JAKARTA - Seringkali kita mendengar para pejabat maupun politisi mengeluarkan jargon bahwa kepentingan negara harus berada di atas kepentingan pribadi. Jargon bahwa kepentingan negara harus didahulukan sudah kerap didengungkan sejak zaman kerajaan, masa kolonial, dan berlanjut sampai sekarang.

Namun nilai-nilai baru muncul yang mengedepankan kebebasan pribadi atau individu dan mengutamakan hak asasi. Yakni golongan liberalis yang memiliki tujuan menciptakan kondisi di mana individu dapat menciptakan kehidupan yang baik bagi dirinya sendiri. Intervensi negara (hukum dan peraturan) mesti diminimalisir.

Namun, kaum liberal juga memiliki tujuan lain, yaitu menghapuskan kemiskinan, kesengsaraan, kediktatoran, diskriminasi, intoleransi, penindasan, dan berbagai kondisi buruk lainnya. Di sinilah terjadi paradoks liberalisme, realisasi dari tujuan pertama (kebebasan individu dan bekurangnya campur tangan negara) bertentangan dengan tujuan kedua.

Paradoks liberalisme adalah konsep yang ada di dalam human security dan state security. Di mana peranan negara itu menjadi lebih besar ketika ada kepentingan yang masuk.

Dosen FISIP-Hubungan Internasional Universitas Indonesia (UI) Edy Prasetyo menjelaskan semua persoalan dibahas dan ada benturan antara empirik dan gagasan semula. Misalnya untuk mengurangi intervensi negara yang disebut sebagai paradoks liberalisme.

"Jadi yang semula konsep ini dimaksudkan untuk keluar dari kungkungan negara. Justru terjadi proses yang membutuhkan intervensi negara," kata Edy dalam webinar Human Security and State Security yang diikuti oleh Gresnews.com, Kamis, (16/7/2020).

Jadi ketika satu isu kemudian diangkat menjadi isu-isu security semuanya masuk. Ada food security, ada health security, ada economy security, ada energi security, semuanya masuk.

"Sehingga konsep security-nya susah membedakan ini isu, agenda atau security atau problem. Kalau misalnya disebut sebagai energi security kenapa nggak disebut energi problem. Kenapa nggak dilihat sebagai energi krisis, semua is different," tuturnya.

Jadi proses menggiring ke proses sekuritisasi itulah kemudian terjadi intervensi negara. Inilah yang disebut sebagai paradoks liberalisme. Karena yang semula berusaha stay away dari state intervention malah menuntut state intervention dalam memasukkan suatu proses-proses yang berlangsung di negara.

Konsep ini memiliki turunan ke dalam makna negara. Negara yang semula berkonotasi mengenai hak ada kemudian berkonotasi kewajiban.

"Negara yang perannya lebih besar itulah yang saya sebut paradoks liberalisme," terangnya.

Lalu, menurut Edy, siapa yang memutuskan begitu banyak isu keamanan yang disebut keamanan manusia itu. Itu sebagai keamanan siapa yang memutuskan, prosesnya seperti apa?

Sedangkan para realis memiliki pandangan yang sederhana terhadap keamanan negara. Misalnya pada premis konsepsinya, ini adalah state, militer versus deplovement and human rights.

"Persoalannya adalah kapan satu isu dianggap menjadi isu security? Ini yang menjadi perdebatan akademis dan juga praktis. Jadi dua-duanya kena, kapan satu isu dianggap sebagai isu security?," imbuhnya.

"Kenapa kita tidak menyebut food crisis, kenapa nggak disebut isu food agenda atau food problem?" sambungnya.

Apakah dengan kata security public menghendaki sesuatu yang lebih tegas. Sesuatu yang membutuhkan koersif instrumen. Koersif instrumen itu tidak ada militer.

"Kemudian syarat dari security itu adalah koersif instrumen. Ada koersif sinyalemen baru ini kemudian bisa disebut security," tandasnya.

Sementara itu Penasihat Senior Kantor Staf Presiden Andi Wijayanto berpendapat bahwa kasus security ini misalnya dari kasus terkini terkait, lumbung pangan Kementerian Pertahanan. Ketika Presiden Joko Widodo memerintahkan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto untuk menyiapkan lumbung pangan.

Sekarang targetnya 300.000 hektare tapi bisa lanjut menjadi 600.000 hektare. Dulu Pak harto (Soeharto, Presiden RI ke-2) ada satu juta hektare lahan gambut. Pak SBY (Soesilo Bambang Yudhoyono, Presiden RI ke-6) ada 1,2 juta hektare sawah Merauke. "Dan juga jadi food stay state," katanya.

Sekarang Presiden Jokowi mempunyai empat program selama periode pertama, jadi food stay state. Lalu programnya Pak Jokowi-Prabowo ini food stay state ke lima.

Dalam program Presiden Jokowi periode kedua, food state-nya menjadi domain dari Kementerian Pertanian. Tapi begitu sekarang argumentasi yang dipakai adalah tentang cadangan pangan.

"Kalau negara ini berperang hanya sanggup 69 hari maka adjektifnya menjadi berubah. Kita tidak lagi memakai kata ketahanan pangan, kita tidak lagi memakai kata kedaulatan pangan, kita memakai kata cadangan strategis untuk pertahanan," kata Andi dalam webinar tersebut.

Andi mengatakan bahwa security sector reform apakah ini akan mengembalikan perluasan aktor militer. Tapi pada intinya begitu kata depan itu diganti walaupun subjeknya sama tentang pangan.

Pada pemerintahan domainnya bisa langsung berganti, yang semula rapatnya di Kemenko Perekonomian bisa langsung berpindah rapatnya di Kemenkopolhukam. Apabila yang dibicarakan adalah strategic research for nasional defends.

"Misalnya upaya untuk meningkatkan cadangan pangan nasional kita, dari semula 69 hari ya diharapkan menjadi 270 hari. Pada cadangan beras nasionalnya," jelasnya.

Kebutuhan cadangan pangan ini bukan untuk stok Bulog, bukan untuk puasa dan lebaran. Kebutuhan ini benar-benar dipersiapkan untuk negara dalam menghadapi perang. Skenario terburuknya bila impor tidak bisa dilakukan, lalu petani tidak bisa tanam dan panen. "Sehingga kita benar-benar harus memiliki cadangan strategis," tuturnya.

Itu adalah sebuah contoh kasus di mana begitu kata keamanan digunakan maka kemudian institusi negara peranannya meningkat. "Dan perannya cenderung lebih keras," tandasnya. (G-2)

BACA JUGA: