JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mengungkapkan dari ratusan pengaduan perkara pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu yang dilaporkan, setelah disidangkan  ternyata 50 persennya mengandung kebenaran. "Dari 50 persen yang terbukti itu mendapatkan jenis sanksi yang berbeda seperti diperingatkan atau diberhentikan," kata Ketua DKPP, Jimly Asshiddiqie saat ulang tahun DKPP di Kantor DKPP Jakarta,  Kamis (12/6).

Jimly mengungkapkan dari 713 pengaduan perkara pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu sepanjang 2014, sebanyak 560 pengaduan ditolak karena kurang bukti. Namun sebanyak 153 perkara disidangkan oleh DKPP. Adapun putusan DKPP dari perkara yang disidangkan itu sebanyak 88 orang direhabilitasi atau dinyatakan tidak terbukti bersalah sehingga ada perbaikan nama baiknya. Sementara sebanyak 99 orang penyelenggara diberikan peringatan tertulis. Sedang 89 orang lainnya diberhentikan tetap.

Selain laporan di atas, DKPP juga melaporkan hasil kinerjanya sepanjang 2012 hingga 2014. Total pengaduan yang diterima ada 1389 pengaduan. Dari jumlah itu sebanyak 1065 ditolak, dan aduan yang disidangkan sebanyak 324 perkara. Putusan dari perkara yang disidangkan terdapat 497 orang yang harus direhabilitasi, sebanyak 243 orang yang diberikan peringatan tertulis, sebanyak 13 orang diberhentikan sementara dan sisanya sebanyak 207 orang diberhentikan tetap.  “50% laporan itu mengandung kebenaran, artinya tidak sekadar emosional pengadu,” jelasnya.

Terkait meningkatnya aduan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, Koordinator Nasional Komite Pemilih Indonesia (TePI), Jeirry Sumampow mengakui pemilu di Indonesia banyak masalah. Sehingga potensi pelaporannya juga makin banyak. Banyaknya masalah tersebut bisa dibuktikan oleh gugatan yang masuk ke DKPP.

Jeirry melanjutkan banyaknya aduan pelanggaran kode etik bisa disebabkan karena beberapa  faktor, bisa karena  pemilu yang memang bermasalah, faktor peserta, dan faktor penyelenggara pemilunya. Terkait peserta pemilu, mereka tidak mau menerima hasil dan selalu merasa hasil pemilu dimanipulasi. Sehingga, kata dia, meskipun gugatan tidak kuat, tetap dilaporkan bahkan ke beberapa tempat seperti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Mahkamah Konstitusi (MK). “Peserta tidak siap kalah dengan pemilu yang banyak masalah dan selalu dibangun kerangka pikir manipulasi,” katanya kepada Gresnews.com.

Menurut Jeirry, potret umumnya pemilu kita bermasalah, jadi yang kalah tidak bisa menerima. Ia menilai memang ini bersifat psikologis. Padahal jika dicermati ia menjelaskan kadang masalah yang muncul dalam pemilu bukan saat rekapitulasi. Jadi ada kesalahan yang tidak terkait dengan hasil suara. “Kadang kesalahan administratif. Tapi banyak yang tidak paham konteks gugatan. Artinya mereka betul-betul dirugikan dan bisa mendefiniskan kerugiannya. Dimana penyelenggara merugikan mereka,” jelas Jeirry.

Faktor lain banyaknya aduan pelanggaran kode etik menurut Jeirry juga berasal dari penyelenggara. Ia menjelaskan penyelenggara pemilu ada yang sengaja melakukan kesalahan. Mereka mengetahui jika hal tersebut salah tapi tetap dilakukan, misalnya menerima uang. Lanjutnya, ada situasi penyelenggara pemilu punya peluang menerima suap dan melakukan manipulasi. Itu dilakukan karena mereka berpikir pemilu akan berakhir dan jika harus diberhentikan, mereka sudah siap. “Di kabupaten/kota honornya kecil dan tidak dapat tunjangan lain seperti asuransi kesehatan. Sementara tingkat resiko pekerjaan mereka besar,” katanya.

Selanjutnya, Jeirry menyatakan selama ini penyelenggara pemilu hanya mendapatkan sanksi etik. Ia memperhatikan jarang ada penyelenggara yang mendapatkan sanksi kurungan. Tidak ada kelanjutan terhadap gugatan kriminal yang dilakukan penyelenggara pemilu. “Ini problem, jarang ada gugatan pidana, padahal di pileg marak. Penyelenggara yang diberhentkan itu ada unsur pidananya,” katanya.

Jeirry menuturkan jarangnya gugatan pidana terhadap penyelenggara pemilu disebabkan ada masalah dengan mekanisme administratifnya yang panjang. Tambahnya, untuk sampai ke pengadilan akan sangat tergantung dari Bawaslu dan kepolisian. Seringkali mereka yang menggugat mentok di prosedur ini. “Jadi agak rumit,” katanya.

BACA JUGA: