JAKARTA, GRESNEWS.COM - Poros maritim dunia merupakan sebuah konsep yang sangat luar biasa yang bakal diwujudkan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo. Secara geografis, dengan posisi yang diapit dua samudera Pasifik dan samudera Hindia, Indonesia memang memiliki modal untuk memainkan peran penting sebagai poros maritim dunia.

Hanya saja, seperti diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Intitute for Global Justice (IGJ) Riza Damanik, agar posisi geografis Indonesia sebagai poros maritim dunia mendatangkan manfaat, maka pilihan strateginya haruslah berbeda, bukan business as ussual. "Kemandirian ekonomi menjadi kunci dari keseluruhan inisiatif ini," kata Riza kepada Gresnews.com, Jumat (14/11).

Menjadi poros maritim dunia mengharuskan Indonesia agar dapat memberdayakan Alur Lintas Kepulauan Indonesia (ALKI) III yang menghubungkan Australia Timur sampai Asia Timur. "Maka kita boleh memilih Bitung Sulawesi Utara sebagai pusatnya," ujarnya.

Begitu juga ALKI II yang menghubungkan Samudera Hindia ke Asia Timur dapat dipusatkan di Lombok NTB atau Bali. Karena itu, Riza dalam titik ini setuju bahwa infrastruktur kepelabuhan adalah vital. Namun dia tidak setuju dengan konsep yang "diperdagangkan" Joko Widodo di forum APEC beberapa waktu lalu yang terkesan mengobral infrastruktur kepelabuhan kepada investor asing.

Riza mengatakan, liberalisasi sektor kepelabuhanan dilakukan maka risiko kerugian negara juga akan semakin besar, baik berupa penerimaan negara (potential lost) maupun dalam aspek perlindungan pasar domestik dan kesempatan kerja. Terlebih pertemuan WTO di Bali (2013) menghasilkan kesepakatan buruk yang disebut "trade facilitation".

"Aturan ini meletakkan kelonggaran arus keluar-masuk barang di pelabuhan khususnya di negara-negara berkembang semacam Indonesia," ujarnya.

Di sinilah, Riza melihat, potensi kerugian negara akan timbul. Apalagi kenyataan hingga hari ini ikan kita dicuri, potensi sumberdaya alam non-olahan lenyap setiap detiknya, haruslah ditangkal dengan pendekatan kesejahteraan. Kekuatan poros maritim Indonesia haruslah pada partisipasi rakyat alias menciptakan demokrasi ekonomi).

"Jikapun kerjasama ekonomi diperlukan hanya untuk memperluas kemitraan ekonomi yang adil bagi seluruh warga bumi dan mendorong transfer teknologi dengan tepat dan benar bagi Indonesia," katanya.

Riza mengatakan, tentu tak ada salahnya bekerjasama dengan bangsa-bangsa lain. Atau, tidak ada satu negara pun di dunia ini bisa membangun tanpa dukungan atau bekerjasama dengan bangsa lain. "Tetapi, mari kita tengok bagaimana Kanada dan Bangsa-bangsa Eropa menyusun kerjasama kemitraan itu," ujarnya.

Mereka menyusunnya dengan kehati-hatian dimana kekuatan domestik adalah alasan untuk bekerjasama, bukan sebaliknya membiarkan segenap sektor strategis menjadi santapan bangsa lain. "Seperti terjadi di Indonesia hampir 5 dekade terakhir," katanya.

Hal lain yang perlu menjadi perhatian-lebih adalah sektor pangan. Kenyataannya, ketergantungan sumber protein hewani rakyat Indonesia terhadap ikan relatif tinggi sekitar 51%. Proporsi ini masih lebih rendah dari Bangladesh, Srilanka, atau bahkan Vietnam dan Maldives.

Riza mengatakan, Indonesia punya dua tugas besar. Pertama, memastikan konsumsi ikan semakin digemari rakyat sehingga menghasilkan generasi gemilang. Kedua, memastikan kebutuhan ikan domestik kita tercukupi.

"Karenanya, melibatkan investasi asing dalam skema industrialisasi hulu-hilir perikanan sangat membahayakan masa depan kualitas dan kuantitas pangan rakyat," ujar Riza.

Karena itu, kata dia, meski poros maritim adalah keniscayaan geografis, namun tugas kita masih panjang untuk menggenapkannya menjadi kenyataan sosial-budaya bangsa yang beradab, mandiri, dan sejahtera.


Isu kedaulatan memang menjadi sorotan penting dari isi pidato Presiden Jokowi di forum APEC kemarin. Jokowi dinilai sekadar "mendagangkan" konsep poros kemaritiman Indonesia untuk mengundang investasi asing. Hal ini dikhawatirkan secara jangka panjang akan berimplikasi pada hilangnya kekayaan geopolitik Indonesia.

"Hal ini yang kurang disadari Presiden, karena dari yang tersirat seolah Presiden Jokowi memaknai kedaulatan maritim hanya sebatas ekonomi semata," kata pengamat hukum Teuku Nasrullah kepada Gresnews.com.

Jika konsep maritim serius dijadikan landasan, kata Nasrullah, harus juga diikuti dengan kesadaran geopolitik. Presiden harus sadar Indonesia mempunyai kekayaan tak terbatas di atas dan bawah laut yang menjadi dasar negosiasi membangun kerjasama ekonomi baik lokal maupun asing.

"Sayang sekali tekanannya lebih ke bagaimana investasi asing bisa masuk, tapi Jokowi tidak memperjelas dulu kebutuhan kita di konsep pemberdayaan ekonomi masyarakat. Ini berkebalikan dengan platform ekonomi yang dicanangkan saat debat presiden dulu," kata Nasrullah.

Dia pun lantas menagih kembali janji Presiden yang ingin lebih menumbuhkan ekonomi di dalam negeri dibanding penguasaan asing. Jokowi dalam acara debat capres memang sempat menjanjikan akan mempersulit perizinan investasi asing dan mempermudah perizinan untuk penanaman modal dalam negeri. Sayangnya, janji itu malah berantakan ketika di forum APEC Jokowi justru berjanji akan mempermudah perizinan investor asing.

Padahal, kata Nasrullah, forum APEC kemarin sejatinya merupakan ajang pertarungan global antara China dan Amerika yang kini bergeser ke kawasan Asia Pasifik. ASEAN sendiri merupakan target utama bidang ekonomi, termasuk Indonesia. "Di APEC Amerika dan China itu silent agreement menjadikan Jokowi sebagai pintu masuk di aspek investasi  asing," jelasnya.

Tidak terdapatnya skema perlindungan ketika asing masuk ke Indonesia dianggap Nasrullah sebagai titik fatal. Jokowi mempertaruhkan Indonesia dengan cara mempersilahkan pihak luar menanam investasi dengan biaya mereka. China dan negara lain mengalah di bidang ekonomi namun menang dalam jangka panjang, dengan  dasar seberapa strategis aset Indonesia. Pengembangan tol laut, kata dia, seharusnya juga dimaknai lebih ke pengembangaan armada laut sebagai tameng.

"Presiden telah larut dalam iming-iming bantuan ekonomi China yang modusnya sama seperti kala menawarkan bantuan selat sunda sebesar Rp 100 triliun, tapi pemerintah lupa jika Selat Sunda berhasil dikuasai maka China akan menjadikan jalur tersebut sebagai jalur alternatif saat selat malaka dan laut cina selatan tak bisa berfungsi ketika konflik China-Amerika makin menajam. Memeluk untuk menusuk lebih dalam, begitu istilahnya," kata Nasrullah.

Apalagi, produk hukum seperti undang-undang migas yang strategis sudah dipenetrasi kepentingan korporasi asing. Nasrullah menilai, poin yang salah dari Jokowi adalah ketika langsung melompat ke poros maritim, padahal yang harus diutamakan yaitu pertahanan laut.

Konsep kelautan dan kemaritiman amatlah berbeda, jika kelautan hanya sadar jika kita dikelilingi laut, tapi maritim kita sadar ada geopolitik di dalamnya. Karena Presiden sudah terlanjur "kejeblos" maka Nasrullah memberikan saran untuk meminimalisir ancaman geopolitik nantinya.

Ia meminta Menkopolkam dan kementerian yang berada di bawahnya harus terus-menerus berkordinasi satu langkah dan satu visi dengan kementerian yang menangani kemaritiman serta sosial budaya.

"Tak hanya koordinasi tapi juga bersinergis dengan satu ikatan sasaran strategis yang sama. Seperti di Amerika yang terdapat dewan keamanan nasional. Kemaritiman ini adalah bagaimana kita mau bergeser dari darat ke maritim. Implikasinya di pertahanan bukan sekedar beli kapal selam tapi penguatan maritimnya tak ada," tutupnya.


Sementara itu, pengamat politik kepulauan Riau dari Universitas Maritim Raja Ali Haji Zamzami Karim mengatakan, jika yang dimaksud Jokowi dengan poros maritim adalah membuka akses kapal asing di Indonesia sebenarnya akses tersebut sudah lama terbuka. "Sehingga kawasan ini sejak dulu hingga kini menjadi kawasan lalu lintas perdagangan dan kapal asing," katanya kepada Gresnews.com.

Hanya saja, kata dia, jika ingin memperkuat poros maritim harusnya menjadikan kawasan maritim sebagai potensi kekuatan nasional yang dapat menjadi kebanggaan nasional. Membuka akses laut seluas-luasnya pasti juga bertujuan agar Indonesia bisa mendapatkan yang besar.

Untuk menguatkan potensi maritim Indonesia, dia menilai, tata kelola maritim harus ada di bawah kendali bangsa dan bukan dikendalikan asing. "Kalau akses kapal laut sudah dibuka tapi pemerintah tidak bisa mengendalikannya, maka tentu berpeluang kehilangan kedaulatan atau tergadai kedaulatannya demi kepentingan asing," kata Zamzami.

Zamzami menambahkan pembukaan akses kapal laut asing juga harus ditegaskan, apakah hanya sebatas kapal laut yang terkait dengan perdagagan atau kapal laut tentara asing juga diperbolehkan melintas. Menurutnya, jika kapal laut tentara asing dibiarkan melintas bahkan diperbolehkan mengelola kawasan maritim Indonesia, hal jelas membahayakan kedaulatan bangsa.

Untuk memperkuat potensi-potensi maritim Indonesia dan membuka akses laut bagi kapal asing, setidaknya Zamzami menilai pemerintah harus lebih dulu meningkatkan kapasitas pengelolaan dan infrastruktur. Misalnya armada laut dan tentara diperkuat, lalu kementerian perhubungan juga mendukung dengan membangun tol laut, dan jangan membiarkan pengelolaan potensi laut diambil alih asing. "Selama ini kan tata kelola maritim seperti setengah hati," ujarnya.

Senada dengan Zamzami, Ketua Komisi II DPR, Rambe Kamarul Zaman mengatakan pembukaan akses laut Indonesia dulu memang tidak seluas saat ini, sehingga tidak ada pengaruh dari luar terkait pengelolaan sumber daya laut. Sehingga jika presiden Joko Widodo berniat membuka akses laut maka harus diatur tata kelolanya.

"Jangan membuka saja dan mempersilakan orang lain masuk. Itu sama saja kita mengundang orang ke rumah sendiri tanpa ada aturannya," ujar Rambe di DPR, kemarin (13/11).

Sementara, anggota Komisi IV DPR Edy Prabowo menyangkal sinyalemen bakal adanya penguasaan asing akibat ramainya investasi asing di bidang kelautan nanti. Sebab, Indonesia telah memiliki produk hukum yang mengatur dan mengikat agar itu semua tidak terjadi. "Apalagi kita punya DPR, dan rakyat sebagai pengawas," ujarnya. (Lilis Khalisotussurur/Gresnews.com)

BACA JUGA: