JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan indikasi akan maraknya korupsi pada kepemimpinan kepala daerah baru hasil pilkada serentak pada 9 Desember lalu. Pasalnya banyak dari pasangan calon pilkada yang memaksakan meminjam uang dari berbagai pihak untuk membiayai pencalonan mereka dalam pilkada kepala daerah.

Hal ini dinilai sangat rentan memunculkan terjadinya korupsi. Sebab setelah terpilih, para calon kepala daerah itu akan melakukan berbagai cara untuk mengembalikan dana pinjaman dalam rangka membiayai kampanyenya saat itu.

"Harta kekayaannya minus. Artinya hutang lebih besar dari harta. Padahal masih harus sediakan biaya kampanye," kata Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan kepada gresnews.com, Sabtu (2/1) malam.

Pahala mengatakan, temuan ini tentunya akan ditindaklanjuti tim KPK. Mantan auditor Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan ini menegaskan, pihaknya akan fokus menelisik alasan calon yang banyak tunggakan itu berani maju di Pilkada. Ia menduga ada pihak lain yang menyalurkan dana untuk membiayai para calon tersebut.

Menurut Pahala, para pihak lain yang telah membantu pembiayaan pilkada itu tentunya tidak akan memberikan dana itu dengan cuma-cuma kepada para calon Kepala daerah. Dikhawatirkan, jika calonnya terpilih nanti, mereka akan meminta sejumlah proyek yang didanai oleh APBD di daerah tersebut.

"Nanti kalau hasil survei ke pasangan yang kalah menunjukkan bahwa mereka didukung sponsor dan sponsor akan ´dibayar´ dengan proyek APBD atau izin tambang/ kebun," tutur Pahala.

Untuk menindaklanjuti hal tersebut, kata Pahala, KPK  akan berkoordinasi dengan pihak terkait seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan juga Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Tetapi hal itu akan dilakukan setelah para calon itu nantinya terpilih secara resmi oleh KPU.

"Kalau data ditemukan demikian artinya yang menang pilkada akan melakukan yang sama. Baru deh pencegahan diupayakan dengan bicara ke Mendagri, KPU, dan sebagainya," pungkas Pahala.

Sayangnya Pahala belum mau mengungkap siapa dan di daerah mana saja para calon yang diduga disponsori pihak lain maupun memiliki hutang cukup besar dalam membiayai Pilkada ini. "Senin nanti saya cek datanya di kantor," imbuhnya.

PERINGATAN BAGI KEMENDAGRI -  Dikonfirmasi terpisah, Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Parludem) Titi Anggraini mengatakan, dari temuan KPK itu seharusnya menjadi peringatan awal bagi Kementerian Dalam Negeri untuk menguatkan mekanisme pengawasan internal di masing-masing daerah.

Hal itu dilakukan untuk mencegah terjadinya korupsi yang akhir-akhir ini marak dilakukan para kepala daerah. Titi meminta temuan ini harus ditanggapi serius oleh masing-masing instansi terkait, termasuk para penegak hukum.

Menurutnya, korupsi yang terjadi di daerah sebenarnya mudah dicegah jika semua instrumen termasuk legislatif bekerja bersama-sama. "Apalagi, salah satu fungsi legislatif adalah melakukan pengawasan terhadap seluruh kinerja pemerintah yang bekerja baik di pusat maupun daerah," katanya.

Titi juga meminta para stakeholder terkait juga bisa tegas dalam menindak oknum para kepala daerah yang terbukti melakukan tindak pidana seperti korupsi. Mereka dituntut tidak hanya menjatuhkan sanksi, tetapi juga memberhentikan para kepala daerah tersebut.

POLITIK PADAT MODAL - Kondisi ini sebelumnya telah diperingatkan  Ketua MPR Zulkifli Hasan menjelang pelaksanaan Pilkada serentak. Ia juga memperingatkan masyarakat agar tak tergiur money politics. Menurutnya money politics inilah yang menjadi sumber merebaknya korupsi dan para pemburu rente.

"Perangkat keras prosedur demokasinya terlihat relatif lebih demokratis. Namun perangkat lunak budaya demokrasinya masih tetap nepotis feodalistis. Pemerintahan demokratis tidak diikuti oleh  meritoktasi (pemerintahan orang-orang berprestasi), malahan  banyak melahirkan para pemburu rente," kata Zulkifli Selasa (8/12) lalu.

Sebab ia melihat pada tingkat institusional, desain institusi demokrasi terlalu  menekankan pada kekuatan alokatif, yakni sumber dana, ketimbang  kekuatan otoritatif  yakni kapasitas manusia.

Menurutnya politik padat modal itu membuat biaya kekuasaan tinggi, mengakibatkan high cost economy; merebakkan korupsi. Demokrasi yang ingin memperkuat daulat rakyat justru memperkuat segelintir orang.

Demokrasi yang harusnya memperkuat cita-cita republikanisme dan  civil nationalism justru menyuburkan tribalisme dan provinsialisme (putra daerahisme). Demokrasi yang mestinya mengembangkan partisipasi, kepuasan dan daulat rakyat, justru mengembangkan ketidaksertaan (disengagement), kekecewaan dan ketidakberdayaan rakyat.

BACA JUGA: