JAKARTA - Pemulihan lahan gambut memerlukan biaya yang tidak sedikit dan waktu yang lama, tergantung pada tingkat kerusakannya. Pemulihan bukan hanya lahannya semata melainkan juga pada masyarakat terdampak yang tinggal di daerah sekitar lokasi bekas kebakaran hutan.

Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead mengatakan proses pemulihan memerlukan kajian terlebih dulu dan memastikan proses pembangunan yang hijau dan berkelanjutan. "Kalau kerusakannya sudah parah, langkah pemulihannya itu 30 tahun saja belum selesai," kata Nazir kepada Gresnews.com di Jakarta, Rabu (29/1).

Menurut dia, proses restorasi itu tak mudah lantaran bukan hanya pemulihan tanah saja. Bila seperti itu, sekadar pemulihan lahan, biaya yang dikeluarkan tidak banyak. Menjadi lama dan mahal lantaran selama proses pemulihan juga disertai dengan upaya penguatan ekonomi dan peran sektor riil masyarakat sekitar.

Proses restorasi di wilayah seperti itu perlu memperhatikan faktor sosial-ekonomi dan membutuhkan upaya serta waktu yang tidak sebentar, dimulai dengan membangun konsensus yang dapat diterima seluas-luasnya, hingga menyesuaikan kebijakan daerah dalam pemanfaatan lahan gambut.

BRG, yang dibentuk pada 6 Januari 2016 melalui Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016, ditargetkan melakukan restorasi lahan gambut sekitar 2 juta hektare (ha) hingga 31 Desember 2020. Dalam analisis BRG, lahan gambut yang perlu direstorasi terletak di tujuh provinsi prioritas, yakni Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua, yang mencapai 2,67 ha.

Hingga 31 Desember 2019, Nazir mengatakan capaian restorasi gambut yang dilakukan dan disupervisi BRG di area nonkonsesi seluas 787.000 ha dan di area konsesi seluas 408.203 ha.

Dari total 2,67 juta ha target restorasi, luas area yang merupakan keterlanjuran relatif tinggi atau areal di dalam konsesi yang sudah dikeluarkan izin sah mencapai 2/3. "Luasnya adalah 1,7 juta ha yang sudah ada izin konsesinya, baik HGU perkebunan, HTI, dan HPH," ujarnya.

Ia menjelaskan upaya BRG dalam melakukan restorasi hidrologis dan biologis, berupa pengelolaan tata air untuk sekat kanal. Sekat kanal itu dapat dibuka dan tutup sehingga bisa mengatur pasokan air. (G-2)

 

BACA JUGA: