JAKARTA - Kondisi ketahanan pangan cukup rentan terutama ketika krisis akibat COVID-19. Secara umum, impor pangan Indonesia selama ini tergolong tinggi, terlebih pada komoditas sayuran.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan impor sayuran sepanjang 2019 meningkat dibandingkan dengan 2018 menjadi US$770 juta (Rp11,3 triliun, asumsi kurs Rp14.700 per dollar AS).

Pengamat pertanian Entang Sastraatmaja mengatakan impor sayur mayur sebesar Rp11,3 triliun itu keterlaluan. Menurut dia, sayuran impor tersebut paling banyak didatangkan dari China dan trennya terus menanjak.

Selain sayuran, Indonesia juga tercatat sebagai importir buah-buahan. Berdasarkan data 2019, dalam setahun Indonesia bisa mendatangkan buah dengan total US$1,5 miliar (Rp22,5 triliun).

"Keterlaluan bagi negara yang memang punya potensi mengembangkan sayur-sayuran dan buah," kata Entang kepada Gresnews.com, Selasa (26/5/2020).

Ia menilai selama ini pemerintah lebih berpihak terhadap pengembangan tanaman pokok seperti padi atau beras. Pengembangan produk hortikultura, palawija, dan buah-buahan seolah-olah dinomorduakan. Selain itu, dari sisi politik anggaran, habis-habisan digunakan untuk padi. Baru dalam beberapa waktu lalu yang juga mendapat perhatian adalah jagung dan kedelai.

"Oleh karenanya wajar kalau usaha tani atau budidaya sayur-sayuran ini menjadi terbengkalai dan kurang mendapat perhatian anggaran dari negara. Kalau pun ada anggaran APBN, itu hanya alakadarnya," jelasnya.

Menurut Entang, sekarang saat yang paling tepat untuk pemerintah segera mengubah strategi pembangunannya. Jangan hanya berorientasi kepada padi saja tapi berikan perhatian yang lebih nyata, yang lebih serius kepada komoditas pangan di luar padi. Karena ketahanan pangan itu bukan hanya diukur oleh beras. Ketahanan pangan itu diukur oleh berbagai macam komoditas. Salah satunya adalah komoditas hortikultura dan juga komoditas buah-buahan.

Selain itu, ketahanan pangan banyak unsurnya, bukan hanya padi atau hortikultura melainkan juga daging. Daging itu bisa daging kerbau, daging ayam, bisa juga ikan, ikan laut dan ikan darat. Termasuk komoditas pangan yang lainnya, dari kebun bibit sebagai pangan lokal dan pangan yang tersembunyi di hutan.

Kata Entang, masalahnya ketahanan pangan ini belum dipandang sebagai sesuatu yang multisektor. Pemerintah masih berpikir ketahanan pangan itu ada di bawah badan ketahanan pangan yang notabene eselon 1 di Kementerian Pertanian.

"Makanya di undang-undang pangan, UU 18/2012, kita kan sudah mengusulkan agar ada lembaga pangan di tingkat nasional yang langsung berada di bawah presiden, atau bisa jadi setingkat kementerian yang bertanggung jawab kepada presiden pimpinannya untuk mengatur persoalan ketahanan pangan," imbuhnya.

Ia sudah mengusulkan nama untuk badan itu adalah badan pangan nasional. Ternyata setelah delapan tahun undang-undang itu dibuat, Presiden Jokowi masih belum berkenan untuk membuat sebuah lembaga tersebut. Padahal, menurut Entang, lembaga itu adalah lembaga yang sangat monumental untuk menjaga ketersediaan pangan, untuk memelihara distribusi pangan, dan juga mengamankan konsumsi pangan.

"Jadi selama lembaga itu masih belum ada, menurut saya ketahanan pangan ini masih belum maksimal. Karena ketahanan pangan ini kan dari hulu ke hilir dari produksi sampai kepada konsumsi," terangnya.

Menurutnya, pemerintah melalui Bulog, melalui Kementerian Pertanian hanya menjaga stok beras sekitar tiga bulan ke depan. Lalu bagaimana dengan komoditas komoditas di luar beras, apakah aman juga? Ini yang sering dipertanyakan orang juga. Gula misalnya yang harga di pasaran sekarang begitu tinggi harganya.

"Jadi menurut saya gula ini dari sisi ketahanan pangan kita sangat lemah. Berarti harus ada upaya untuk menggenjot sektor perkebunan. Supaya gula itu betul-betul bisa kita hasilkan sendiri, bahkan kita bisa lebih mandiri untuk memproduksi komoditas gula," ungkapnya.

Kemudian kedelai. Kedelai sangat tergantung kepada impor. Kedelai adalah bahan baku untuk tempe dan tahu yang sangat dibutuhkan.

Tambah Entang, dalam situasi pandemi yang menyebar di seluruh negara. Jangan-jangan kalau tidak menggenjot produksi dalam negeri, impor ini akan terganggu. Padahal seperti yang diketahui impor kedelai masih jutaan ton dari Amerika.

Dalam menghadapi pandemi, keberpihakan negara terhadap sektor pertanian belum begitu maksimal. "Saya khawatir ketahanan pangan dalam arti luas itu bisa menjadi sebuah tantangan bagi pembangunan pangan kita ke depan," ujarnya.

Entang berharap, pemerintah perlu membuat alokasi anggaran khusus. Jadi bagaimana APBN atau APBD yang juga digunakan untuk COVID-19. Seharusnya pemerintah mulai menyisihkan untuk meningkatkan kapasitas dan produktivitas dari sisi pertanian pangan utama.

"Jadi harus dipikirkan politik anggaran, Gimana caranya supaya produksi pangan kita tetap terjaga dan terpelihara. Supaya bisa terjaga dan terpelihara berarti para petaninya harus diperhatikan," katanya.

Anggaran untuk petani juga harus dibuat secara proporsional karena mereka itulah yang ada di garda paling depan. Dan banyak petani yang masih bisa melaksanakan usaha tani atau cocok tanamnya. Mereka jauh dari isu akan terkena virus korona dan sebagainya.

"Tapi yang saya minta kepada pemerintah. Kalau dia disuruh memproduksi, tolong dong harganya dijamin. Supaya petani mendapat keuntungan yang layak. Sehingga kesejahteraannya menjadi lebih baik. Selama ini yang sering diuntungkan oleh proses tata niaga adalah pedagang. Petaninya sendiri kadang hanya menjadi korban saja," urainya.

Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian (Kementan) Prihasto Setyanto mengatakan, angka impor tinggi didominasi oleh komoditas sayur-sayuran yang pasokannya memang masih perlu dibantu oleh impor, seperti bawang putih dan kentang industri.

"Komoditas ini masuk dalam kelompok aneka sayuran. Nyatanya kita masih butuh pasokan besar memang," ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (25/5/2020).

Dia mencatat, volume impor bawang putih mencapai 38,62% dari total nilai impor seluruh jenis sayuran, disusul kentang olahan industri, bawang bombai, dan cabai kering.

Lebih lanjut, Prihasto mengakui, pasokan dalam negeri saat ini belum mencukupi kebutuhan masyarakat, karena bawang putih tumbuh optimal di daerah sub tropis seperti China. Meski produksi naik dari 49.000 ton menjadi 88.000 ton, jumlah tersebut masih belum dapat memenuhi kebutuhan bawang putih nasional yang mencapai 580.000 ton per tahun.

"Begitu pula kentang industri, yang berbeda dengan jenis kentang sayur (granola). Jenis Granola kita malah sudah bisa ekspor. Jadi impor sayuran hanya pada komoditas sayur yang produksi kita masih rendah," katanya.

Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementan Kuntoro Boga Andri menjelaskan kondisi neraca perdagangan pertanian saat ini masih positif bila berbasis data BPS. Perdagangan internasional, adalah hal yang wajar, karena tiap negara punya keunggulan komparatif dan kondisi agroekologi wilayah dan iklim yang spesifik.

Jika dilihat dari negara mitra dagang utamanya, China, Indonesia melakukan ekspor senilai US$3,89 miliar dan impor senilai US$2,02 miliar. Sehingga, pada 2019 Indonesia surplus senilai US$1,87 miliar dengan China.

Sementara pada periode Januari-Maret 2020, neraca dagang produk sayur-sayuran mengalami surplus US$164 juta dengan China. "Ini adalah dampak positif penguatan produksi dalam negeri dan membuka akses pasar ekspor yang dilakukan pemerintah. Produksi aneka sayuran 2019 mencapai 13,4 juta ton atau naik 2,67% dari sebelumnya," ucapnya. (G-2)

 

BACA JUGA: