JAKARTA, GRESNEWS.COM - Posisi Indonesia sebagai surga plasma nutfah mulai terancam. Pasalnya saat ini Indonesia terus kehilangan sumber plasma nutfah akibat maraknya terjadi konversi lahan. Manager Advokasi dan jaringan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah mengatakan, hilangnya sumber plasma nutfah ini dapat mengancam kedaulatan dan ketahanan pangan Indonesia. "Krisis pangan tahun 2008 lalu memberikan pelajaran penting kepada kita semua, dimana keragaman pangan menyelamatkan suatu negara dari krisis pangan. Krisis pangan relatif kecil dampaknya dirasakan oleh negara-negara dengan keragaman pangan yang tinggi," ujarnya kepada Gresnews.com, Senin (10/2).

Pilihan yang beragam kata Said, memungkinkan berkurangnya tekanan atau beban pada suatu jenis tanaman saja. Dengan demikian terjadi juga kelestarian. Dengan mengkonsumsi pangan yang berasal dari tanaman beragam akan meningkatkan keberadaan tanaman itu sendiri. Indonesia dengan letak geografisnya yang terletak di wilayah tropis, dan dengan hutan hujan tropis yang terbesar membuat kekayaan plasma nutfah di Indonesia melimpah luar biasa. Besarnya potensi plasma nutfah ini sesungguhnya menjadi kekayaan sekaligus kekuatan Indonesia. "Kekayaan ini dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber penghidupan," kata Said.

Aneka tanaman pangan, obat-obatan, hingga rempah-rempah sebenarnya telah dimanfaatkan masyarakat setiap harinya. Plasma nutfah menjadi sumber daya alam yang menjadi tumpuan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Tak hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan, plasma tufah juga menjadi komoditas ekonomi yang menopang pembangunan.  

Khusus tanaman pangan, Kementerian Pertanian mencatat Indonesia memiliki tidak kurang dari 100 spesies tanaman sumber karbohidrat; lebih dari 100 spesies tanaman kacang-kacangan, 450 spesies tanaman buah dan 250 spesies sayuran, 70 spesies bumbu dan rempah-rempah. Keragaman tanaman luar biasa banyak terutama yang dikelola masyarakat atau petani kecil.

Sayangnya keragaman jenis tanaman ini justru semakin terancam karena pertimbangan ekonomi mendorong lahirnya pilihan tunggal pada jenis tanaman apa yang akan dibudiayakan. "Dapat dipastikan bahwa hanya jenis tanaman tertentu saja yang akan dipelihara karena mampu memberikan keuntungan ekonomi yang tinggi. Sementara yang lainnya akan ditinggalkan dengan sendirinya," ujar Said.

Sifat dasar benih yang memiliki waktu tumbuh yang terbatas menyebabkan semakin lama suatu jenis tidak ditanam maka akan semakin mungkin hilang. Situasi ini semakin dengan kondisi petani yang ada, terutama di indonesia dimana kepemilikan dan akses ke lahan pertanian makin terbatas.

Sebagai contoh studi KRKP mengungkapkan, pada suatu kelompok pemulia benih padi di Indramayu, kebutuhan untuk menjaga agar koleksi benih yang mencapai 100 jenis dibutuhkan idealnya 1 ha sawah. Sawah seluas itu diperuntukan hanya untuk terus bisa menanam benih agar tetap bisa terjaga. "Bagi petani cara menyimpan atau melestarikan benih yang terbaik adalah dengan menanamnya," kata Said.

Sayangnya berkurangnya lahan sawah akibat tekanan perkembangan industri dan perumahan membuat lahan-lahan petani untuk menjaga keragaman ini semakin mengecil. Hal ini juga mempercepat terjadinya kehilangan keragaman jenis tanaman pangan di Indonesia. "Memang betul ada cara tradisional yang bisa dipakai untuk meningkatkan daya tahan benih namun tetap saja benih harus ditanam untuk menjaga kualitasnya. Sementara untuk penyimpanan benih moderen memerlukan alat dan investasi yang tidak sedikit," ujar Said menambahkan.

Di Indonesia, pembukaan hutan besar-besaran mandorong hilangnya sebagian spesies. Pembukaan hutan yang terjadi sebagian besar diperuntukkan untuk kebun kelapa sawit. Pada tahun 2003, perkebunan sawit mencapai 5,25 juta hektar dan meningkat menjadi 5,5 juta hektar pada tahun 2005. Pada tahun 2020 diperkirakan meningkat menjadi 13,8 juta hektar. Konversi hutan alam menjadi perkebunan kelapa sawit merupakan ancaman serius bagi konservasi keanekaragaman hayati, karena konversi sering dilakukan di hutan hujan tropis dataran rendah yang dikategorikan sebagai tipe ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi.

Berkurangnya jumlah plasma nutfah sebagian besar terjadi seiring dengan berkembangnya industri pertanian. Momentum terbesar ketika revolusi hijau mulai diterapkan, terutama di Indonesia. Revolusi hijau telah menggeser paradigma pembangunan pertanian dari yang tradisional-ke sistem moderen yang dicirikan dengan penggunaan input pertanian mulai dari pupuk, hingga benih. Sistem moderen sepenuhnya menekankan pada komersial-ekonomi-market-oreinted.

Melalui revolusi hijau, pada tahun 1950 an, aneka benih unggul dikembangkan oleh lembaga-lembaga internasional yang kemudian dibagikan kepada petani. Penyebaran benih unggul merata di negara berkembang termasuk indonesia dan berlangsung sangat drastis. Pada tahun 1990 revolusi hijau telah berhasil menyebarkan benih dan ditanam menggantikan hampir setengah area tanaman gandum dan sawah seluas 115 juta ha. Memang betul revolusi hijau melalui benih unggulnya telah berhasil meningkatkan produksi, namun hal itu diiringi penurunan keanekaragaman tanaman.

Pasca revolusi hijau, dengan ditemukannya benih unggul maka perlahan tapi pasti aneka benih padi hilang karena tak lagi ditanam petani. Melalui revolusi hijau pula pemerintah menjadikan padi sebagai prioritas utama di sektor pertanian. Pengutamaan padi ini menyebabkan perhatian para petani berkurang pada tanaman pangan lainnya. Hal ini menyebabkan berkurangnya jenis pangan lokal. "Di berbagai tempat kini banyak ditemui obrolan tentang jenis pangan lokal yang tinggal nama. Tanamanya sendiri sudah hilang," ujar Said.  

Penurunan keragaman dan pangan memiliki resiko yang sangat besar pada kecukupan gizi. Dalam ilmu gizi dikenal prinsip keragaman pangan, setiap orang dianjurkan untuk mengkonsumsi pangan yang beragam. Karena pada kenyataannya tidak ada satupun pangan yang mengandung zat gizi lengkap yang dibutuhkan tubuh. Semakin terbatasnya jenis pangan maka dalam jangka panjang bisa terjadi kemiskinan pasokan zat gizi. Di dunia hari ini hampir 60% pasokan kalori berasal hanya dari tiga jenis tanaman, yaitu beras, jagung dan gandum. Padahal ketersediaan/keragaman tanaman ribuan jumlahnya.

Hilangnya satu jenis tanaman, berati kehilangan sumberdaya genetika. Hilangnya keragaman genetika merupakan kerugian karena didalamnya terdapat nilai ekonomi yang luar biasa. Hal ini terlihat dari pengalaman negera Amerika Serikat, dimana kenaikan produktivitas 1 persen pada tanaman memberikan keuntungan US$ 1 miliar. Para ilmuwan juga menghitung bahwa tak hanya tanaman yang dibudidayakan, tanaman liar juga memberikan nilai ekonomi yang besar. Kurun 1976 dan 1980, spesies liar menyumbang tak kurang dari US$ 340 juta per tahun.

Dalam catatan ETC group,  sampai tahun 2010, 1960-an petani menanam tak kurang dari 1,9. juta jenis tanaman. Khusus untuk tanaman pangan, petani memuliakan 5000 tanaman pangan dan menyumbang 1,9 juta varietas pada bank benih dunia.

Consultative Group on International Agricultural Research (CGIAR) mencatat bahwa di dunia ini sekurangnya terdapat 250-300 ribu sepsies tanaman. dari jumlah itu sebanyak 10-50 ribu dapat dimakan sebagai tanaman pangan. ketersediaan spesies tanaman yang bisa dimakan ternyata belum semuanya juga dimakan oleh manusia. Dari jumlah sebanyak itu diperkirakan hanya 150-200 jenis saja yang dipelihara dan dikonsumsi. Selebihnya merupakan potensi yang belum dioptimalkan.

Namun keragaman itu saat ini terus mengalami penurunan. Di level internasional diketahui juga telah terjadi penurunan jumlah dan keanekaragaman hayati, terutama di sektor pertanian baik itu tanaman pangan maupun hortikutura. Pada tahun 1999, FAO memperkirakan sejak tahun 1900-an dunia hingga saat ini dunia telah kehilangan sekitar 75% keanekaragaman genetik pertanian. Sementara untuk jenis ikan air tawar sedikitnya 20% sudah langka dan sudah mengalami penurunan populasi secara serius. Hari ini sebanyak 75% pangan didunia dihasilkan atau diturunkan hanya dari 12 jenis tanaman.

Lebih lanjut FAO juga memeringatkan bahwa tidak kurang dari 90 persen dari varietas tanaman yang ada saat ini telah menghilang dari ladang petani. Sementara setengah dari keturunan hewan domestik telah hilang. Sementara Rural Advancement Foundation International (RAFI), menyebutkan bahwa beberapa tanaman pertanian mengalami penurunan jenis yang luar biasa. Berbagai buah dan sayur yang pada tahun 1903 menyusut jika dibandingkan dengan data tahun 1983.

Hal ini tergambar pada tabel dibawah ini:

Nama jenis

Jumlah

1903

1982

Bit

288

17

Kubis

544

28

Jagung manis

307

12

Selada

497

36

Muskmelon

338

27

Kacang-kacangan

408

25

Lobak

463

27

Labu

341

40

Tomat

408

79

Mentimun

285

16

Sumber: RAVI, 2011


Situasi ini juga didukung oleh penelitian Simran Sethi, jurnalis sekaligus peneliti dan aktivis NGO lingkungan beberapa waktu lalu yang mengungkapkan ada sekitar 80.000 tanaman pangan di dunia tetapi hanya 150 dari jumlah itu sebenarnya sedang dibudidayakan. Dalam kurun 100 tahun telah terjadi peningkatan jumlah tanaman yang hilang atau punah.

Situasi ini menjadi ancaman. Tak hanya bagi keberadaan plasma nutfah itu sendiri namun juga bagi manusia dan lingkungan. Dapat dibayangkan jika dari tahun ke tahun terus terjadi penurunan jumlah jenis tanaman yang ada. Penurunan ini dipastikan menurunkan ketahanan kehidupan manusia terutama dalam hal pangan.

Pasca revolusi hijau, industri pertanian makin berkembang dimana industri menjadi leadernya. Industri pertanian berorientasi pada pasar untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Untuk mencapai hal itu, maka industri terus berlomba menciptakan benih unggul sebagai bagian efisiensi usaha. Pengembangan benih hibrida hingga GMO menjadi pilihan yang terus dikembangkan.

Pengembangan benih unggul ini memang memberikan alternatif jenis tanaman baru. Namun kekuatan pasar industri yang masuk hingga ke desa-desa menyebabkan petani perlahan tapi pasti menggunakan benih unggul. Disinilah persoalan utamanya, kemudian petani meninggalkan benih lokalnya.

Ditinggalkannya benih lokal yang menyebabkan menurunnya keragaman tanaman dan adanya tekanan dari industri yang mendorong monokultur telah menyebabkan petani mengalami perubahan dan berada dalam kerentanan. Kerentanan utama adalah pada ketahanan pangan keluarga. Selain itu petani juga mengalami perubahan persepsi dan preferensi dalam menjalankan usaha pertaniannya. Akhirnya petani menjadi termarginalisasi dengan skala kecil usaha yang makin kecil.

BACA JUGA: