Mempertanyakan Klaim Mewujudkan Kedaulatan Pangan
JAKARTA, GRESNEWS.COM – Pemerintah melalui Kementerian Pertanian kemarin, Sabtu (17/10) secara resmi membuka acara peringatan Hari Pangan Sedunia ke-35 di Stadion Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan. Acara yang diagendakan berlangsung hingga 20 Oktober 2015 ini mengangkat tema "Pemberdayaan Petani Sebagai Penggerak Ekonomi Menuju Kedaulatan Pangan".
Dalam tema tersebut, pemerintah menyatakan, kunci untuk menuju kedaulatan pangan di Indonesia adalah produktivitas para petani dalam meningkatkan hasil produksi lahannya. Dalam konteks ini, ada pertanyaan besar yang harus terjawab yaitu seberapa jauh pemerintah mensupport serta menjamin para petani dalam rangka mewujudkan kedaulatan pangan tersebut.
Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengatakan, pemerintah berkomitmen dalam mewujudkan kedaulatan pangan. Fokus pemerintah adalah pada pencapaian swasembada pangan, khususnya untuk swasembada tujuh komoditas, yaitu padi, jagung, kedelai, daging sapi/kerbau, tebu, cabai, dan bawang merah.
Untuk menuju target itu, lanjut Amran, pemerintah telah membuat sejumlah program yang harus selesai dalam kurun waktu lima tahun kedepan, yaitu penyediaan tambahan lahan sawah baru seluas 1 juta hektare, rehabilitasi saluran atau jaringan irigasi seluas 3 juta hektare, serta pemulihan kesuburan lahan pertanian.
Selain itu, Amran juga sebelumnya menyatakan, pihaknya telah membuat empat regulasi untuk mendukung produktivitas para petani untuk meningkatkan hasil panennya. Pertama, pemerintah telah mengubah proses tender menjadi penunjukan langsung dalam pengadaan bantuan pertanian seperti benih, pupuk, alat dan mesin pertanian (alsintan), dan lain sebagainya.
Kedua, meminta kepada daerah agar tidak menanam pangan di area existing (yang sudah ditanami). Ketiga, meningkatkan anggaran pertanian daerah agar dapat meningkatkan produksi pertanian, dan yang keempat adalah, melibatkan para stakeholder seperti Badan Urusan Logistik (BULOG), TNI, dan para petani dalam rangka meningkatkan produktivitas hasil pertanian serta dapat mengamankan pasokan pangan dalam negeri sehingga tak membutuhkan impor.
Kedaulatan pangan telah menjadi salah satu isu strategis Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Jokowi pada saat kampanye jelang Pilpres telah menegaskan kedaulatan pangan adalah salah satu cita-cita yang harus dipenuhi dalam kurun waktu lima tahun kedepan.
Bukan hanya itu, Jokowi juga telah menjanjikan akan membuka lahan baru bagi petani seluas 9 juta hektare. Selain penyediaan lahan, pemerintah juga berencana akan membangun 49 waduk dan saluran irigasi bagi petani seluas 3 juta hektare.
Tidak selesai sampai disitu, Pemerintahan Jokowi-JK juga menambahkan anggaran khusus untuk sektor pertanian yang diambil dari subsidi BBM yaitu sekitar Rp24 triliun.
TAGIH JANJI NAWACITA - Meski pemerintah telah berjanji untuk mewujudkan kedaulatan pangan, namun kenyataannya dalam setahun pelaksanaan program Jokowi-JK di bidang pangan dinilai belum memberikan perubahan berarti khususnya dalam meningkatkan kesejahteraan petani. Fokus pada pengingkatan produksi dinilai langkah yang keliru dalam mewujudkan janji kedaulatan pangan.
Sekretaris Jenderal Serikat Petani Pasundan (SPP) Agustiana mengaku kecewa terhadap pemerintahan Jokowi-JK. Menurutnya, kesejahteraan petani yang dijanjikan Jokowi-JK ketika masa kampanye lalu tidak dapat dirasakan oleh kaum tani.
Ia menilai selama setahun pemerintahan Jokowi-JK berjalan, pemerintah hanya melakukan aksi propaganda dalam meningkatkan kesejahteraan petani. "Tidak ada kesejahteraan bagi petani, yang ada propaganda pemerintah pusat dan itu semua merupakan kebohongan belaka," kata Agustiana kepada gresnews.com melalui sambungan seluler, Minggu (18/10).
Lebih jauh lagi ia mengatakan, pemerintah telah melakukan kebohongan publik yang teramat sangat besar terkait dengan rencana mewujudkan kedaulatan pangan (swasembada pangan). Menurutnya, janji manis pemerintahan Jokowi-JK yang akan menyediakan lahan pertanian untuk kaum petani hanya sebatas isapan jempol belaka.
Agustiana meyakini, kedaulatan pangan yang selama ini digembar-gemborkan pemerintah tidak akan pernah tercapai. "Mau kedaulatan pangan gimana, lahannya nggak ada kok ngomongin kedaulatan pangan," katanya menegaskan.
Pria asal Garut, Jawa Barat yang juga aktif dalam mengorganisir petani dalam pemenangan Jokowi-JK pada pilpres 2014 lalu itu mengaku kecewa pada pemerintahan saat ini. Pasalnya, pemerintah telah melulu berbicara kedaulatan pangan tanpa diikuti dengan bukti nyata dalam mensejahterakan para petani.
Ketika disinggung dengan program pemerintah yang telah memberikan subsidi pupuk dan benih untuk para petani, Agus pun bergeming, bahwa subsidi pupuk dan benih, termasuk teknologi yang dilakukan oleh pemerintah melalui Kementerian Pertanian itu tidak memiliki dampak banyak pada rencana terwujudnya swasembada pangan.
Alasannya, parameter swasembada pangan tidak selesai pada peningkatan hasil panen yang tadinya dilahan seluas satu hektare hanya menghasilkan lima ton, dengan pupuk dan teknologi dari pemerintah menjadi delapan ton semata. "Hal itu tidak akan berpengaruh pada swasembada pangan sesungguhnya," katanya menegaskan.
Lebih jauh ia mengatakan, luas lahan pertanian di Indonesia saat ini hanya sekitar 7 persen dari total luas daratan seluruh Indonesia. Luas itu tiga kali lebih kecil dibandingkan dengan luas lahan yang saat ini terbakar di daerah Sumatera dan Kalimantan. Belum lagi jika dibandingakn dengan luas lahan yang sudah diberikan izin HPH, HGU dan lain sebagainya itu satu berbanding 12.
Ia menjelaskan, sesuai data kehutanan, dari total sekiar 70 persen lahan daratan di kawasan Indonesia sejumlah 21,9 persen dikuasai pihak di luar perhutanan seperti perumahan, infrastruktur, industri dan lain sebagainya. Untuk lahan budidaya petani hanya sekitar 7 persen dari total daratan seluruh Indonesia.
"Nah, kalau lahan budidaya pertanian untuk pangan itu hanya sekitar 7 persen dari total luas daratan, kemudian pemerintah mengatakan akan siap melakukan swasembada pangan, itu siap dari mana?" katanya mempertanyakan.
"Itu pun masih terancam dengan alih fungsi lahan, jadi logikanya gimana kedaulatan pangan akan terpenuhi kalau lahannya juga terancam," tambahnya.
Menurut Agustiana, selama ini pemerintah telah salah memahami makna kedaulatan pangan, sehingga program yang dilakukan oleh pemerintah seolah-olah mendukung program kedaulatan pangan dengan memberikan subsidi pupuk, benih, serta Alat Mesin Pertanian (Alsintan). Kendati demikian ia tidak menampik bahwa hal itu juga penting guna meningkatkan hasil produksi pertanian.
Hanya saja, menurut dia pola meningkatkan hasil produksi pertanian masih luput dari tujuan menciptakan kedaulatan pangan itu sendiri. "Yang terpenting itu adalah penyediaan serta jaminan penggunaan lahan untuk petani. Kalau tidak ada penyediaan lahan bagi petani maka kedaulatan pangan mustahil terjadi," tegasnya.
SYARAT KEDAULATAN PANGAN - Pada kesempatan terpisah, Ketua Serikat Petani Indonesia, Henry Saragih, menilai target menuju kedaulatan pangan masih jauh panggang dari api. Menurutnya, salah satu indikasi terwujudnya kedaulatan pangan adalah hak atas perolehan tanah untuk petani.
"Janji distribusi tanah 9 juta hektare kepada rakyat tak bertanah harus disegerakan. Berbahaya peningkatan produksi pertanian tanpa terlebih dahulu melakukan land reform," kata Henry Saragih kepada gresnews.com, Minggu (18/10).
Ia menambahkan, dalam menuju kedaulatan pangan pemerintah tidak hanya dapat berpatokan pada jumlah produksi yang dihasilkan dari para petani. Terlebih bahaya lagi jika produksi petani tersebut hanya dijadikan sebagai komoditas ekspor.
Karena dalam menuju kedaulatan pangan hal yang sangat mendasar harus dipahami semua pihak terutama para stakeholder adalah hasil produksi pangan untuk kebutuhan pangan nasional. "Pangan untuk pangan dan tidak sekadar komoditas yang diperdagangkan," ujarnya.
Lebih jauh ia mengatakan, kinerja Kabinet Kerja Pemerintahan Jokowi yang mengurusi pertanian, agraria, dan pangan telah keliru dalam menafsirkan nawacita ke dalam RPJMN dan implementasi programnya. Hal itu dapat dilihat dalam pendistorsian kedaulatan pangan hanya sekadar peningkatan produksi pertanian (swasembada pangan) seperti padi, jagung, kedelai (pajale), tanpa menyusun program pendistribusian tanah ke petani yang sudah dijanjikan seluas 9 juta hektare.
"Mana mungkin kedaulatan pangan tercapai kalau petani gurem dan tak bertanah," katanya menegaskan.
Ia juga menilai tidak ada perubahan kelembagaan dalam lembaga ekonomi dan petani pedesaan. Pemerintah masih mengandalkan cara kerja seperti pemerintahan sebelumnya yang tidak efektif dan salah kaprah dengan mengandalkan Kelompok Tani dan Gabungan Kelompok Petani (Gapoktan) yang dibangun sejak era Soeharto yang dianggap sudah tidak memadai.
Dengan menggunakan cara kerja yang lama, menurut Henry banyak bantuan pemerintah yang salah sasaran dan tidak tepat. "Tidak mungkin kedaulatan pangan tercapai kalau hanya mengandalkan kelompok tani dan gapoktan yang dibangun sejak era Soeharto," tegasnya.
Menurut Henry, terdapat tujuh prasyarat utama untuk menegakkan kedaulatan pangan, antara lain adalah, pembaruan agraria atau reform agrarian, adanya Hak Akses Rakyat terhadap pangan, penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan, pangan untuk pangan dan tidak sekadar komoditas yang diperdagangkan, pembatasan penguasaan pangan oleh korporasi, melarang penggunaan pangan sebagai senjata, pemberian akses ke petani kecil untuk perumusan kebijakan pertanian
"Tujuh syarat itu yang harus dilakukan pemerintah jika ingin kedaulatan pangan terwujud," katanya mengakhiri pembicaraan. (Gresnews.com/Rifki Arsilan)
- Menakar Peranan Negara dalam Konsep Human Security dan State Security
- Pandemi Biasanya Diikuti Krisis Pangan, Bagaimana Ketahanan Indonesia?
- Impor Sayur Mayoritas dari China Naik Belasan Triliun Rupiah, Politik Anggaran Pertanian Perlu Diubah
- Ketahanan Pangan Jadi Masalah Serius di tengah Pandemi COVID-19
- Ketahanan Pangan untuk Hadapi COVID-19 Diragukan
- Harga Pangan Melonjak, Inflasi Mengancam
- DPR Apresiasi Pemerintah Jaga Stabilitas Harga Pangan