JAKARTA - Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) masih terus terjadi setiap tahun, terutama di wilayah Sumatera dan Kalimantan, yang diduga dilakukan oleh korporasi yang mendapatkan modal dari lembaga keuangan nasional dan internasional. Upaya pencegahan harus dikedepankan sebagai sarana untuk menghentikan karhutla, salah satunya melalui sektor pembiayaan. Lahirnya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 51/POJK03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan memberikan babak baru bagi sektor keuangan seperti perbankan agar berkontribusi dalam memastikan tercapainya pembangunan berkelanjutan.

Koordinator Indonesian Working Group on Forest Finance (IWGFF) Willem Pattinasarany menyampaikan peran bank dan lembaga non-bank sangat penting dalam memberikan pinjaman kepada perusahaan minyak sawit, terutama yang ditunjuk sebagai penyalur Crude Palm Oil (CPO), untuk biodiesel yang didistribusikan ke PT Pertamina (Persero) dan beberapa perusahaan Public Service Obligation (PSO) dan non-PSO.

"Dampak dari proses bisnis dalam industri minyak sawit yang tidak mengindahkan prinsip No Deforestation, No Peat Development and No Exploitation (NDPE) mengakibatkan hasil negatif bagi warga negara Indonesia yang berada di wilayah operasi perusahaan minyak sawit," kata Willem dalam keterangan yang diterima Gresnews.com, Rabu (16/10).

Hadi Jatmiko dari LHI (Lingkar Hijau Indonesia) menyebutkan karhutla ialah kejahatan luar biasa sehingga memerlukan penegakan hukum yang luar biasa. Lembaga keuangan perbankan harus terlibat menghentikan kejahatan dengan ikut terlibat memberikan sanksi terhadap perusahaan pelaku kebakaran hutan dan lahan. “Jika perbankan tidak memberikan sanksi maka kami mengajak masyarakat memboikot dana pada bank-bank yang diketahui membiayai pelaku kebakaran hutan dan lahan,” tegasnya.

Muhammad Busyro Fuad dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) menyatakan dalam konteks penegakan hukum terhadap kasus kebakaran lahan dan hutan (karhutla) yang terjadi selama ini, Pemerintah melalui KLHK telah mengeluarkan sanksi administratif berupa teguran tertulis, paksaan pemerintah, pencabutan izin, dan pembekuan izin bagi perusahaan yang terlibat dalam karhutla. Namun kasus karhutla yang kembali terjadi di Kalimantan dan Sumatera, merupakan indikator penting bahwa upaya yang dilakukan pemerintah tidak mampu menghentikan pembakaran/kebakaran hutan dan lahan.

“Akibatnya, masyarakat menjadi korban pertama yang paling dirugikan akibat karhutla. Selain Pemulihan hak-hak korban, harus ada upaya preventif lain yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk menghentikan karhutla, salah satunya melalui sektor pembiayaan,” ujarnya.

Total luas lahan yang terbakar sejak Januari sampai Agustus 2019 adalah 328.722 hektare, dan sampai saat ini di Sumatera Selatan masih terjadi kebakaran hutan dan lahan di beberapa konsesi perkebunan. Ribuan orang terpaksa menghirup udara beracun sisa pembakaran lahan. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan masyarakat yang terserang ISPA sejak Februari sampai dengan September 2019 total 919.516 jiwa. (G-2)

BACA JUGA: