JAKARTA - Ketahanan pangan nasional diragukan kapasitasnya untuk menghadapi situasi pandemi COVID-19 yang diprediksi masih akan berlangsung lama. Ketahanan pangan itu mencakup kecukupan stok dan daya beli masyarakat. Data kecukupan stok pangan yang dilansir oleh pemerintah sering kali meragukan.

Demikian poin-poin penting yang disampaikan oleh Ketua Harian Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jawa Barat, Entang Sastraatmadja, kepada Gresnews.com, Selasa (7/4).

Pemerintah menyatakan stok pangan, terutama bahan pangan pokok, cukup untuk beberapa bulan ke depan. “Tapi kan kadang-kadang kita juga meragukan data itu,” kata Entang.

Mengapa meragukan? Kata Entang, Badan Pusat Statistik (BPS) pernah melakukan kajian tentang hal itu. Akhirnya, BPS menghitung produksi beras dengan metode baru yang disebut Kerangka Sampel Area (KSA).

"Dari hasil itu terjadi penyimpangan. Antara data yang selama ini kita pakai dengan hasil studi BPS. Penyimpangannya tidak tanggung-tanggung, 32% berbeda," ungkapnya.

Sempat terjadi kegaduhan dan akhirnya Kementerian Pertanian melakukan konsolidasi data. "Jadi persoalan data ini yang jadi kata kunci untuk mengatakan stok pangan itu cukup atau tidak," tuturnya.

Namun, ujarnya, bila melihat perkembangan dan fenomena yang ada, di mana dalam beberapa waktu belakangan ini Indonesia masih mengimpor beberapa barang pangan, kondisi ketahanan pangan saat ini menimbulkan keraguan.

“Jadi stok pangan cukup atau tidak, kalau memang masyarakat percaya kepada data yang disampaikan pemerintah itu cukup. Tapi menilik adanya data yang tidak sinkron maka harus hati-hati juga dengan stok pangan ini,” kata Entang.

Lebih lanjut dia menjelaskan, pemerintah menyatakan bahwa stok pangan cukup untuk beberapa bulan ke depan. Sebut saja enam bulan, berarti termasuk bulan Ramadan. Namun, persoalannya bukan sekadar cukup stok karena umumnya menjelang Ramadan, harga bahan pangan mulai naik.

"Bukan hanya sekadar produksinya tapi yang penting harganya. Kadang-kadang harga itu melambung tinggi. Supaya harga tidak melambung tinggi berarti stok pangannya harus kita sediakan," jelasnya.

Menurut Entang, saat ini daya beli masyarakat cenderung turun, ditambah lagi karena faktor COVID-19. Jika tak ada intervensi pemerintah, ketahanan pangan akan terganggu.

Demi menjaga daya beli, salah satunya dengan cara memberikan subsidi tunai dari pemerintah, misalnya uang sebesar Rp500.000 per kepala keluarga. Biasanya alokasi dana tersebut 1/3 dalam bentuk uang tunai dan 2/3 adalah bahan pangan pokok.

Persoalannya adalah pada pola penyalurannya. Dia khawatir, berdasarkan pengalaman dari program raskin (beras untuk masyarakat miskin) dan rastra (beras untuk keluarga sejahtera), pola distribusinya belum bagus. Apalagi untuk masyarakat-masyarakat pedesaan yang jauh dari jangkauan kota sangat sulit untuk melakukan distribusi itu.

"Jadi kesimpulan saya dengan adanya virus korona ini pasti akan berpengaruh terhadap ketahanan pangan," tuturnya.

Masalah lain dari sisi produksi adalah potensi gagal panen. Salah satu faktor yang dapat menyebabkan gagal panen adalah faktor iklim. Iklim ini tidak menentu dan tak ada yang bisa mengendalikan. Bila tiba-tiba saat panen terjadi musim hujan kemudian terendam, hancur semua.

"Oleh karena itu, menurut saya ya kita juga harus berdoa. Bahwa pada saat musim panen, kan akhir Maret sampai April ini panen raya untuk padi," ujarnya.

Berdasarkan data BPS, luas panen padi pada 2019 sebesar 10,68 juta hektare atau mengalami penurunan sebanyak 700,05 ribu hektare atau 6,15% dibandingkan dengan 2018. Produksi padi pada 2019 sebesar 54,60 juta ton GKG atau mengalami penurunan sebanyak 4,60 juta ton atau 7,76% dibandingkan dengan 2018. Jika produksi padi pada 2019 dikonversikan menjadi beras untuk konsumsi pangan penduduk, produksi beras pada 2019 sebesar 31,31 juta ton atau mengalami penurunan sebanyak 2,63 juta ton atau 7,75% dibandingkan dengan 2018.

Secara terpisah, Menteri Sosial (Mensos), Juliari P Batubara, menyampaikan beberapa program jaring pengaman sosial sudah berjalan. Program yang telah dilaporkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), sebagaimana disampaikan Mensos dalam keterangan pers melalui daring, Selasa (7/4), adalah: Pertama, Program Keluarga Harapan (PKH), sesuai bulan ini dari 9,2 juta keluarga penerima manfaat menjadi 10 juta keluarga penerima manfaat, dengan ada kenaikan indeks kurang lebih 25%, dan sudah berjalan; kedua, program sembako atau bantuan pangan nontunai untuk 15 juta dinaikkan menjadi 20 juta keluarga menerima manfaat juga sudah berjalan saat ini.

Program tambahan selain yang sudah berjalan, yakni: Bansos khusus wilayah Jakarta dan wilayah Bodetabek yang berbatasan langsung dengan wilayah Jakarta (DKI Jakarta, Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kota Bekasi, Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan).

“Itu adalah wilayah Bodetabek yang langsung berbatasan dengan DKI, kami akan memberikan bansos khusus berupa sembako, bansos khusus presiden,” ujarnya.

Dengan durasi selama tiga bulan yang akan dimulai dalam waktu dua minggu dari sekarang, dia menyampaikan, indeksnya adalah Rp600 ribu per keluarga untuk wilayah-wilayah tersebut.

”Data yang kami gunakan adalah keluarga yang ada di dalam data terpadu kami atau Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS)  kami ditambah tentunya masukan tambahan data-data dari Pemda. Saat ini kami sudah memegang data masukan dari Pemda DKI, baru kemarin kami terima,” katanya.

(G-2)

BACA JUGA: