JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang digelar secara serentak 9 Desember 2015 lalu menyisakan sejumlah persoalan. Dari 147 gugatan sengketa perselisihan hasil penghitungan pemilihan Kepala Daerah (PHPKada) ke Mahkamah Konstitusi,  persoalan yang mendominasi gugatan adalah kasus money politik.  

atau praktik kecurangan yang dilakukan oleh para kontestan pemilu kada dengan cara mempengaruhi pemilih dengan sejumlah uang (money politik) masih mendominasi alasan pengajuan gugatan PHPKada di MK.

Hal tersebut menunjukan rencana menggelar pemilu kada yang jujur, adil dan langsung, umum, bebas, dan rahasia (Jurdil dan Luber) dengan menghilangkan praktik money politik masih jauh dari harapan. Padahal, dalam aturan pilkada telah ditetapkan pembiayaan kampanye dilakukan oleh negara. Hal itu bertujuan agar dapat menciptakan fairplay bagi para kontestan yang bertarung dalam pesta demokrasi di 269 daerah secara bersamaan dan serentak itu.

Dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota serta Wakil Walikota, yaitu Pasal 65 ayat 1 dan ayat 2 mengatakan, bahwa anggaran kampanye para kandidat yang bertarung pada Pilkada serentak dibiayai oleh anggaran daerah (APBD).

Aturan tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam Aturan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)  Nomor 44 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Dana Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. Dimana diatur secara detail tentang Pengelolaan, Pengawasan, serta teknis pembuatan laporan untuk para penyelenggara Pemilu terkait dengan pengalokasian dana daerah.

Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, mengatakan, alokasi dana kampanye pasangan calon yang bersumber dari APBD pada dasarnya memiliki tujuan positif, yaitu menghilangkan dominasi dari para calon yang berasal dari incumbent atau petahana. Karena biasanya, para Incumbent memiliki peluang untuk memanfaatkan posisinya dalam melakukan dominasi pada pertarungan pemilihan calon Kepala Daerah baik ditingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.

"Saya kira tinggal bagaimana kita menjaga tujuan positif itu agar berjalan dengan tujuan pilkada sesungguhnya (pertarungan yang sportif). Kalau ada yang melanggar atau masih melakukan kecurangan ya harus diproses," kata Titi kepada gresnews.com Selasa, (12/11).

Berikut adalah beberapa kasus money politik yang terjadi dalam Pilkada serentak 2015.

MODUS KARTU SAKTI - Praktik money politik untuk mempengaruhi pemilih dalam pelaksanaan Pilkada serentak 2015 lalu juga diwarnai dengan modus baru. Seperti yang terjadi di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, praktek money politik kali ini berbeda dari yang biasanya, pasangan petahana calon nomor urut 3 Herwin Yatim dan Mustar Labolo diduga telah membagi-bagikan ratusan kartu sakti yang dinamakan Kartu Sahabat Sehati Win-Star (sebutan untuk pasangan calon Herwin-Mustar).

Kuasa hukum pasangan calon nomor urut 2 Ma’mun Amir - Batia Sisilia Hadjar, Unoto mengatakan, pelaksanaan pilkada di Kabupaten Banggai, Sulawesi Selatan tidak berjalan dengan prinsip Jujur dan Adil (Jurdil). Sebab, menurutnya, proses Pilkada di sana penuh dengan praktik bagi-bagi uang (money politik) yang diduga dilakukan oleh pasangan nomor urut 3 Herwin – Mustar, sehingga ia menilai kecurangan tersebut telah mempengaruhi perolehan suara kliennya.

Ia menjelaskan, sebelum pemilihan berlangsung, pasangan calon Herwin – Mustar dan tim suksesnya telah membagi-bagikan ratusan kartu sahabat sehati Win-Star kepada masyarakat Kabupaten Banggai. Menurutnya, kartu sahabat sehati itu terdiri dari dua macam, yaitu kartu A dan kartu B. Setiap kartu, menurut Unoto, terdapat gambar pasangan calon nomor urut 3, tiap kartu tersebut terdapat kolom nama pemilih dan nomor telepon bagi pemegang kartu tersebut.

Kemudian, dalam teknis pembagiannya, kartu A dibagikan kepada masyarakat dan kartu B yang juga sudah diisi identitas calon pemilih dan nomor telepon pemilih dipegang oleh pasangan calon atau tim sukses Herwin – Mustar untuk data internal tim sukses. Kartu itu dibagikan kepada masyarakat dengan janji akan diberikan imbalan setelah mencoblos pasangan nomor urut 3 pada pelaksanaan Pilkada 9 Desember lalu.

Tidak hanya itu, para pemegang kartu sahabat sehati Win-Star juga dijanjikan jika pasangan nomor urut 3 menang Pilkada, para pemegang kartu juga akan mendapat prioritas bantuan seperti bantuan kesehatan gratis, bantuan untuk nelayan, dan bantuan bagi petani. "Modus ini tergolong baru, kita punya bukti-buktinya dan kita siap menghadirkan saksi-saksi dipersidangan," kata Unoto di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (11/1).

Unoto menambahkan, selain membagikan ‘kartu sakti’ itu, pasangan Herwin – Mustar juga diduga  menebar uang secara terbuka baik melalui pasangan calon secara langsung, maupun melalui tim suksesnya. Ia memaparkan pasangan calon nomor urut 3 itu telah melakukan money politik dengan membagi-bagikan uang ataupun berupa sembako di enam kecamatan, yaitu Kecamatan Batui, Batui Selatan, Toili, Toili Barat, Moilong, dan Kecamatan Kinton. "Praktek ini dilakukan untuk mengarahkan pemilih agar memilih nomor 3 (Herwin-Mustar) secara massif, sistematis, dan terstruktur," ujarnya.

SUAP PINDAHKAN SUARA – Praktek money politik juga terjadi pada pelaksanaan Pilkada serentak di Kabupaten Teluk Bintuni. Kuasa hukum pasangan calon nomor urut 2 Petrus Kasihiw dan Matret Kokop, Taufik Basari mengatakan, kliennya kalah hanya dengan selisih 7 suara atau 0,04 persen pada pertarungan Pilkada di Teluk Bintuni lantaran pasangan nomor urut 3, Daniel Asmorom dan Yohanis Manibuy telah memberikan uang suap sebesar Rp100 juta kepada anggota PPD di Distrik Moskona Utara untuk memindahkan suara dari pasangan Petrus – Matret ke pasangan Daniel – Yohanis.

Berdasarkan penghitungan rekapitulasi suara KPU Teluk Bintuni, Pasangan nomor urut 1, Agustinus Manibuy – Rahman Urbun memperoleh suara 7.611 suara. Lalu, pasangan nomor urut 2, Petrus – Matret (pemohon) memperoleh 17.060 suara. Kemudian, pasangan calon nomor urut 3, Daniel Asmorom - Yohanis Manibuy unggul dengan memperoleh 17.067 suara.

Dari hasil penghitugan suara itu, mereka ajukan keberatan terhadap perolehan suara di satu Distrik yaitu Distrik Moskona Utara. Dimana didistrik tersbeut terdapat 4 kampung dan di tiap kampung hanya ada 1 Tempat Pemungutan Suara (TPS). "Jadi 4 TPS dalam 1 Distrik ini yang kami permasalahkan, dengan total pemilih sekitar 1.209 pemilih. Di situ terjadi penyuapan (money politic)," kata Taufik Basari di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK).

Ia mengisahkan, praktek penyuapan yang melibatkan Panitia Pemilihan Distrik (PPD) terjadi pada 10 Desember 2015. Ketika itu, Calon Wakil Bupati Pasangan nomor 3 Yohanes Manibuy mendatangi Ketua PPD Moskona Utara, Stevanus Orocomna. Yohanes menawarkan uang Rp100 juta untuk memindahkan perolehan suara pasangan nomor 2 pada pasangan nomor 3 sebanyak 242 suara.

Stevanus saat itu menolak, tapi dipaksakan dan ditekan untuk mengambil dana tersebut. Lalu Ketua tim sukses pasangan Asmorom dan Yohanes, Jefri Orocomma membuat surat pernyataan yang disodorkan pada Stevanus untuk ditandatangani dengan tekanan dan ancaman. Sehingga Stevanus akhirnya menandatanganinya.

Menurutnya, praktik peralihan suara dilakukan dengan mencoret angka yang ada pada dokumen DA Plano (dokumen penghitungan suara) Distrik Moskona Utara, sehingga hasil perolehan suara berubah. Ia menegaskan, berdasarkan perhitungan pemohon, pasangan calon Petrus dan Matret seharusnya memperoleh suara sebanyak 17.286 suara dan pasangan Daniel dan Yohanis sebanyak 16.829 suara.

Pemohon meminta MK menyatakan putusan KPUD Teluk Bintuni itu batal dan tidak sah dan menetapkan perolehan suara yang benar sebagai berikut: Agustinus dan Rahman 7.611 suara, Petrus dan Matret sebanyak 17.286 suara dan pasangan Daniel dan Yohanis sebanyak 16.829 suara.  "Kami juga meminta MK memerintahkan termohon untuk melakukan pemilihan ulang di Distrik Moskona Utara," jelasnya. (Rifki Arsilan)

 

BACA JUGA: