JAKARTA, GRESNEWS.COM - Nelayan kini menjadi sebuah profesi yang semakin dijauhi. Dulu dengan gagahnya anak-anak menyanyikan "nenek moyangku seorang pelaut" dan menjadikannya sebagai cita-cita masa depan. Kini hanya orang yang tak lagi punya pilihan lain yang tetap menjalani profesi ini. Selain identik dengan kemiskinan, para nelayan ini hidup jauh dari kesejahteraaan.

Karena itulah pemerintah perlu hadir membantu para nelayan ini bangkit dan meningkatkan kesejahteraan mereka. Bila menilik dari hasil sumberdaya perikanan di Indonesia para nelayan seharusnya sejahtera. Tengok saja ikan sidat alias belut laut yang harganya bisa mencapai jutaan rupiah per kilonya bila dijual ke luar negeri. Belum lagi produk perikanan lainnya seperti ikan tuna sirip biru, kerang mutiara laut dan ikan lainnya yang memiliki nilai ekonomis tinggi.

Masalahnya sumberdaya ikan yang melimpah tersebut tidak dinikmati nelayan Indonesia tapi nelayan asing yang mencuri ikan. Bahkan para nelayan asing itu berani menampung ikan hasil tangkapan nelayan tradisional di tengah laut, tentu saja dengan harga yang jauh lebih murah dari nilai ekonomis sebenarnya.

Bagi nelayan tradisional tentu menguntungkan karena menghemat biaya bahan bakar ketimbang menjualnya di pantai. Belum lagi lantaran infrastruktur perikanan yang belum memadai harga jual ikan pun tetap rendah bila dijual di pantai. Sudah membuang biaya solar harga jual ikan di darat pun rendah sehingga para nelayan tradisonal lebih suka menjualnya di tengah laut.

Bagi pemerintah, yang dilakukan nelayan tradisional dengan menjual hasil tangkapan di tengah laut tentu merugikan. Pemerintah tak mendapat imbal hasil apapun bila hasil tangkapan dijual ditengah laut. Upaya penertiban pun  dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Pemerintah lewat KKP perlu mengatur aktivitas perikanan di laut ini agar para nelayan mendapatkan hasil tangkapan yang optimal. Termasuk juga KKP mengatur pengusaha yang bergerak di sektor perikanan ini baik mereka yang bergerak dalam usaha penangkapan maupun pengangkutan ikan hingga tidak bergesekan dengan nelayan tradisional.

LEWAT INSTRUMEN PERIZINAN - KKP melakukan pengawasan serta pengendalian aktivitas perikanan dari segala bentuk pelanggaran di laut. Dalam hal ini, KKP berencana akan menertibkan segala macam pelanggaran dengan memperketat pemberian izin kepada kapal ikan yang beroperasi di Wilayah Perairan Republik Indonesia (WPPRI).

Seperti dilansir Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) KKP, perizinan di sektor perikanan merupakan salah satu layanan yang diberikan kepada masyarakat (perorangan/koperasi/ perusahaan swasta nasional).

Izin tersebut diperuntukan bagi mereka yang ingin mengajukan permohonan kegiatan usaha perikanan tangkap di WPPRI dan laut lepas yang diantaranya meliputi izin usaha perikanan, izin penangkapan dan izin pengangkutan ikan.

Sesuai standar DJPT, khusus bagi izin kapal pengangkut dijelaskan secara tertulis bahwa setiap unit usaha perikanan harus memiliki izin resmi dari pemerintah sebagai syarat dasar melakukan  pengangkutan  ikan  yang  merupakan  bagian  tidak terpisahkan dari Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP). Rangkaian peraturan tersebut merupakan bentuk pengawasan terhadap dinamika usaha perikanan sekaligus kewajiban dan syarat mutlak yang harus dimiliki setiap kapal perikanan di perairan Indonesia.

Sebelumnya, Direktur Sumber Daya Ikan DJPT KKP Tony Ruchimat mengatakan, kebijakan berupa regulasi perizinan merupakan instrumen penting dalam pengendalian sumber daya perikanan nasional. Sebab, Tony menyebut, dari hasil pengamatan dan perhitungan DJPT beberapa waktu lalu, kerap ditemukan potensi pelanggaran di sektor perikanan.

Dalam pemaparannya, ditunjukan data terkait peta wilayah perairan Indonesia berwarna merah yang menandakan area terjadinya pelangaran atau penangkapan lebih dari 80 persen. Selain itu, adapun wilayah tertentu di Indonesia yang masuk kategori berwarna kuning dimana tingkat eksploitasi mencapai 80 persen. Kemudian untuk zona berwarna hijau, tingkat eksploitasi masih minim atau dibawah 80 persen. "Data dari ketiga kategori wilayah ini berdasarkan kondisi yang ada di lapangan," ujarnya.

KELUHAN PENGUSAHA RUMITNYA PERIZINAN - Pemberlakuan izin antara penangkapan dan kapal pengangkut sama-sama diperketat pemerintah. Kondisi ini, membuat sejumlah Asosiasi khususnya yang bergerak di bidang kapal angkut mengeluh. Padahal, mereka mengaku, sejauh ini kehadiran kapal angkut sebagai transportasi strategis untuk membawa hasil tangkapan nelayan tradisional ke sentra pelelangan ikan.

Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Kapal Pengangkut Ikan Indonesia (APKPII) Gunawan mengatakan, saat ini proses perizinan bagi kapal angkut cukup rumit dan panjang. Salah satu hambatan yang kerap ditemui saat ini adalah dari segi peninjauan waktu penerbitan izin.

Dalam keterangannya kepada gresnews.com, Gunawan mengatakan, sesuai aturan yang diberlakukan pemerintah, normalnya penerbitan izin paling lama satu sampai dua minggu. Namun, kini sebagian kapal angkut terancam sulit beroperasi karena faktor durasi perizinan yang cukup berbelit-belit dan memakan waktu hingga enam bulan termasuk proses pengeluaran dokumen perizinan buku kapal.

"Waktu pengeluaran izin biasanya satu minggu atau dua minggu. Namun, kini ada yang sudah ada enam bulan belum dikeluarkan. Ini tentu menyulitkan operasi kapal dan posisi Asosiasi perikanan," kata Gunawan dihubungi gresnews.com, Rabu (1/7).

Harapannya, Gunawan menginginkan adanya satu kebijakan yang jelas dari KKP terkait pembenahan administrasi perizinan. Sebab, persoalan tersebut turut mengurangi waktu operasional kapal angkut sekaligus menyulitkan kalangan pengusaha dalam mencapai target distribusi ikan hasil tangkapan nelayan.

"Sekarang ini banyak pelaku perikanan bingung dengan arah kebiajakan pemerintah," kata Gunawan.

PERAN KAPAL ANGKUT IKAN - Kapal angkut sesuai keterangan pihak APKPII memiliki beberapa spesifikasi. Dijelaskan, selama ini kapal angkut yang dimiliki APKPII dioperasikan berdasarkan kerjasama dengan daerah terpencil yang tidak memiliki akses ke sentra-sentra pelelangan ikan yang berada di Pulau Jawa seperti Surabaya dan Jakarta.

Wakil Ketua APKPII Gunawan kembali menjelaskan, pihaknya sering bekerjasama dengan nelayan tradisional khususnya di wilayah Indonesia Timur dengan cara membeli atau mengangkut hasil tangkapan mereka ke tempat pelelangan ikan sesuai harga yang disepakati bersama. Berdasarkan informasi yang diterima gresnews.com, jenis ikan yang diangkut adalah Tongkol dan Kembung dengan harga beragam berkisar mulai Rp 5 ribu ke atas.

"Ada berbagai tujuan transportasi kapal angkut misalnya dari Sorong, Papua Barat ke tempat pelelangan di Jakarta atau dari Merauke ke Surabaya dengan menggunakan mekanisme port to port," jelas Gunawan.

Sekedar diketahui, kini APKPII memiliki kurang lebih 70 unit kapal angkut dengan rincian daerah operasional berada di laut Sulawesi, Banggai, Laut Seram, Maluku, Kaimana, Sorong, Tual dan Kupang. Sementara, ukuran Kapal rata-rata sekitar 50 GT-100 GT dan 100 GT-200 GT.

KOLAPS TANPA KAPAL ANGKUT - APKPII menyebut, kapal angkut selama ini memberikan kemudahan pemasaran hasil tangkapan nelayan tradisional di wilayah Indonesia Timur. Dimana, selama ini para nelayan di daerah terpencil masih kesulitan membawa hasil tangkapan ke Jawa mengingat jarak dan biaya yang cukup tinggi.

"Kapal angkut jadi pilihan nelayan tradisonal untuk menghubungkan distribusi hasil tangkapan dari titik-titik yang terisolir," jelas Gunawan.

Tanpa kapal angkut, lanjutnya, banyak persoalan sistemik yang akan timbul. Sebut saja, misalnya jika izin kapal angkut terhambat maka aktivitas penangkapan nelayan di wilayah di timur terancam kolaps. Pasalnya, kapal angkut kerap menjadi pilihan para nelayan untuk mendistribusikan hasil tangkapannya ke sentra perikanan.
 
"Bahkan, tanpa kapal angkut, para nelayan tidak bisa menangkap ikan karena tidak ada transportasi yang memuat hasil tangkapan mereka," ujarnya.

BACA JUGA: