GRESNEWS - "Kami dizalimi." Kun Wardhana berujar singkat kepada Gresnews.com, Selasa (12/2). Seakan lemah tak berdaya, lelaki yang menjabat sekretaris jenderal Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) itu harus menerima kenyataan partainya tak bisa ikut Pemilu 2014.

Lalu serentetan ketidakpuasan terhada KPU pun ditumpahkan oleh Kun. Mulai dari tudingan KPU tidak profesional dalam melakukan verifikasi hingga diskriminasi ketika menyiapkan data untuk verifikasi. "Setelah sidang DKPP kami cuma dapat tiga minggu untuk lengkapi verifikasi, akhirnya KPU laksanakan verifikasi sepihak tanpa kami," kata Kun, yang partainya beralamat di Jl. Pejaten Barat No.30 Jakarta Selatan, itu.

 

Kun pun bertutur tentang nasib para kader partai. Berdasarkan riset terakhir, kata Kun, PDK mempunyai jumlah pemilih 1.400.000 orang, perwakilan di 3.776 kecamatan, serta 462 perwakilan di tingkat kabupaten kota yang tersebar di 33 Provinsi di Indonesia. "Ada 271 kader PDK yang menjadi anggota dewan tingkat provinsi," ujarnya.

Kini Kun menggantungkan nasib partainya pada Pengadilan Tata Usaha Negara. Jika PTUN pun tidak mengabulkan, ia bersiap ke Mahkamah Agung. "Kami harus lolos. Demi rakyat dan anggota legislatif di daerah," ujarnya.

Lain PDK, lain PNI Marhaenisme. Kantor partai yang beralamat di Jl. Cibulan Raya No 17 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, itu ternyata kosong. Tak ada kantor partai, yang ada hanya rumah pribadi. "Ini bukan kantor, ini rumah Bu Diah. Tapi emang tadi juga ada bapak-bapak yang nyari kantor PNI," kata seorang pekerja di rumah itu, Selasa (12/2).

Sementara ketika Gresnews.com berkunjung ke Sekretariat Partai Damai Sejahtera (PDS ) di Jl. S. Parman, Slipi, Jakarta Pusat, kantor nampak tutup dan lenggang. Menurut keterangan warga sekitar, kantor PDS saat ini tak tentu waktu berkegiatannya setelah PDS dinyatakan tak lolos verifikasi.

Ketua Umum PDS Denni Tewu pernah menilai Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan tindakan diskriminatif dalam proses verifikasi faktual. Kontestasi yang sama pada Pemilu 2014 yakni partai politik harus diperlakukan sama dan tidak boleh dibedakan sesuai dengan keputusan MK Nomor 52/PUU-X/2012 ditetapkan pada 15 Agustus 2012.

Dia juga menilai proses verifikasi faktual juga tidak sejalan dengan prosedur dan PKPU Nomor 18. Banyak bukti-bukti pelanggaran dalam pemeriksaan Kartu Tanda Anggota (KTA) di berbagai daerah. "Jadwal pemeriksaan juga tidak sesuai karena hanya diberi waktu enam hari dan bertepatan pada Hari Natal. Kami telah memenuhi syarat 100 persen hingga 33 provinsi, 318 kabupaten-kota. Apalagi Bawaslu merekomendasikan 12 parpol agar diperlakukan dalam proses verifikasi faktual," ungkapnya.

Pada 7 September 2012, KPU mengumumkan daftar 46 partai politik yang telah mendaftarkan diri untuk mengikuti Pemilu 2014. Beberapa partai diantaranya merupakan partai politik yang baru pertama kali mengikuti pemilu ataupun baru mengganti namanya. Sembilan partai lainnya merupakan peserta Pemilu 2009 yang berhasil mendapatkan kursi di DPR periode 2009-2014. Pada 10 September 2012, KPU meloloskan 34 partai yang memenuhi syarat pendaftaran minimal 17 buah dokumen. Selanjutnya pada 28 Oktober 2012, KPU mengumumkan 16 partai yang lolos verifikasi administrasi dan akan menjalani verifikasi faktual. Pada perkembangannya, sesuai dengan keputusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum, verifikasi faktual juga dilakukan terhadap 18 partai yang tidak lolos verifikasi administrasi. Hasil dari verifikasi faktual ini ditetapkan pada 8 Januari 2013, dimana KPU mengumumkan 10 partai sebagai peserta Pemilu 2014, yaitu, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Keadilan Sejahtera, PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Hati Nurani Rakyat.

Jangan Mapan
Masalah dan kecurigaan dalam verifikasi parpol calon peserta Pemilu 2014 memang ada. Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi (Sigma) Indonesia, misalnya, menilai pelaksanaan verifikasi faktual parpol calon peserta Pemilu 2014 oleh KPU berpotensi menimbulkan permasalahan. Verifikasi yang meliputi penelitian langsung tentang keberadaan dan kebenaran dokumen kantor, keabsahan pengurus, dan persyaratan minimal anggota parpol itu sejatinya rawan terhadap manipulasi, potensial menjadi ajang politik transaksional, berpeluang berkualitas rendah, serta boleh jadi akan molor pelaksanaannya.

"Untuk verifikasi kantor dan kepengurusan parpol, KPU tampaknya lupa mengatur tentang sifat dari pelaksanaan verifikasi itu. Apakah akan dilakukan terbuka dengan cara memberitahukan terlebih dahulu jadwal pelaksanaan verifikasi kepada pengurus parpol, ataukah akan dilakukan secara tertutup dimana KPU dapat datang setiap waktu ke kantor parpol untuk melakukan pemeriksaan tanpa harus didahului oleh adanya pemberitahuan," kata Koordinator Sigma Indonesia Said Salahudin.

Menurut dia, dalam Peraturan KPU atau PKPU 8/2012 maupun pada petunjuk teknis terkait tata cara verifikasi faktual yang diterbitkan oleh KPU, ketentuan ini tidak ditemukan. Padahal, pengaturan ini sangat penting diketahui guna menjadi pedoman bagi KPU Daerah atau KPUD melaksanakan verifikasi.

"Karena, antara verifikasi yang dilakukan secara terbuka dan tertutup berpeluang menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Sementara kesimpulan itu akan sangat menentukan nasib parpol dalam kepesertaannya di pemilu 2014. Ketiadaan aturan standar yang bersifat tertulis dari KPU tentang hal ini dapat menyebabkan penyelenggara pemilu di tingkat bawah akan bekerja berdasarkan kreativitasnya masing-masing dengan teknis verifikasi yang berbeda disatu daerah dengan daerah yang lain. Selain menimbulkan ketidakpastian hukum, hasil verifikasi yang demikian tidak bisa terjaga kualitasnya," ujarnya.

Iberamsjah

Sementara itu, menanggapi nasib partai yang tak lolos tersebut, Pengamat Politik Universitas Indonesia Iberamsjah mengatakan seharusnya mereka membuat aliansi bersama dan jangan ikut ke partai yang mapan.

"Jelas KPU sudah dipolitisir. Sepanjang sejarah, menurut saya, ini KPU yang paling bermasalah. Mereka tidak benar-benar memverifikasi," kata Iberamsjah, Selasa (12/2), yang memperkirakan ada 11 juta pemilih dari 36 partai yang tak lolos itu. Namun, pengamat politik Arbi Sanit beda pendapat. Menurutnya keputusan KPU tidak meloloskan partai-partai itu sudah benar. "11 juta pemilih itu cuma klaim."

BACA JUGA: