JAKARTA, GRESNEWS.COM - Salah satu program prioritas Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk sektor pemberdayaan kelautan dan perikanan adalah sertifikasi hak tanah nelayan. "Sertifikasi tanah nelayan merupakan aspek penting bagi nelayan untuk mengakses modal dari perbankan sehingga dirasa penting untuk dipenuhi pemerintah," kata Direktur Kenelayanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Syafril Fauzi saat ditemui gresnews.com, di Gedung Mina Bahari I KKP, Selasa (29/12).

Syafril menerangkan, fasilitasi pemerintah soal sertifikasi hak tanah nelayan tiap tahun ditargetkan bisa terealisasi sebanyak 20 ribu sertifikat di 34 Provinsi. Mengenai capaian KKP sebelumnya, Syafril menyebut, sejak dimulai pelaksanaan program sertifikasi pada awal tahun 2011 hingga 2015, kurang lebih sudah sekitar 65 ribu nelayan yang memperoleh sertifikat. "Capaian di tahun 2015, sebanyak 11.697 sertifikat untuk hak tanah nelayan," kata Syafril.

Fungsi sertifikat tanah, kata Syafril, sangat berperan penting bagi kehidupan nelayan sebagai jaminan utama agar bisa mengakses ke sektor perbankan. "Sertifikat tanah menjadi jaminan utama sementara perahu adalah jaminan tambahan. Apabila nelayan tidak memiliki jaminan utama tersebut maka agak sulit untuk memperoleh modal usaha produksi seperti pembelian sarana alat tangkap dan mesin kapal," ujarnya.

Dalam pelaksanaan program sertifikasi tanah, kata Syafril, tidak ada kendala karena tidak ada biaya yang dipungut. "Asalkan, nelayan bisa menunjukan bukti kepemilikan ruang atau lahan untuk keperluan program sertifikasi," ujarnya.

Sementara, untuk proses pendataan nelayan, KKP bekerjsama dengan Dinas Pertanahan di setiap Kabupaten/Kota guna membantu melancarkan programkan kepada setiap nelayan. Program sertifikasi hak tanah nelayan yang dirintis KKP dinilai sangat bermanfaat bagi eksistensi produksi perikanan masyarakat nelayan.

Deputi bidang Pengelolaan Program dan Evaluasi Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Susan Herawati menilai, program tersebut sangat bermanfaat bagi sektor perikanan nelayan karena berdampak pada akses modal usaha. "Mengingat, dari persyaratan pihak perbankan, peminjaman uang harus disertai bukti sertifikat tanah," ujarnya.

Selain untuk nelayan, pihak KKP lewat program Sertifikasi Hak Tanah untuk Budidaya Ikan (SEHATKAN) juga memberikan bantuan kepada pembudidaya ikan air tawar untuk bisa memiliki sertifikat atas tanah dan tambaknya. Tujuannya sama yaitu agar petambak juga bisa punya akses ke bank.

Direktur Jenderal Perikanan Budi Daya KKP, Slamet Soebjakto mengatakan, program SEHATKAN merupakan bantuan KKP pada petambak ikan untuk mensertifikasi lahan tambaknya tanpa dipungut biaya. Tanah petambak sudah disertifikasi Badan Pertanahan Nasional (BPN), maka sertifikat bisa diagunkan ke bank untuk mendapatkan pinjaman.

"Tahun 2015 kita punya SEHATKAN, sampai saat ini sudah ada realisasi sekitar 7.000 bidang tanah yang diproses. Tahun 2018 kita tergetkan bisa 8.000 bidang tanah, satu sertifikasi bidang tanah bisa untuk agunan pinjaman Rp500 juta," ujar Slamet beberapa waktu lalu.

Dia mengatakan, dengan kepemilikan sertifikat tanah, maka otomatis petambak lebih terakses kredit (bankable) dari sebelumnya. Menurutnya, kepemilikan sertifikat tak lantas membuat petambak kecil bisa langsung mengakses kredit. Hal ini karena sektor perbankan masih menganggap usaha perikanan sebagai sektor baru dan berisiko tinggi.

"Tidak langsung. Mereka juga melihat teknologinya yang digunakan, juga memastikan pasarnya. Jadi banyak kriteria di samping agunannya. Tapi untuk satu orang saja setelah dia punya sertifikat tanah, pembudidaya kan punya bargaining dengan mengagunkan itu," jelas Slamet.

Slamet menuturkan, program SEHATKAN tersebut sudah disinergikan dengan program Kredit Usaha Rakyat (KUR), sehingga bunga pada peternak ikan ini hanya dikenakan 12%. KKP berharap, pemerintah bisa menurunkan lagi bunga KUR khusus pembudidaya ikan pada tahun depan.

"Selama ini ada KUR dan lain-lain. Tapi harapan kita ada bunga khusus untuk pembudidaya, para pembuat pakan, termasuk untuk nelayan ada bunga khusus. sekitar 12%, tapi mereka berani karena menguntungkan. Selain BRI, juga dari Mandiri, dan BNI," tutupnya.

Slamet mengungkapkan, program terbuka bagi petambak yang membutuhkan akses kredit. Peternak ikan bisa mengajukan sertifikasi pada dinas perikanan setempat untuk kemudian diteruskan ke KKP.

BELUM MERATA - Pihak KKP boleh saja mengklaim bahwa program sertifikasi tanah nelayan dan pembudidaya ikan ini sudah berjalan baik. Namun, berdasarkan informasi dari nelayan di beberapa daerah diketahui, proses sertifikasi hak tanah bagi nelayan dan pembudidaya ikan masih tersendat.

Alhasil, tidak semua nelayan dapat menikmati program pemerintah tersebut. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mencatat, ada sekitar 1.700 kepala keluarga yang belum bisa mengakses sertifikasi tanah.

Koordinator Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Publik KIARA Susan Herawati mengatakan, di Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara misalnya, ditemui banyak nelayan yang belum mengetahui tata cara mendapat sertifikasi tanah.

"Dari implementasi di lapangan, berdasarkan data yang diterima bahwa distribusi sertifikat tanah nelayan mandek. Contohnya di Kecamatan Bonang, Desa Petawalan, Kabupaten Demak, hanya ada satu nelayan yang mendapat sertifikat tanah," tutur Susan ketika dihubungi gresnews.com, Selasa (29/12).

Susan menceritakan, salah seorang perempuan bernama Masnuah dari kelompok nelayan Puspita Bahari Demak pernah mengalami penolakan lantaran minimnya tingkat pelayanan oleh pihak daerah. Masnuah dikabarkan pernah pergi ke Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Demak untuk mengajukan sertifikasi, namun tidak mendapat hasil dan justru malah dialihkan ke tempat asalnya di desa.

Melihat persoalan ini, menurut Susan, sebaiknya ada integrasi pelayanan yang baik kepada nelayan agar tidak mandek dan sulit. Pihak desa disarankan hanya sebatas mengetahui adanya program sertifikasi, sementara pengurusannya ditangani langsung oleh DKP di daerah.

"Kordinasi pelayanan hulu sampai hilir atau dari pusat ke daerah diharapkan dapat bersinergi agar manfaat program sertifikasi tanah yang dimaksud pemerintah benar-benar dapat dirasakan nelayan," ujarnya.

Integrasi pelayanan dimaksud adalah akurasi pendataan nelayan dan terpenting pengelolaan pusat dan daerah yang selama ini bermasalah perlu segera diselesaikan. "Diharapkan, bantuan program sertifikasi tersebut juga tepat menyasar seluruh kelompok nelayan," kata Susan.

Selain berbelitnya proses sertifikasi, pengakuan hak atas tanah nelayan di daerah juga masih banyak bermasalah. Dampak dari terhambatnya pengurusan sertifikasi akan membuat nelayan semakin rentan terhadap penggusuran

Susan menyebut, kelompok nelayan di Kabupaten Lombok, Nusa Tenggara Barat, yang terdiri 109 KK nelayan tergusur dari tanahnya akibat kepentingan bisnis membangun resort. "Mereka tidak punya sertifikat tanah. Di daerah strategis yang nelayan hadapi adalah pemodal dan maslaah perampasan tanah," ujarnya.

Belum lagi pada tahun 2013-2014, kepentingan bisnis didahulukan kepada pemilik modal sehingga terjadi perampasan ruang hidup nelayan di teluk Jakarta untuk proyek reklamasi. Akibatnya lebih dari 16.000 kepala keluarga nelayan terancam kehilangan pekerjaan.

TAK SINKRON - Kebijakan KKP terkait sertifikasi memang dinilai tak sinkron dengan kebijakan elemen pemerintahan lainnya khususnya pemerintah daerah. Pasalnya seperti di DKI Jakarta, lewat proyek reklamasi, justru banyak nelayan yang malah tergusur dari rumahnya.

Pengurus DPP KNTI Martin Hadiwinata mengatakan, lewat proyek itu, pemerintah khususnya Pemprov DKi justru melakukan aksi perampasan laut dan tanah nelayan. Menurutnya, Rancangan Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantura Jakarta bertentangan dan akan melanggar hak asasi manusia dari nelayan tradisional dan skala kecil.

Pelanggaran ini terungkap dengan jelas akibat tiadanya perlindungan wilayah tangkap nelayan tradisional dan skala kecil. "Padahal Teluk Jakarta merupakan wilayah pengelolaan dari nelayan tradisional dan skala kecil sejak turun-temurun," kata Marthin beberapa waktu lalu.

Pemerintah dinilai telah mengabaikan Pedoman Perlindungan Nelayan Skala Kecil (Voluntary Guidelines Securing Small Scale Fisheries/VGSSF) yang dirilis Badan Pangan Dunia FAO, pada 2014 lalu. Padahal lewat pedoman itu, para anggota FAO menyepakati perlindungan nelayan skala kecil dilakukan dengan pengakuan hak akses dan memanfaatkan sumber daya laut yang dilakukan dengan identifikasi wilayah tangkap.

Alih-alih mengakui, Pemprov DKI malah mengeluarkan Raperda yang jelas akan melanggar HAM dan melanggar Undang-Undang Perikanan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dengan melindungi wilayah tangkap nelayan skala kecil yang memberikan hak kebebasan menangkap ikan di seluruh wilayah perikanan Indonesia.

Koorditantor KNTI Jakarta Muhammad Taher mengatakan, terbukanya Raperda tersebut penting bagi publik, terutama masyarakat terdampak untuk mengawal proses legislasi raperda. Selain itu, rencana yang menitikberatkan pada perencanaan proyek reklamasi ini harus disebarluaskan ke publik secara transparan mengenai dampak dan keuntungan reklamasi bagi publik.

“Dokumen lingkungan lingkungan hidup seperti Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) harus dipublikasikan supaya publik dapat memastikan bahwa proyek ini sesuai daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup,” kata Taher.

Dia menilai, proyek reklamasi akan merusak kehidupan nelayan karena malah menyebabkan kumpulan limbah tidak bergerak karena aliran air laut terhalang daratan baru akibat reklamasi. "Tak hanya itu, potensi banjir besar akibat reklamasi juga semakin membesar," tegasnya. (dtc)

BACA JUGA: