JAKARTA, GRESNEWS.COM - Mahkamah Konstitusi mengklaim telah sepenuhnya siap menghadapi banjirnya gugatan sengketa pilkada yang akan digelar 9 Desember mendatang.  Sebab sejauh ini MK telah menerbitkan sejumlah Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang aturan gugatan sengketa pilkada. Namun sejumlah pemantau pemilu justru menilai sebaliknya, Mahkamah Konstitusi masih meninggalkan banyak persoalan dalam menghadapi sengketa Pilkada, terutama sengketa pilkada calon tunggal.

Ketua Mahkamah Konstitusi  Arief Hidayat sesaat setelah acara Short Course (Kursus Singkat) Konstitusi menyatakan lembaganya telah siap menghadapi banyaknya sengketa pilkada serentak yang akan diikuti 269 daerah.

"Kita sudah mempunyai PMK Nomor 1 hingga PMK Nomor 5. PMK terakhir mengatur pemberian legal standing dan tata cara penyelesaian perselisihan hasil pemilu kalau calonnya perseorangan," kata Arief usai pembukaan acara Kursus Singkat KOnstitusi yang diikuti 14 perwakilan Negara Asosiasi Konstitusi Internasional di gedung Mahkamah Konstitusi, Selasa (1/12).

Arif menegaskan, seluruh instrument Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) yang sudah digarap lembaganya akan menjadi dasar untuk beracara pada peradilan sengketa Pilkada.  Menurut dia, MK akan fokus pada penanganan sengketa Pilkada Serentak sejak dua hari sebelum digelarnya pencoblosan Pilkada serentak di 269 daerah itu. Untuk itu MK akan menghentikan sementara persidangan konstitusi umum yang sudah terdaftar sejak tanggal 7 Desember 2015.

Hal serupa disampaikan Hakim MK Wahiduddin Adams ketika memimpin persidangan perkara Nomor  135/PUU-XIII/2015 Tentang UU Pilkada terkait dengan Penghilangan Hak Pilih Bagi Penderita Gangguan Jiwa, di Ruang Pleno MK, kemarin (30/11). Hakim Wahiduddin Adam mengatakan, MK akan menghentikan sementara proses penanganan persidangan uji materi konstitusi umum sampai bulan Maret 2016. Hal itu dilakukan terkait dengan persiapan penanganan gugatan Pilkada Serentak yang juga menjadi kewenangan MK.

Persidangan konstitusi untuk perkara yang sudah terdaftar, menurutnya, akan dipending dulu beberapa bulan kedepan. Ini berkaitan dengan penanganan sengketa Pilkada. Persidangan konstitusi yang sudah terdaftar baru akan dimulai lagi sekitar bulan Maret 2016. "Jadi kita libur dari awal Desember sampai Maret tahun depan kita mulai sidang lagi," ujar Wahiduddin di ruang persidangan MK.

Lebih jauh Arief pun menegaskan, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mempersiapkan sekitar 250 pegawai atau sumber daya manusia yang ada di kepaniteraan dan sekretariat jenderal untuk menangani kemungkinan banjirnya sengketa Pilkada serentak pertama dalam sejarah pemilu di Indonesia ini. "Para pegawai akan terlibat mulai dari pendaftaran sengketa Pilkada hingga selesai," tandasnya.

Adapun hakim yang akan menangani sengketa Pilkada, seperti yang sudah disampaikan Arief beberapa waktu lalu, pihaknya akan membagi tiga panel hakim dari sembilan hakim yang ada. Artinya, hakim akan dibagi menjadi tiga panel dengan komposisi tiap panel terdiri dari tiga orang hakim.  

WAKTU MK LEBIH PANJANG - Ketua MK Arief Hidayat juga menegaskan, kesiapan Hakim Mahkamah Konstitusi juga didukung oleh jangka waktu proses penyelesaian sengketa Pilkada yang saat ini lebih panjang dari ketetapan waktu yang diatur dalam UU Pilkada 2015.

Untuk diketahui, batas waktu yang ditetapkan dalam Pasal 157 ayat 8 UU Pilkada, MK harus segera menyelesaikan sengketa Pilkada dalam kurun waktu 45 hari kalender. Akan tetapi dalam Putusan MK Nomor Perkara 105 /PUU-XIII/2015 sekitar pertengahan November lalu, MK telah mengubah ketentuan tersebut. Ketentuan itu telah diubah menjadi batas waktu MK menyelesaikan perkara sengketa Pilkada adalah 45 hari kerja.

Dalam Putusannya itu Arief Hidayat menyatakan, pemaknaan hari kalender yang kemudian diubah menjadi hari kerja diputuskan dengan mempertimbangkan jumlah hakim serta perangkat peradilan dengan banyaknya perkara yang memerlukan kecermatan dan ketelitian agar penanganannya dapat berjalan dengan baik sesuai dengan asas peradilan, yaitu sederhana, cepat dan biaya ringan juga tidak terlanggarnya hak konstitusional warga Negara.

"Sehingga sebenarnya sudah agak longgar. Sebab kalau hari kalender, berarti saat tanggal libur atau merah, MK tetap masuk. Jadi Sabtu, Minggu, Natal, dan tahun baru juga dihitung. Tapi setelah diputus MK, hari libur tidak masuk," kata Arief memaparkan.

Selain itu, lanjut Arief, waktu pendaftaran sengketa Pilkada juga sudah disosialisasikan melalui Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK). Pihaknya akan menerima pendaftaran sengketa Pilkada dalam waktu 3 x 24 Jam setelah selesai penghitungan suara. Ia menambahkan, jika sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan KPU, waktu penghitungan suara dilakukan sekitar tanggal 19 Desember 2015. Dengan demikian, batas akhir penerimaan pendaftaran sengketa Pilkada sekitar tanggal 22 Desember 2015.

Adapun jadwal persidangan sengketa Pilkada ini, menurut Arief, telah dijadwalkan akan menggelar sidang perdana pada tanggal 7 Januari 2016. Ia pun memperkirakan proses penanganan atau persidangan sengketa Pilkada akan selesai dalam kurun waktu dua bulan setelah itu, dengan kata lain 7 Maret 2016.

MASIH MENYISAKAN PERSOALAN -  Mahkamah Konstitusi (MK) mungkin bisa merasa yakin akan kesiapannya dalam menangani sengketa Pilkada serentak Desember mendatang. Tapi tidak bagi sejumlah lembaga pemantau Pemilu yang konsen mengamati jalannya Pemilu di Indonesia. Beberapa lembaga pemantau independen itu menilai Mahkamah Konstitusi masih memiliki sejumlah persoalan menghadapi sengketa Pilkada, khususnya dalam penanganan sengketa di daerah calon tunggal.

Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz mengatakan, disatu sisi lembaga pemantau pemilu diberikan ruang dalam legal standing mengajukan uji materi pada Pilkada di daerah calon tunggal. Akan tetapi, MK belum memperjelas syarat dan ketentuan yang dapat dijadikan bukti bagi lembaga pemantau pemilu yang hendak mengajukan gugatan sengketa Pilkada.

"Jadi Hak, syarat dan tata cara gugatan lembaga pemantau yang mengajukan sengketa hasil suara juga belum jelas. Apakah bisa hanya menjadikan data C1 (copian) sebagai bukti, atau gimana ini masih belum jelas,” kata Masykurudin beberapa waktu lalu di Gedung Bawaslu RI.

Pada kesempatan yang sama, Caretaker Komisi Independent Pemantau Pemilu (KIPP) Engelbert  Jojo Rohi juga mempersoalkan PMK Nomor 4 Tahun 2015 yang khusus mengatur calon tunggal. Menurut Jojo, ketentuan PMK yang masih mengacu pada Peraturan KPU terkait batas selisih perolehan suara di daerah yang memiliki calon tunggal masih meninggalkan masalah. Ia menilai, ketentuan selisih suara antara 0,5 persen hingga maksimal 2 persen dari jumlah penduduk di wilayah itu masih membatasi ruang masyarakat atau lembaga pemantau pemilu melakukan gugatan PHPU atas temuan pelanggaran yang Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM).

Sebab, belajar dari pilkada lalu, lanjut Jojo, pelanggaran di atas dua persen itu sangat sering terjadi. Bahkan tidak menutup kemungkinan hal itu akan terjadi pada pilkada serentak akhir tahun ini. Terlebih lagi pada Pilkada dengan calon tunggal, menurutnya, peluang pelanggaran itu sangat besar terjadi.

Ia menilai, peraturan tersebut akan membuka ruang konflik di lapangan. Ia pun menyayangkan, peraturan MK yang seharusnya dapat menyaring atau meminimalisir konflik di lapangan, justru secara tidak langsung mengharapkan konflik terjadi di lapangan dengan membuat batasan selisih hasil suara tersebut.

Menurutnya, terjadi kecurangan sebagaimana TSM itu kan bisa lebih dua persen. Kalau dibatasi 2 persen maksimal berarti hal ini menutup seolah-olah tidak mungkin terjadi pelanggaran diatas 2 persen. Artinya, electoral justice itu diberikan palang pintu dengan batasan ketentuan ini. Ini artinya tidak ada kanalisasinya, karena tidak ada kanalisasinya potensi konflik di daerah itu menjadi sangat rawan. "Salah satu fungsi MK itu adalah sebagai lembaga yang dapat menyerap konflik yang kemungkinan terjadi dari proses pemilu ini, dengan begini kan tidak ada yang bisa menyerap konflik,” tutupnya. (Rifki Arsilan)

BACA JUGA: