JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pengelolaan Desa dianggap sebagai salah satu program strategis. Sehingga pengelolaan desa masih menjadi tarik menarik antara Kementerian Dalam Negeri  dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Sebab berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) akan ada dana alokasi  desa sebesar Rp1,4 miliar per tahun dari APBN.

Kemendagri yang masih mencoba menarik penanganan urusan desadinilai mengindikasikan belum adanya ketegasan komitmen pemerintahan Jokowi-Jk dalam menjalankan amanat UU Desa. Sebab, penanganan desa  seharusnya diserahkan pada kementerian khusus yakni Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) dan Transmigrasi.

"Pada pasal 18 b ayat 2 menyatakan desa bukan lagi bagian dari sistem pemerintahan, ini yang menjadi dasar UUD," ujar Ahmad Muqowam, Ketua Komisi I DPR, RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Senin(5/1).

Seperti diketahui, hingga saat ini program-program desa masih berada di bawah Kemendagri. Padahal UU Desa menyebutkan pengelolaan Desa dibawah Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi.

Pada UU Desa Pasal 112 memang disebutkan urusan desa berada di bawah Kemendagri. Tapi UU tersebut berlaku sebelum Kementerian Desa dan PDT dibentuk. Seharusnya, jika sudah terdapat kementerian terkait, maka jalur penanganan UU tegak lurus dengan kementriannya.

Moqowam yang pernah menjabat sebagai Ketua Pansus RUU Desa yang kini menjadi Ketua Komite I DPD RI menilai  sikap Kemendagri yang masih menarik kewenangan pengelolaan desa,  ibarat menarik jarum sejarah. Dengan adanya UU Desa, jelas pengaturan Desa tidak lagi di bawah Kemendagri.

Ia menyatakan ketidakkonsistenan pemerintah mengatasi masalah desa. Walaupun dalam ketentuan umum, pasal 1 poin 16 UU Desa jelas mengatakan menteri yang menangani desa adalah Menteri Desa. "Jika Mendagri sadar, maka seharusnya kewenangan urusan desa mutlak ada pada Kementerian Desa, bukan Kemendagri," ujarnya.

Ia mengingatkan Presiden Jokowi agar berhati-hati dalam implementasi UU Desa. Sebab para menteri terkait terlihat tidak ada keseriusan untuk menjalankan amanat UU secara benar. Ia pun melihat para komentator di tingkat elite tidak kompeten dan tidak paham UU Desa.

"Bau politisasi sangat menyengat, kasihan masyarakat desa. Ketika jarum jam dibalik, yang rugi masyarakat desa," katanya.

Kekhawatiran pengulangan kisah suram pelaksanaan UU Desa dikhawatirkan seperti pelaksanaan UU nomor 19 tahun 1965 tentang Praja Desa. UU ini memandang desa sebagai sebuah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki hak adat istiadat dan asal usul. Dengan demikian sifat nama, jenis, dan bentuk desa tidak seragam.

UU Praja Desa ini sebenarnya sangat bagus diterapkan pada masanya. Namun, karena pelaksaannya tidak tepat maka rakyat desa kembali menelan kenyataan pahit. Akhirnya, tidak pernah ada pengimplementasian karena tidak dikehendaki oleh pemerintah Orde Baru.

Langkah Kemendagri yang masih ´ngotot´ untuk tetap mengelola urusan Desa, ditengarai karena begitu seksinya pengelolaan Desa di masa mendatang. Jika keuangan negara sudah bagus maka UU Desa mengamanatkan adanya dana desa sekitar Rp.1,4 miliar per tahun dari APBN.

"Jika dua kementerian yang mengurusi maka akan terdapat masalah tumpang tindih kebijakan dan administrasi," katanya.

Sementara itu, Mendagri Tjahjo Kumolo mengatakan akan patuh terhadap keputusan Presiden Jokowi terkait arah kewenangan urusan desa diatur. "Kami taat dan patuh terhadap apa yang diputuskan Bapak Presiden Jokowi, karena kami sebagai pembantu presiden," katanya.

BACA JUGA: