JAKARTA, GRESNEWS.COM - Perdebatan menyangkut tanaman pangan hasil rekayasa genetik yang lazim disebut tanaman transgenik mengemuka dalam sidang lanjutan gugatan terhadap UU Pangan yang berlangsung di Mahkamah Konstitusi, Selasa (11/3. Ahli pemohon yang terdiri dari gabungan 12 lembaga swadaya masyarakat mengatakan pemaksaan penerimaan tanaman transgenik dalam UU Pangan mengancam kedaulatan pangan.

Koalisi LSM bidang pangan dan sosial itu menggugat kebijakan pengadaan produk pangan dan pertanian yang diatur dalam enam pasal yaitu dalam Pasal 3, Pasal 36 Ayat (3), Pasal 53, Pasal 69 huruf c, Pasal 77 Ayat (1) dan Ayat (2), serta Pasal 133 UU Pangan. Menurut ahli pihak pemohon Hira Jamthani, pengadaan produk transgenik yang diatur dalam Pasal 69 c, membuka peluang pihak asing memaksakan produk transgeniknya ke pasar nasional yang dikhawatirkan akan mematikan pasar produk pangan lokal.

Apalagi dalam soal ini ada campur tangan Food and Agriculture Organization (FAO) yang berkesan membela produsen pangan skala multinasional. FAO menyatakan seluruh penduduk dunia bisa menghasilkan 1,5 kali lebih besar dari yang dibutuhkan oleh penduduk di seluruh dunia. Syaratnya negara bekerja sama dengan baik dengan produsen pangan.

"Persoalannya ada pada pilihan negara, bekerja sama dengan pihak yang ingin menguasai pangan untuk mendapatkan kekuasaan dan pasar atau berpihak pada kedaulatan dari warga negaranya agar kita berkecukupan pangan yang sehat," kata Hira di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (11/3).

Pernyataan FAO itu memang dikeluarkan dalam konteks mengantisipasi krisis pangan. Dalam kerangka itu, produk-produk rekayasa genetik sering kali ditabalkan sebagai "juru selamat" dunia dari ancaman krisis pangan. Solusi transgenik ini kemudian menjadi agenda yang terkesan dipaksakan kepada negara-negara dunia ketiga.

Padahal di balik kampanye ini lebih sarat akan kepentingan produsen pangan skala multinasional untuk menguasai pasar pangan dunia melalui instrumen lembaga internasional semacam FAO. Hal semacam inilah yang dikhawatirkan para pemohon bakal menggerus kedaulatan pangan Indonesia. "Negara berkembang menjadi pasar utama dari produk transgenik tersebut karena mereka tidak berdaya terhadap tekanan bisnis produk transgenik dunia, dan juga terikat oleh aturan-aturan WTO," kata Hira.

Menurut Hira, isu transgenik bukan hanya persoalan teknologi melainkan isu kedaulatan. "Ada negara yang bisa menunjukkan kedaulatan itu," ujarnya. Filipina dan Peru, kata Hira, telah menyatakan diri bebas dari transgenik dan rekayasa genetik untuk pangannya.

Ia meyakini pangan adalah urusan bersama. Maka dalam urusan pangan rakyat harus berdaulat untuk mendapatkan pangan yang sehat.

Ahli pemohon lainya, Fadil Kirom, mengatakan tidak adanya kepastian lembaga penjamin kebutuhan pangan semakin menambah ruwet penanganan pangan nasional. Hal ini terlihat dengan adanya kasus penyelundupan dan impor beras yang baru-baru ini mengemuka. "Siapa yang bertanggung jawab atas kasus penyelundupan dan impor beras antara menteri pertanian dan menteri perdagangan," ujarnya.

Ia berpendapat, kondisi tersebut sebagai bukti tidak adanya ketidakpastian lembaga mana yang bertanggung jawab dalam kecukupan produksi pangan pokok nasional. Ini dinilai akan membahayakan jika nantinya produk-produk transgenik masuk ke pasar Indonesia. Pasal 69 huruf c dinilai tak menjamin keamanan produk transgenik yang masuk pasar Indoneisia.

Lemahnya pengawasan dan koordinasi antar lembaga/kementerian ini pulalah yang membuat para pemohon menggugat Pasal 36 Ayat (3). Dalam pasal itu dinyatakan: "Kecukupan Produksi Pangan Pokok dalam negeri dan Cadangan Pangan Pemerintah ditetapkan oleh menteri atau lembaga pemerintah yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang Pangan."

Nah pasal ini dinilai malah akan memuluskan impor pangan alih-alih membatasi karena kementerian akan memiliki kewenangan yang besar menentukan apakah pemerintah harus mengimpor pangan atau tidak. Dari pengalaman selama ini menurut para pemohon pemerintah selalu mengimpor pangan meski produksi dalam negeri cukup. Akibatnya pasar dalam negeri dikuasai produk asing dan produsen pangan dalam negeri malah terancam karena produknya tak laku di pasar.

Karena itu para pemohon mengatakan pasal-pasal yang digugat telah mengakibatkan hilangnya perlindungan negara terhadap pelaku usaha pangan skala kecil. Para pemohon berargumen dengan adanya ketentuan tersebut mengakibatkan ketidakjelasan kebijakan pangan, terutama kebijakan impor produk pangan dan pertanian yang dilakukan pemerintah dengan alasan kurangnya cadangan pangan nasional.

Pemohon menyatakan Pasal 3 dan Pasal 36 UU Pangan menyulitkan pemenuhan hak atas pangan dan berimbas pada tidak jelasnya tanggung gugat negara dalam memenuhi kewajibannya terhadap hak warga negara atas pangan. Pasal 3 dan Pasal 36 UU Pangan tidak menyebutkan siapa sesungguhnya yang berwenang dan bertanggung jawab untuk menentukan kecukupan produksi pangan pokok dalam negeri.

Para pemohon juga keberatan dengan keberadaan frasa "pelaku usaha pangan" dalam Pasal 53 dan Pasal 133 UU Pangan karena definisinya dinilai terlalu luas sehingga berpotensi mengkriminalisasi pelaku usaha kecil dan perseorangan. Selain itu, para pemohon juga menilai, pembatasan teknologi rekayasa genetik melalui Pasal 69 huruf c dan Pasal 77 Ayat (1) dan Ayat (2) UU Pangan berpotensi melanggar hak hidup sejahtera dan lingkungan hidup yang baik serta sehat serta tidak menjamin terjadinya keamanan pangan.

Kuasa hukum para pemohon Beni Dikty Sinaga menyebutkan kebijakan impor pangan rawan suap dan hanya menguntungkan pelaku usaha pangan skala besar. "Atas dalil-dalil tersebut kami meminta kepada MK agar keenam pasal yang dimohonkan oleh pemohon untuk diuji dinyatakan bertentangan dengan konstitusi," ujar Beni.  

BACA JUGA: