JAKARTA - Masalah ketahanan pangan menjadi pembahasan serius di tengah pandemi COVID-19. Ada sejumlah tantangan dalam memenuhi pangan masyarakat di tengah pandemi COVID-19, tidak hanya dari sisi produksi, kebijakan masyarakat untuk memaksimalkan kegiatan dari rumah juga menjadi tantangan tersendiri bagi pendistribusian pangan masyarakat.

Ketua Bidang Kemaritiman, Pertanian, Kehutanan & Lingkungan Hidup Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) Robert Muda Hartawan menyatakan siap mendukung pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pangan domestik melalui pengembangan sektor pertanian. "HIPMI di 34 provinsi, Kami pastikan mampu memasok kebutuhan pangan masyarakat dengan konsep pertanian terpadu, seperti meningkatkan kolaborasi bidang bisnis, investasi, serta usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM)," ujar Robert, seperti dalam keterangan tertulisnya yang diterima Gresnews.com di Jakarta, Jumat (17/4).

Oleh karena itu, lanjut Robert, HIPMI mengimbau pemerintah mendukung produsen bahan pangan untuk tetap bisa beroperasi, baik petani, nelayan, maupun peternak. Khususnya melalui kredit usaha rakyat (KUR). Pasalnya, sejak adanya pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), mengakibatkan kebanyakan masyarakat tidak dapat bekerja dan memperoleh penghasilan sebagaimana mustinya.

"HIPMI siap menjadi bagian ekosistem platform dari hulu sampai hilir. Dari produksi komoditas, pembuatan nilai tambah dan supply chain sampai ke end user untuk sektor pangan," ucapnya.

Meskipun demikian, untuk mendorong peran serta pengusaha, pihaknya mengharapkan pemerintah memberikan keberpihakan dan dukungan insentif bagi pengusaha untuk mengembangkannya dengan memastikan ketercukupan pasokan bahan pangan. Lalu memastikan jalur distribusi yang memadai dan terjangkau, sehingga bisa memangkas biaya logistik. Termasuk intervensi pemerintah dalam menjamin keamanan dan kenyamanan jalur distribusi yang dipastikan akan menghilangkan ekonomi biaya tinggi.

"HIPMI di 34 provinsi akan berkontribusi pada memastikan ketercukupan pasokan bahan pangan di seluruh Indonesia. Itu modal kuat kami untuk optimistis, jadi harus saling berkomitmen untuk bersama membangun perekonomian bangsa," ungkapnya.

Selain itu, Robert menambahkan, berbagai cara akan dilakukan untuk menjalankan dukungan tersebut dalam menjaga stabilitas harga komoditas bahan pangan Indonesia. Pihaknya akan mendorong setiap pengurus HIPMI daerah untuk mengembangkan bisnis pada sektor bahan pangan.

"Sehingga, ke depannya dapat mendukung ketercukupan pasokan bahan pangan di daerah bahkan nasional. Lock down di beberapa negara mengakibatkan importasi kebutuhan pangan terganggu, maka kita harus fokus pemenuhan kebutuhan bahan pangan dari dalam negeri," tuturnya.

Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 sekaligus Ketua Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo menyatakan stok pangan di seluruh Indonesia di masa pandemi COVID-19 tetap terjaga. Ia mengatakan, ketersediaan stok pangan yang ada saat ini cukup untuk memenuhi kebutuhan hingga 4 bulan ke depan.

Dalam kondisi normal sebenarnya Indonesia masih tergolong negara dengan masalah kelaparan serius. Menurut data Global Hunger Index 2019, Indoenesia berada di peringkat 70 dari 117 negara dengan nilai 20,1 dan masuk kategori serius. Poin ini bahkan mengalami penurunan dari tahun 2010 (24,9) dan 2005 (26,8).

Indonesia juga masih mengimpor beberapa jenis makanan pokok dari luar negeri. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Januari 2019 menyatakan, impor beras Indonesia periode Januari-November 2018 mencapai 2,2 juta ton. Melonjak dibandingkan periode Januari-Desember 2017 yang hanya mencapai 305,75 ribu ton. Nilai impor beras dalam periode yang sama juga mengalami peningkatan menjadi US$ 1,02 miliar dibanding sepanjang 2017 yang hanya sebesar US$ 143,65 juta.

Volume impor jagung nasional pada 2018 juga mengalami peningkatan sebesar 42,46% menjadi 737,2 ribu ton dari 517,5 ribu ton pada 2017. Berdasar data BPS pada 2018, Indonesia paling banyak mengimpor jagung dari Argentina yakni sebanyak 238,06 ribu ton atau senilai US$ 51,56 juta. Terlebih, seperti dalam data FAO, tiga negara eksportir beras dunia (India, Vietnam dan Thailand) telah menaikkan biaya ekspor mereka. (G-2)

BACA JUGA: