JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus pelanggaran batas wilayah perairan negara lain oleh para Anak Buah Kapal (ABK) asal Indonesia cukup tinggi sepanjang tahun 2015. Setidaknya ada empat negara yang telah melakukan penahanan dan tindakan hukum terhadap para ABK Indonesia.

Pertama, Malaysia cukup banyak memproses para ABK Indonesia sepanjang tahun 2015. Pemerintah setempat telah menangkap sebanyak 132 ABK asal Indonesia. Dari jumlah yang ditahan, sudah 27 ABK dibebaskan sementara 85 lainnya masih diproses secara hukum.

Jumlah ABK Indonesia bermasalah juga ditangani Australia dengan menahan 21 ABK Indonesia. Dari jumlah itu, 15 berhasil dibebaskan pemerintah sementara 6 masih menunggu proses hukum yang sedang berjalan.

Kemudian, Papua Nugini menangkap 3 ABK Indonesia. Dari jumlah itu belum ada yang dipulangkan atau dibebaskan pemerintah. Sementara, 2 ABK yang sempat ditahan pemerintah India telah berhasil dipulangkan ke tanah air.

Terkait itu, berdasarkan data selama tahun 2015, setidaknya total penangkapan dan proses hukum melibatkan 158 ABK, 64 berhasil dipulangkan dan 94 masih tertahan di luar negeri.

Data Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan mengungkapkan, jumlah pelanggaran ABK Indonesia tahun 2015 mencapai 198 kasus. Dari jumlah itu, 149 kasus berstatus dalam proses hukum, penyidikan 10 kasus, P21 (berkas lengkap siap disidangkan) 2 kasus, Tahap II 15 kasus, proses sidang 12 kasus, banding 5 kasus, kasasi 9 kasus, inkracht (berkekuatan hukum tetap) 96 kasus. Tindakan administratif sebanyak 39 kasus, pemeriksaan pendahuluan 9 kasus dan tindakan pengusiran 1 kasus.

Direktur Penanganan Pelanggaran Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Fuad Himawan mengatakan, alasan sebagian ABK Indonesia belum bisa dipulangkan pemerintah dikarenakan proses hukum yang sedang berjalan di negara masing-masing. Misalnya saja, mekanisme penanganan pelanggaran batas wilayah yang berlaku di Australia, kata Fuad, harus melewati tahap verifikasi dan dilanjutkan ke pengadilan. Itupun tergantung bobot pelanggaran yang dilakukan pelaku.

Sementara di Malaysia, apabila terbukti melakukan pelanggaran skala berat, maka akan ditahan dan melewati advokasi. Selain itu, Malaysia pun memiliki aturan tegas menyangkut pelanggaran batas wilayah teritorial.

"Proses penahanan ini utamanya ditujukan kepada nahkoda dan kepala kamar mesin kapal karena keduanya bertanggung jawab menentukan arah dan teknis operasionalnya. ABK pun bisa diadili ketika terindikasi melakukan pelanggaran penyelundupan dan sebagainya," terang Fuad ketika ditemui gresnews.com, Jumat (8/1).

Kondisi pelanggaran batas tersebut semakin rawan terjadi mengingat Indonesia memiliki batas kedaulatan dengan beberapa wilayah negara. "Namun biasanya, tindakan yang diambil negara lain hanya dengan melakukan pengusiran ketika pelanggaran batas belum terlalu jauh masuk ke dalam wilayah nasionalnya," terang Fuad.

Sementara soal alasan penangkapan dan penahanan ABK Indonesia, kata Fuad, lebih disebabkan pada unsur pelanggaran batas teritorial yang terlampau berat atau jauh melewati perbatasan negara lain. Penyebab dibalik pelanggaran itu, katanya, dipengaruhi human eror dalam hal ini nakhoda tidak menguasai peta geografis wilayah perbatasan dan bisa juga faktor cuaca seperti angin dan ombak.

Bagaimanapun, menghadapi proses advokasi yang berjalan, upaya pendampingan dan penyelesaian hukum tetap sebisa mungkin difasilitasi pemerintah Indonesia dengan mengedepankan penghormatan terhadap aturan hukum yang berlaku di negara lain. Dengan harapan, pada tahun 2016, semakin banyak yang bisa segera dipulangkan ke tanah air.

Salah satunya dari Malaysia yang cukup banyak menahan ABK. "Kondisi ABK tetap aman, kebanyakan ditempatkan di rumah detensi imigrasi Malaysia," ucapnya.

KELEMAHAN PENGAWASAN PERIKANAN - Perlindungan kepada ABK memang telah diupayakan untuk ditingkatkan seiring dikeluarkannya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 35 Tahun 2015 tentang Sistem dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia pada Usaha Perikanan. Aturan di bidang HAM perikanan ini dalam rangka menghormati, melindungi, membela dan menjamin para pekerja di sektor kelautan dan perikanan.

Namun demikian, persoalan saat ini tidak sebatas melakukan pembebasan ABK dari luar negeri, melainkan kerangka aturan baru yang mempertegas tindakan pencegahan berbagai bentuk pelanggaran batas di laut. Fuad menyebutkan, langkah pencegahan pelanggaran soal batas wilayah tidak terlaksana lantaran belum diterbitkannya sebuah regulasi khusus soal pengawasan kegiatan perikanan.

Alhasil, kondisi ini membuat masalah semakin kompleks karena banyaknya kapal perikanan Indonesia yang melanggar batas wilayah negara lain. Salah satu cara yang bisa dilakukan, kata dia, segera diberlakukan Rancangan Undang-Undang Pengawasan Perikanan sebagaimana diamanatkan Pasal 69 UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.

Pada poin tersebut, Pasal 69 Ayat (1) menyebutkan bahwa Kapal pengawas perikanan berfungsi melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum di bidang perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. "Sampai sekarang RUU itu belum terbit. Prosesnya sudah sampai di Sekretaris Negara dan Kementerian Koordinator bidang Politik Hukum dan HAM. Kalau itu sudah keluar maka akan menjadi landasan hukum agar kegiatan pengawasan semakin operasional," kata dia.

Pada kesempatan terpisah, Ketua Kesatuan Pelaut Perikanan Indonesia Soelistianto menilai, kondisi ABK yang belum mendapat penghidupan secara layak telah mendorong mereka bekerja ke luar negeri. Sebagaimana tercatat sekitar 210 ribu ABK yang tengah bekerja di luar negeri, tidak sedikit yang terjerat masalah dan kasus hukum.

Ia menegaskan, solusi yang bisa diciptakan pemerintah hanyalah jaminan ekonomi dan kesejahteraan. Sebagaimana kondisi saat ini, alasan ekonomi menjadi faktor mendasar para ABK terpaksa berusaha berlayar hingga ke luar negeri dengan segala bentuk resiko dan konsekuensi."Jaminan pekerjaan kepada para ABK agar mereka punya hak bekerja di dalam negeri," kata Soelistianto.

BACA JUGA: