GRESNEWS - Pemilihan umum seringkali dituding sebagai salah satu pangkal korupsi. Para calon menghabiskan biaya saat kampanye dan harus mengembalikan modal setelah menjabat. Model pemilihan langsung eksekutif maupun legislatif yang berlaku sekarang dinilai membuat modal politik semakin melambung. Apalagi beberapa partai politik mensyaratkan mahar bagi para calon yang ingin memakai kendaraan.

Perhitungan pemilik Media Nusantara Citra (MNC) Hary Tanoesoedibjo pada Juni 2012 ketika bergabung dengan Partai Nasdem bisa menjadi gambaran gemuknya ongkos menuju parlemen. Dia menjanjikan setiap calon legislator (caleg) dari Partai Nasdem mendapatkan dana Rp5 miliar sampai Rp10 miliar untuk kepentingan kampanye. Artinya, jika ada 300 caleg, dana yang harus disediakan sebesar Rp1,5 triliun hingga Rp3 triliun.

Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) Abdul Hakam Naja mengaku saat Pemilu Legislatif 2009 dia menghabiskan dana kira-kira Rp1 miliar. Hakam Naja mengusulkan adanya pembatasan dana kampanye dengan skema batas maksimal Rp3 miliar untuk DPR RI, Rp500 juta untuk DPR provinsi dan Rp200 juta bagi caleg DPRD kabupaten/kota."

Lain lagi politisi Partai Kebangkitan Bangsa Abdul Malik Haramain. Ia mengatakan, untuk seseorang yang ingin mendaftarkan diri menjadi seorang caleg melalui PKB tidak dikenakan biaya, namun untuk biaya kampanyenya ditanggung sendiri oleh calon tersebut. "Kalau pengalaman saya dahulu saya habis sekitar Rp700-Rp900 jutaan," katanya.

Menurut dia untuk pendanaan kampanye tidak ada standar tertentu, tergantung tingkat kesulitan, daerah dan lain-lain. "Kalau partai hanya memfasilitasi media, baliho besar saja, selebihnya ditanggung sendiri caleg," ungkapnya.

Sementara politisi Partai Demokrat Sutan Bhatoegana mengungkapkan Partai Demokrat tidak membebankan biaya kepada caleg namun ketika caleg itu terpilih menjadi anggota parlemen, gajinya dipotong Rp5 juta per bulan untuk kebutuhan partai.

Hakam Naja dan Bhatoegana hanya contoh. Poinnya adalah pesta demokrasi itu tidak murah. Hitung-hitungan pengamat politik Karyono Wibowo, rata-rata caleg DPR membutuhkan biaya minimal Rp2 miliar per orang untuk meraih impian menuju Senayan. Bahkan, ada caleg yang biaya kampanyenya mencapai Rp5 miliar. "Itulah cost politik demokrasi langsung," ujar Karyono, Selasa (27/2).

Biaya sebanyak itu, kata dia, sebagian besar dihabiskan untuk sosialisasi melalui alat peraga maupun iklan media massa, operasional tim sukses, akomodasi dan transportasi.

Namun, uniknya, dengan biaya politik yang sebesar itu, tidak menyurutkan niat banyak orang untuk berbondong-bondong menjadi caleg. Kalangan birokrat, artis, pengusaha, aktivis masih rama-ramai antri menjadi caleg. Bahkan ada mereka yang sudah duduk menjadi anggota DPR mengundurkan diri lantas masuk ke partai lain dan bertujuan untuk menjadi caleg lagi.

Data menunjukkan, pada Pemilu 2009, jumlah caleg DPR meningkat hampir 46% dibandingkan dengan Pemilu 2004. Kenaikannya dari 7.756 caleg menjadi 11.301 caleg untuk berlomba menduduki 560 kursi di Senayan. Pertarungan di tingkat daerah pemilihan yang sebanyak 77 dapil juga sengit. Rata-rata satu caleg harus bertarung mengalahkan 19 caleg lainnya pada setiap dapil.

Pemilu 2014
Pada 9 April 2013, pendaftaran caleg yang berasal dari parpol akan dimulai. Pada 4 September 2013, dijadwalkan daftar calon tetap (DCT) anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota akan dilansir.

Parpol sudah bersiap-siap. Partai Hanura menyatakan telah mengumpulkan 400 nama calon untuk mengisi 560 kursi di DPR. Sebanyak 1000 formulir telah disebar untuk caleg DPR. Sementara PDIP menjaring sebanyak 11.000 caleg dan Maret pekan pertama ditargetkan terjaring 16.000 hingga 23.000 caleg untuk semua tingkatan pemilihan.

Dari sisi biaya penyelenggaraan pemilu, angkanya juga selangit. KPU awalnya menganggarkan Rp16,2 triliun untuk Pemilu 2014. Namun dipangkas dalam APBN 2013 menjadi Rp8,1 triliun. Angka ini masih lebih tinggi dari Pemilu 2009 yang sebesar Rp6,7 triliun.

Terkait dengan potensi penyelewengan dana, data menunjukkan, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merupakan partai yang diduga paling banyak mengelola dana-dana bantuan sosial (Bansos) dalam APBN 2013. PPP ´menguasai´ Kementerian Agama, PKS ´menguasai´ Kementerian Pertanian. Dana Bansos sebesar total Rp69,8 triliun pada 2013 tersebut sangat potensial diselewengkan.

Koordinator Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Uchok Sky Khadafi mengatakan selama ini mengenai dana Bansos, aparat hukum hanya mengadili orang-orang pada tingkat bawah. "Elite-elite hingga pembuat kebijakan yang terkait dengan penyelewengan dana tidak pernah ditangkap," tegasnya.

Dia menduga dana bansos potensial disalahgunakan untuk kepentingan pemilu.





BACA JUGA: