi simplikasi dan reduksi. Hanya pangan yang menguntungkan yang dipelihara dan diolah menjadi pangan. Perlahan tapi pasti jenis pangan semakin terbatas dan terpusat pada industri.

Hal ini dicirikan oleh sedikitnya benih yang dikelola dan diedarkan. Menurut catatan ETC Group, hingga tahun 2009, industri benih hanya mengelola dan meniagakan benih tanaman pangan sebanyak 150 jenis saja. Namun demikian kuasa atas pasarnya cukup tinggi. Saat ini industri telah menguasai sekurangnya 90% pasar benih dunia. Di Indonesia, industri menguasai lebih dari 60%.

Di sisi lain, hingga saat ini petani pemulia dan penangkar masih dipandang sebelah mata. Petani dianggap tidak mampu memproduksi, menjaga dan melestarikan benih secara baik. Hal ini terlihat dari kebijakan subsidi benih yang dibuat pemerintah. Pengadaan benih subsidi diserahkan ke perusahaan yang sebagian besar melakukan pembelian benih induk dari luar negeri berupa benih hibrida. Tentu saja hal ini menjadi pukulan telak bagi upaya yang dilakukan petani mengingat besarnya potensi penyediaan benih oleh petani. Hingga tahun 2013, AB2TI telah berhasil mencatat sebanyak 125 jenis benih padi dan lebih dari 10 jenis benih jagung yang dimiliki dan dikelola petani.

Staf Khusus Presiden Bidang Pangan Hariyanto mengatakan, pemerintah memahami pentingnya pemahaman peran benih untuk kemandirian dan juga pengembangan sumber daya lokal. Namun di sisi lain, masalah ketersediaan pangan ini dibarengi dengan konsumsi yang tinggi karena jumlah penduduk yang tinggi. "Beban pertanian Indonesia cukup berat untuk mencukupi 248 juta penduduk Indonesia," ujarnya. Karena itu benih memang harus tersedia setiap waktu dan mudah diakses. Dalam hal ini, kata Hariyanto, kemandirian dan kekuatan lokal memang harus dipelihara agar menjadi kekuatan bangsa.

(GN-03)

BACA JUGA: