JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pihak Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Penang akhirnya berhasil memulangkan 12 nelayan asal Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Ke-12 nelayan itu ditangkap aparat Polis Marin Malaysia di Pulau Pinang, pada 24 Juli lalu.

Para nelayan tersebut telah menjalani 4,5 (empat setengah) bulan tahanan di Penjara Perlis dan Penjara Sungai Petani, Kedah. Pelaksana Fungsi Konsuler KJRI Penang Edi Kahayanto mengatakan, sejak mendapatkan informasi dari Pihak Polis Marin Malaysia, Satgas Citizen Service KJRI Penang terus melakukan pendampingan pada kasus tersebut.

Persidangan dilaksanakan di Mahkamah Majistreet Balik Pulau, Pulau Pinang pada tanggal tanggal 6 Agustus 2015. Satgas Citizen Service KJRI Penang dipimpin oleh Konjen RI Penang hadir pada persidangan tersebut.

Pendakwa Raya/Jaksa Penuntut Umum membacakan tuduhan sesuai Seksyen 15 (1) (a) Akta Perikanan Malaysia yaitu menangkap ikan di perairan Malaysia tanpa izin. Jaksa menunjukkan 15 alat bukti termasuk foto ikan hasil tangkapan sebanyak 300 kilogram dan titik koordinat saat nelayan ditangkap.

"Atas tuduhan tersebut ke-12 nelayan telah mengaku bersalah," kata Edi dalam keterangan pers yang diterima gresnews.com, Selasa (8/12).

Guna mendapatkan keringanan hukuman, Jurubicara dari Pengadilan telah menyampaikan kepada Hakim beberapa keadaan para nelayan tersebut. Salah satunya soal ada anak/istri yang harus dinafkahi oleh nelayan yang tertangkap.

Berdasarkan Sekyen dakwaan yang digunakan, pelaku didenda paling banyak RM1.000.000 bagi nakhoda dan RM100.000 bagi awak kapal. Namun, Hakim telah memutuskan denda RM 10.000 bagi nakhoda dan RM8.000 bagi awak kapal. Apabila tidak dapat membayar denda, masing-masing nelayan tersebut akan dipenjara selama 6 bulan.

Pada 26 Agustus 2015, Satgas Citizen Service KJRI Penang telah melakukan kunjungan ke penjara untuk menjenguk ke-12 nelayan tersebut. Selanjutnya, tanggal 3 Desember 2015, Satgas KJRI Penang melakukan koordinasi dengan Pihak Imigrasi Negeri Kedah dan melakukan pembuatan dokumen perjalanan bagi 3 (tiga) nelayan yang ada di Penjara Sungai Petani, Kedah.

Tanggal 4 Desember 2015, Satgas KJRI Penang mengunjungi Penjara Perlis bertemu dengan 9 (sembilan) nelayan serta melakukan pembuatan dokumen perjalanan (SPLP). Tanggal 7 Desember 2015, ke-12 nelayan tersebut dipindahkan dari Penjara ke Depoh Imigresen Juru/Pusat Detensi Imigrasi menunggu pengurusan Check out Memo.

Selasa, 8 Desember 2015, ke-12 nelayan tersebut dipulangkan melalui Bandara Internasional Pulau Pinang ke Kualanamu Medan menggunakan penerbangan Lion Air JT 133. "Mereka tiba di Medan pada pukul 12.00 siang waktu setempat," pungkas Edi.

SEMPAT SURATI JOKOWI - Terkait penangkapan ke-12 nelayan asal Sumut ini, para istri nelayan tersebut, pada 17 Agustus lalu telah mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo meminta agar suami-suami mereka dibebaskan.

Wiliyana (32) salah satu istri nelayan yang ditangkap Malaysia, memohon dengan sangat Sang Presiden membantu memulangkan/membebaskan suaminya. "Suami kami adalah tulang punggung keluarga untuk menafkahi kami dan anak-anak," kata Wiliyana dalam suratnya yang sempat diterima redaksi gresnews.com, Agustus lalu.

Dia sempat menyatakan rasa putus asanya lantaran mendapat kabar sang suami bakal dihukum enam bulan penjara. Wiliyana mengaku, sang suami memberi tahu dirinya lewat surat telah dipaksa menandatangani berkas pengakuan bersalah.

"Atas dasar tersebut kami mohon kepada Bapak presiden untuk membantu perlindungan hukum dan memulangkan suami kami," pintanya.

Permintaan yang sama dilayangkan Safinah (25) yang suaminya juga ditangkap bersama suami Wiliyana. "Pada saat itu cuaca dalam keadaan berkabut tebal sehingga bot suami kami terpergok polisi maritim Malaysia dan kemudian dipaksa untuk berhenti," keluhnya.

Dari informasi yang diperoleh, Safinah mendapat kabar kalau suaminya yakin saat itu mereka melaut masih di wilayah RI. "Karena itu kami memohon kepada Bapak Presiden H. Joko Widodo agar mau membantu memulangkan suami kami," pintanya.

Selain keduanya, sepuluh istri nelayan lainnya juga sama-sama memohon Presiden Jokowi mendengarkan suara mereka agar suami mereka yang menjadi tulang punggung keluarga bisa dibebaskan dan dipulangkan.

Terkait penangkapan tradisional oleh polisi laut Malaysia ini, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan mengatakan hal itu sudah sangat sering dilakukan Malaysia.

Pusat Data dan Informasi KIARA per bulan Juli 2015 mencatat, sedikitnya 63 nelayan tradisional mengalami kejadian tidak manusiawi saat melaut. Mereka mengalami mulai dari penangkapan, intimidasi, pemukulan hingga pemaksaan untuk menandatangani surat pernyataan bersalah telah melanggar batas negara

Karena itulah, KIARA mendesak Presiden Joko Widodo untuk bekerja keras memastikan setiap rakyat di seluruh pelosok tanah air merasakan kehadiran pemerintahan. "Khususnya nelayan di perairan perbatasan negara," kata Sekretaris Jenderal KIARA Abdul Halim kepada gresnews.com, beberapa waktu lalu.

KRONOLOGI PENANGKAPAN - Pada kejadian penangkapan tanggal 21-24 Juli itu, diceritakan, lima orang nelayan Langkat berangkat melaut pada pukul 23.30 dari Pangkalan Brandan. Mereka menggunakan kapal nelayan dengan nomor lambung PB107.

Kapal itu dinakhodai oleh Nasrun (34), warga Sei Bilah, Kecamatan Sei Lepan. Bertindak sebagai awaknya adalah Nur Masyah (29), Ali Sabar (28), Hendra Anuar (28) dan Safrizal SY (35).

Berikutnya pada tanggal 22 Juli berangkat lagi satu tim yang juga terdiri dari tujuh orang nelayan menggunakan kapal dengan nomor lambung PB 005 berbobot 5 Gross Ton. Kapal itu dinakhodai Syafi’i (29) tahun. Bertindak sebagai Anak Buah Kapal adalah Mohd. Ridwan (27), Samsudi (28), M Yusuf (24), Jumalik (51) dan Safrizal (17).

Pada hari Jumat 24 Juli, sekitar pukul 13.30, kedua kapal itu terpergok kapal patroli Polisi Maritim Malaysia di kawasan sekitar 51 mil laut dari Langkat. Wilayah ini masih merupakan wilayah perairan Indonesia, sehingga sebenarnya polisi Malaysia itulah yang melanggar perbatasan. Hal itu diketahui melalui hubungan komunikasi lewat telepon seluler sekitar pukul 22.45 WIB.

Salah seorang nelayan, Nasrun, berhasil menghubungi istrinya Wilyana. "Dek, abang kena tangkap Polisi Diraja Malaysia. Kami digandeng masuk ke Kuala Penang. Titi Penang sudah nampak sabar-sabar ya dek dan tolong sampaikan ke Iqbal mohon diurus kami secepatnya," kata Nasrun dalam percakapan itu.

M. Iqbal yang dimaksud Nasrun adalah koordinator Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia yang kerap memberikan pendampingan hukum bagi para nelayan Langkat yang bermasalah hukum dengan Polisi Malaysia.

Dari percakapan itu pula diketahui, bahwa cuaca di laut ketika itu sedang berkabut sangat tebal dan tidak keliatan apapun sehingga dua timnelayan tradisional ini memutuskan untuk berjalan pelan sambil menunggu cuaca membaik. Pada saat itulah, dua tim nelayan tradisional itu ditangkap,” kata Halim.

Dari informasi yang diterima bahwa waktu penarikan nelayan tradisional oleh Polisi Maritim Malaysia ini sekitar 7 jam masa perjalanan baru bisa melihat titi Pulau Penang, hal ini membuktikan kalau penangkapan tersebut masih berada dalam perairan Indonesia. Halim mengatakan, dari informasi yang diperoleh diketahui kalau mereka dipaksa menandatangani surat yang tidak boleh mereka baca isi dari surat tersebut.

Para nelayan tradisional ini sudah meminta pihak Polisi Maritim Malaysia untuk menyampaikan informasi kepada Konjen Indonesia di Penang agar didampingi namun ditolak oleh Polisi Maritim Malaysia.

"Atas situasi ini penting bagi negara Indonesia untuk mendesak pihak Malaysia segera memulangkan para nelayan tradisional yang diculik serta Indonesia harus segera mengirimkan Nota Protes akibat upaya Malaysia yang sudah menculik nelayan tradisional Kabupaten Langkat," kata Halim.

BACA JUGA: