GRESNEWS - Mereka ´naik kelas´. Dari jalanan ingin menuju Parlemen. Mereka ingin punya konstituen. Itulah gejala para pegiat, aktivis lembaga swadaya masyarakat yang berlabuh dalam kapal partai politik.

Mantan Ketua Badan Pengurus Yayasan LBH Indonesia (YLBHI) Arief Patramijaya (Patra Zen) telah jauh-jauh hari memutuskan bergabung bersama Partai Demokrat. Taufik Basari (Tobas), mantan Direktur Advokasi YLBHI dalam kepengurusan Patra, memilih Partai Nasdem. Munarman, mantan Ketua Badan Pengurus YLBHI sebelum Patra, bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Gerbong aktivis yang menuju PDIP juga lumayan banyak. Masinton Pasaribu, Adian Napitupulu, Budi Ari Setiadi, Wanto Sugito, dan Waluyo Jati adalah beberapa yang bisa disebut. Mereka gerbong 1998.

Senior yang telah terjun sebelum mereka ada Dita Indah Sari, Budiman Sudjatmiko (PDIP), Pius Lustrilanang (Gerindra), Desmond J. Mahesa (Gerindra), Anas Urbaningrum (Demokrat), Fadli Zon (Gerindra), Rama Pratama (PKS), dan banyak lagi.

Pengamat Politik dari The Political Literacy Institute, Gun Gun Haryanto, menilai gerbong aktivis ´garis keras´ seperti Masinton dkk yang bergabung ke PDIP salah satunya karena mereka memilih kendaraan politik untuk memuluskan  niatannya sebagai anggota dewan yang memiliki sedikitnya kesamaan ideologi.

"Ada semacam artikulasi ideologi (ketika aktivis memilih PDIP). Tapi juga ada proses yang sangat panjang sebelum mereka menentukan pilihan. Tapi pertimbangan partai untuk menerima mereka juga bisa karena pertimbangan suara, dimana aktivis memiliki kemampuan dan mungkin juga memiliki basis di kelompok masyarakat," ujar Gun Gun kepada Gresnews.com, Selasa (12/2).

Namun, Gun Gun tidak memungkiri jika tidak setiap aktivis akan menjatuhkan pilihannya pada PDIP. Ada juga aktivis yang memilih partai lain. "Ini disebabkan adanya politik aliran atau platform dari individu aktivis tersebut."

Sejarah mencatat, aktivis terjun ke parlemen adalah hal lumrah. Dalam sejarah pergerakan di Indonesia, metode parlementer bukan hal yang baru. Pada masa pergerakan melawan kolonialisme, tepatnya Desember 1916, aktivis pergerakan masuk dalam Volksraad (parlemen boneka Belanda). Beberapa organisasi seperti BO (Boedi Oetomo), Insulinde, dan CSI (Central Serikat Islam) menyatakan berpartisipasi dalam Volksraad, dengan alasan parlementer memiliki kekebalan berhadapan dengan pemerintah kolonial, sehingga memudahkan dalam mengkampanyekan kepentingan rakyat hindia-belanda.

Pada tahun 1950, seiring dengan pengaruh demokrasi parlementer, dilaksanakan pemilihan umum yang pertama tahun 1955, yang disebut oleh sejumlah analis politik sebagai pemilu paling demokratis sepanjang sejarah Indonesia. Gerakan mahasiswa dengan memegang teguh ideologi perjuangan dan platform politik menyatakan berafilisasi dengan partai yang memiliki garis ideologi dan politik yang sama. Seperti HMI yang berafilisasi ke Masyumi, PMII berafiliasi ke NU, GMNI berafiliasi ke PNI, CGMI berafiliasi ke PKI, GMKI berafiliasi dengan PARKINDO, dan Germasos berafiliasi kedalam tubuh PSI. kehidupan politik pada masa itu begitu sehat, politik aliran (ideologi) muncul dalam segala aspek kehidupan sosial, termasuk kampus.

Persiapan

Masinton Pasaribu (Foto: seruu.com)

Masinton mengakui dirinya akan masuk gelanggang pertarungan untuk merebutkan kursi anggota dewan sebagai perwakilan rakyat pada Pileg 2014. "Sebagai kader partai, sebagai ketua sayap partai Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) saya siap masuk parlemen," ujarnya.

Lebih lanjut Masinton mengatakan dirinya akan masuk parlemen menggunakan kendaraan politik PDIP.

Terkait masalah pakta integritas, menurut Masinton, tidak perlu dilakukan secara tertulis, pasalnya dia sudah memiliki komitmen sejak perjuangan mahasiswa untuk mengadakan perubahan terhadap bangsa ini. "Sejak 1998 para aktivis sudah memiliki perjuangan yang jelas untuk memberantas KKN," tegasnya.

Secara terpisah, Wanto Sugito mengatakan dirinya sudah menjalani rangkaian tes yang dilakukan oleh PDIP sebagai persyaratan untuk maju sebagai calon anggota dewan.

Sementara itu mantan aktivis Desmond J Mahesa yang kini menjabat sebagai anggota Komisi III DPR mengatakan dirinya menyambut gembira rencana rekan-rekannya untuk bergabung sebagai politisi Senayan. "Saya menyambut gembira niatan kawan-kawan untuk masuk ke parlemen karena kita bisa sama-sama berjuang di parlemen. Namun demikian mereka harus menyesuaikan dinamika sosial politik yang ada," ujarnya.

Desmond menambahkan rencana para aktivis 1998 tersebut adalah pilihan yang harus disikapi, karena sebelumnya mereka berjuang di parlemen jalanan.

Sementara itu politisi PDIP Eva Kusuma Sundari mengatakan PDIP partai terbuka, siapapun bisa mendaftar termasuk aktivis 1998. "Tetapi para pendatang baru tersebut harus mengikuti aturan yang sama sebagaimana yang dikenakan ke orang dalam, seperti melalui tahapan psychotest," ujarnya. Eva juga mengatakan anggota PDIP harus bebas narkoba.

"Jadi  tidak ada keistimewaan untuk satu kelompok  pendatang, termasuk saat untuk mendapatkan nomor urut yang dalam sistem pemilu saat ini (suara terbanyak) bukan masalah," jelasnya.

BACA JUGA: