JAKARTA, GRESNEWS.COM - Apa kabar korporasi terduga pembakar hutan? Ramai beragam isu bertebaran seperti kasus "papa minta saham" secara efektif telah menenggelamkan isu penegakan hukum terhadap korporasi terduga pembakar hutan di Sumatera dan Kalimantan yang telah menyebabkan terjadinya bencana kabut asap yang melanda kedua wilayah tersebut selama lebih dari 5 bulan.

Penegak hukum pun seperti tak terlalu serius menangani kasus ini. Pun demikian dengan rencana pembentukan panitia khusus kebakaran hutan di Dewan Perwakilan Rakyat yang tak lagi terdengar gaungnya. Dewan Perwakilan Daerah yang sudah membentuk pansus kebakaran hutan pun tak terdengar kerjanya.

Padahal, kasus kebakaran hutan ini diduga melibatkan perusahaan-perusahaan besar. Hasil investigasi terbaru terkait kebakaran hutan yang dilakukan Eyes on the Forest (EoF) mengungkapkan fakta tersebut.

Berdasarkan temuan EoF diduga terjadinya kebakaran hutan di Sumatera dan di Kalimantan dilakukan dengan sengaja. EoF mengungkap hal itu setelah melakukan pemeriksaan secara acak berdasarkan sebaran titik api yang signifikan di 37 lokasi dengan jumlah 31 perusahaan.

"Hasil investigasi kami ini meruntuhkan mitos yang dibangun kalangan perbisnis perkayuan dan perkebunan bahwa mereka tidak mungkin bersalah dalam kejadian pembakaran hutan dan lahan yang berdampak luar biasa bagi bangsa, tapi pembakaran di dalam konsesi bukanlah mitos yang diada-adakan oleh masyarakat sipil, namun adalah fakta lapangan," Kata Koordinator Jikalahari Woro Supartinah kepada gresnews.com, Kamis (17/12) di Kantor Walhi di Jakarta.

Woro menjelaskan, sejumlah nama besar di industri pulp dan kertas serta perkebunan sawit diduga terlibat. Banyak diantara lahan yang dibakar atau sengaja dibiarkan terbakar ada di lahan konsesi perusahaan-perusahaan tersebut.

Bahkan dari hasil investigasi ditemukan ada perusahaan yang terlibat kasus pembakaran hutan di tahun tahun 2013 dan 2014 masih juga terlibat dalam kasus di tahun 2015 ini. Perusahaan itu, kata aktivis WWF Nursamsu, diantaranya adalah PT Ruas Utama Jaya (anak usaha APP), PT Sumatera Ruang Lestari blok IV Pulau Rupat (APRIL) PT Bumi Raksa Nusa Sejati (TH Berhad) dan PT Langgam Inti Hibrindo (Provident Agro Wilmar)

"Dua perusahaan HTI ini merupakan muka lama. Tahun 2013 sudah menjadi tersangka kasus karhutla juga, diperlukan penegakan hukum yang efektif untuk memastikan kebakaran ini tidak berulang kembali di kawasan mereka," kata Nursamsu kepada gresnews.com, Kamis (17/12).

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau mengatakan, kasus pembakaran hutan dan lahan di dalam konsesi korporasi Hutan Tanaman Industri (HTI) dan sawit terlepas disengaja atau tidak sengaja tetap saja menjadi tanggung jawab mutlak korporasi.

"Ya kalau pembakaran hutan dan lahan didalam konsesi korporasi HTI dan Sawit baik disengaja atau lalai tapi tetap saja menjadi tanggung jawab mutlak korporasi sesuai dengan ketentuan dalam izin konsesi mereka," tegas Koordinator Walhi Riau Riko Kurniawan saat dikonfirmasi gresnews.com, Kamis (17/12).

Menurut Riko seharusnya penegak hukum mempertimbangkan dampak karhutla yang luar biasa bagi dimensi kesehatan, ekonomi dan Sosial serta lingkungan sehingga tanggung jawab mutlak korporasi tersebut. "Maka sudah semestinya korporasi dimintakan pertanggungjawaban karena tidak memenuhi kewajiban sebagai pemegang izin dan pengelolahan kawasan," tambah Riko.

KAKAP DIUNGKAP, TERI YANG DISIKAT - Penegak hukum sendiri dikritik karena dalam penegakan hukum atas kasus kebakaran hutan ini cenderung tebang pilih. Ketika hasil investigasi independen oleh lembaga swadaya masyarakat menunjukkan adanya keterlibatan perusahaan kelas kakap, aparat penegak hukum malah cenderung menindak perusahaan kelas teri.

Walhi misalnya, sudah lama mengungkapkan adanya keterlibatan perusahaan perkebunan sawit dan HTI besar dalam kasus kebakaran hutan ini. Manajer Kampanye Walhi Edo Rakhman mengatakan, dari hasil analisis Walhi, diketahui mayoritas titik api berada di dalam konsesi perusahaan.

Di konsesi HTI ditemukan 5.669 titik api, sementara di perkebunan sawit ditemukan 9.168 titik api. Konsesi-konsesi itu, kata Edo, dipegang perusahaan besar. Di Kalteng misalnya ditemukan keterlibatan Sinar Mas lewat tiga anak perusahaan dan Wilmar dengan 14 anak perusahaan.

Sementara di Riau ada keterlibatan Asia Pulp and Paper (APP) dengan enam anak perusahaan, Sinar Mas (6), APRIL (6), Simederby (1), First Resources (1) dan Provident (1). Kemudian di Sumsel, ada Sinar Mas (8) Wilmar (11), Sampoerna (4), PTPN (3), Simederby (1), Cargill (1) dan Marubeni (3). Lalu di Kalbar ada Sinar Mas (6), RGM/APRIL (6). Di Jambi Sinar Mas (2) dan Wilmar (2).

Sayangnya, polisi enggan bergerak untuk menindak perusahaan-perusahaan besar itu. Polisi hanya berani menyikat perusahaan kelas teri tanpa berani mencari kaitan dengan induk usahanya. "Yang ditetapkan tersangka Mabes Polri cuma tiga. Itupun perusahaan kecil. Ini menunjukkan penegakkan hukum belum mengarah aktor besar yang mengakumulasi praktik besar pembakaran hutan," kata Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Arie Rompas beberapa waktu lalu.

Padahal, jika polisi serius, tak sulit menemukan kaitan perusahaan-perusahaan kecil itu dengan induknya mengingat perusahaan besar seperti Wilmar, Sinar Mas dan lain-lain kerap mengakumulasi mulai pemilik lahan, membeli CPO dari perusahaan menengah dan kecil, hingga mendapatkan keuntungan dari pembakaran hutan dan lahan.

Terkait tudingan ini, aparat kepolisian sendiri membantah tidak serius dalam menyidik kasus tersebut. Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komjen Anang Iskandar mengatakan, sejauh ini, ada 80 tersangka dari lima korporasi yang sudah dijerat.

"Soal kebakaran sudah ada 80 lebih tersangka dan 5 dari korporasi. Hukuman tergantung dari pengadilan. Kita membawa dan memberkas kasus ini ke dan kejaksaan-kejaksaan yang akan memproses ke pengadilan," ujar Anang.

Selain itu, ada 9 kasus yang penyidikannya sudah lengkap P21 dan siap dilimpahkan ke Kejaksaan. Anang juga menegaskan polisi tak hanya menindak perusahaan kecil. "Perusahaan besar ya ada. Ada perusahaan besar, kecil dan perorangan. Ini makanya diungkap," kata Anang beberapa waktu lalu.

PENYIDIKAN TETAP JALAN - Terkait kasus kebakaran hutan dan lahan ini, pihak Kejaksaan Agung juga menegaskan penyidikan tetap berjalan. Jaksa Agung Muhammad Prasetyo menyebut saat ini Kejagung telah menerjunkan tim jaksa ke daerah-daerah di mana lokasi kebakaran hutan terjadi.

Tim jaksa yang diturunkan itu bertugas untuk melakukan supervisi. "Kita sudah kirim sejumlah jaksa ke sejumlah daerah untuk supervisi penanganan perkara kehutanan," kata Prasetyo, Minggu (13/12).

Prasetyo juga menegaskan perkara kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tak hanya dikenai pidana tetapi harus dibarengi dengan perdata. "Yang pasti sudah ada pertemuan antara Kejagung dengan pihak (Kementerian) LHK ya. Kita sudah sepakat nantinya ketika ditangani kasus pidananya, akan dibarengi dengan gugatan perdatanya kalau ada kerugian," katanya.

Gugatan perdata memang diperlukan untuk ´menguras´ kekayaan pelanggar hukum yang telah membuat kabut asap semakin menjadi-jadi. Namun untuk menerapkan gugatan perdata, harus ada dugaan kerugian keuangan negara yang disebabkan tindak pidana yang dilakukan.

Lebih lanjut lagi, Prasetyo menyebut sejauh ini sudah ada 120 surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) dari pihak kepolisian. Sementara dari Mabes Polri sendiri baru ada 4 SPDP yang diterima. "SPDP yang diterima kejaksaan (ada) 120, itu menyebar ke daerah-daerah kebakaran yang terjadi. Di Sumsel, Jambi, Riau, Kalteng dan Kalbar. Mabes (Polri) ada 4 SPDP yang diserahkan," ucap Prasetyo.

Penyidik kasus karhutla memang melalui pihak kepolisian. Pihak kejaksaan hanya menerima berkas yang kemudian disusun menjadi berkas dakwaan. Hanya saja sejauh ini belum ada perkara yang maju ke meja hijau lantaran masih harus dilengkapi oleh penyidik kepolisian. (Gresnews.com/ Agus Irawan/dtc)

BACA JUGA: