JAKARTA, GRESNEWS.COM – Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang pertama dalam sejarah pemilu di Indonesia tidak sepenuhnya berjalan mulus. Dari 269 daerah yang dijadwalkan menggelar Pilkada serentak pada 9 Desember lalu, terdapat 5 daerah yang Pilkadanya harus ditunda. Kelima daerah itu adalah Provinsi Kalimantan Tengah, Kabupaten Fakfak Papua, Kabupaten Simalungun dan Kabupaten Siantar Sumatera Utara, serta Kota Manado Sulawesi Utara.

Meskipun hanya lima pilkada dari 269 daerah Pilkada yang ditunda, menurut Anggota Caretaker Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Engelbert Jojo Rohi, penundaan itu menunjukan masih terdapat kelemahan sistem penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia. Jika mengacu pada kasus penundaan pelaksanaan Pilkada di Provinsi Kalimantan Tengah misalnya, penundaan terjadi lantaran putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Kalimantan Tengah yang mengabulkan gugatan calon pasangan Ujang Iskandar-Jawawi terhadap SK KPU Provinsi Kalimantan Tengah yang sebelumnya mencoret namanya dalam daftar kontestasi Pilkada 9 Desember atas dugaan menyertakan surat dukungan palsu dari Partai PPP kubu Djan Farid.

Jojo menambahkan, putusan PTUN Kalimantan Tengah yang diketuk pada hari Senin (7/12) lalu telah menganulir SK KPU Provinsi Kalimantan Tengah sebelumnya. Hal itu menjadi salah satu bukti bahwa putusan lembaga penyelenggara pemilu masih bisa dianulir oleh lembaga peradilan lain.

"Situasi hari ini memang sangat banyak meja yang bisa ditempuh dalam menangani urusan kepemiluan kita, hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan persoalan yang berlarut-larut," kata Jojo Rohi melalui sambungan seluler kepada gresnews.com, Minggu (13/12).

Ia menambahkan, lemahnya sistem pemilu saat ini secara otomatis telah menyebabkan agenda-agenda atau tahapan pemilu menjadi terlambat. Dengan demikian, lanjutnya, ke depan sangat diperlukan upaya perbaikan atau penyempurnaan dalam perundang-undangan agar tidak lagi terjadi ketidaksesuaian pelaksanaan Pilkada serentak yang sudah dijadwalkan sesuai tahapan.

Jojo menyarankan, ke depan ada pengadilan khusus menangani persoalan pemilu. Dengan pengadilan khusus tersebut, tumpang tindih kewenangan seperti itu dapat diatasi.  

Jadi semua bentuk gugatan pemilu bisa diselesaikan di satu meja. Sehingga mempercepat proses dan tidak terjadi lempar-lemparan seperti saat ini. Kedepan harus dikonsep adanya peradilan pemilu yang bersifat final dan mengikat. "Perselisihan hasil pemilu, tidak lagi di MK tapi lembaga peradilan khusus ini," katanya menegaskan.

KPU AJUKAN KASASI - Atas putusan PTUN itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) berencana akan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) pada Senin (14/12) besok. Hal itu disampaikan salah satu komisioner KPU Juri Ardianto di Gedung KPU Pusat, Jum’at (11/12) lalu.

Kasasi akan diajukan ke MA terkait dengan putusan pengadilan di dua daerah, yaitu Provinsi Kalimantan Tengah dan Kabupaten Fakfak, Papua. Atas putusan keduanya, pelaksanaan pilkada ditunda. Putusan PTUN menyatakan bahwa pasangan calon yang melakukan gugatan ke PTUN itu harus ikut dalam proses pemilihan Pilkada. Sementara, untuk di tiga daerah lainnya, yaitu, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Siantar, Sumatera Utara, dan Kota Manado, Sulut, masih harus menunggu putusan final dari PTUN setempat.

"Karena di tiga daerah itu masih putusan sela. Jadi kami masih berharap pengadilan segera membuat putusan, sehingga kami bisa merancang pelaksanaan Pilkada susulan, atau KPU harus mengajukan kasasi seperti putusan  Kalteng dan Fakfak," jelasnya.

Menanggapi upaya banding dan kasasi yang akan dilakukan KPU, Engelbert Jojo Rohi mengaku mendukung upaya hukum KPU tersebut. Ia menilai, upaya banding harus dilakukan KPU guna menjaga kewibawaan lembaga penyelenggara pemilu. Kendati demikian, upaya tersebut harus mempertimbangkan celah hukum yang ada.    

"Itu sah-sah saja untuk menunjukkan bahwa apa yang telah diputuskan sebelumnya adalah benar. Dan itu baik-baik saja sepanjang celah hukumnya memungkinkan dan konstitusional," ujarnya.

Namun ia menegaskan, untuk menghindari kejadian serupa pada Pilkada mendatang, harus dirumuskan kembali perundang-undangan yang memungkinkan pembentukan pengadilan khusus pemilu. Dengan demikian, tidak ada lembaga lain yang saling menganulir putusan pilkada. "Kalaupun nanti hakimnya diambil oleh pengadilan tinggi atau pengadilan negeri itu bisa diatur mekanismenya, karena itu kan lebih pada teknis mekanisme pelaksanaan,” tutupnya. (Rifki Arsilan)

BACA JUGA: