JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus pelanggaran pemilu mulai mengalir ke Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti ke pengadilan. Jumlah perkara pelanggaran pidana pemilu yang masuk ke Kejaksaan Agung hingga saat ini mencapai 62 kasus. Kasus tersebut merupakan limpahan Kepolisian dari 16 provinsi di Indonesia.  Para tersangka berasal dari semua partai politik. "Semua kasus itu sudah ditangani penyidik. Bahkan sudah ada beberapa kasus yang telah divonis di pengadilan," kata Jaksa Agung Basrief Arief di Kejagung, Jumat (9/5).

Terkait pelanggaran pidana pemilu yang ditangani Kejagung, Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) Kejagung Adjat Sudrajat menjelaskan kasus pidana yang mendominasi terkait politik uang dan kampanye bukan pada waktunya. Para tersangka sendiri berasal dari berbagai status baik caleg, simpatisan, sampai dengan penyelenggara pemilu. "Sudah banyak yang diputus. Ada juga kepala daerah," jelasnya.

Adjat menolak menjelaskan lebih detail para tersangka yang saat ini ditangani Kejagung. Namun ia memastikan dengan waktu yang terbatas kasus-kasus bakal dapat dituntaskan.

Sementara itu data pelanggaran pidana pemilu yang telah diterima polisi  mencapai 283 kasus dengan jumlah tersangka 355 orang. Dari jumlah kasus tersebut 183 dalam proses penyidikan, 12 kasus tahap 1, 62 kasus sudah P21 dan 20 kasus dihentikan perkaranya karena tidak cukup bukti atai kadaluwarsa.

Kepala Bagian Penerangan Hukum (Kabag Penum) Kombes Pol Agus Rianto mengatakan polisi tengah mengupayakan untuk menyelesaikan semua kasus tersebut. Agus juga mengaku tak masalah dengan batas waktu yang singkat hanya 14 hari untuk menyidik perkara pelanggaran pemilu tersebut. "Tidak ada masalah, semua kita upayakan selesai tepat waktu," kata Agus di Mabes Polri.

Namun peneliti korupsi politik dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Abdullah Dahlan meragukan penindakan pidana pemilu itu selesai tepat waktu. Salah satu alasannya  karena desain regulasi yang ada menghambat.

UU Pemilu, ungkap Abdullah, dinilai tidak memberikan kepastian hukum. Akibatnya banyak laporan pidana pemilu khususnya politik uang sulit ditindak. Misalnya pelapor tidak diberikan kepastian terkait laporannya. Sehingga banyak yang enggan melapor. Lalu pembuktian politik uang juga tidak didukung regulasi yang cukup. "Bagaimana membuktikan orang yang dikasih uang membuktikan bahwa ia akan memilih sesuai keinginan yang memberi," kata Abdullah.

Tak heran jika kasus pidana politik uang sulit terlacak. Kalaupun bisa akan sulit membuktikan. Akibatnya kasus menguap karena waktunya lewat. "Soal limitasi waktu itu juga jadi masalah," kata Abdullah.

BACA JUGA: