JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kekhawatiran akan tertundanya pelaksanaan pilkada serentak di beberapa daerah yang hanya memiliki satu pasang calon kepala daerah akhirnya menjadi kenyataan. Hasil rekapitulasi KPU terakhir terhadap perpanjangan masa pendaftaran di 13 daerah bermasalah tersebut menunjukkan hasil di luar harapan.

Masih ada 7 daerah tersisa yang hanya memiliki satu pasangan calon kepala daerah. Daerah tersebut adalah Kabupaten Tasikmalaya (Jawa Barat), Kabupaten Blitar (Jawa Timur), Kota Mataram (Nusa Tenggara Barat), Kota Samarinda (Kalimantan Timur), Kabupaten Timor Tengah Utara di Nusa Tenggara Timur, Kabupaten Pacitan (Jawa Timur), dan Kota Surabaya (Jawa Timur).

Komisioner KPU Sigit Pamungkas menegaskan, posisi KPU saat ini sesuai dengan peraturan yang telah dikeluarkan oleh mereka, bahwa apabila setelah dilakukan perpanjangan masa pendaftaran masih terdapat kurang dari dua calon pasangan kepala daerah, maka pilkada di daerah tersebut ditunda hingga Februari 2017.

"KPU jelas mengikuti peraturan yang sudah dibuat. Berarti sekarang ini ditunda. Selama undang-undangnya memerintahkan bahwa kepala daerah dipilih lewat pemilhan lebih dari satu pasangan maka KPU akan memegang prinsip itu. Kecuali bila ada peraturan yang lebih tinggi yang membatalkan itu," ujarnya kepada gresnews.com di Gedung KPU RI, Selasa (4/8).

Sigit mengutarakan keheranannya mengenai perilaku partai politik yang enggan untuk mengusung calon kepala daerah tujuh daerah itu. Menurut Sigit, sebenarnya di daerah-daerah yang memiliki calon tunggal tersebut masih ada partai politik yang memiliki kuota untuk bisa mencalonkan pasangan kepala daerah, bahkan sampai ada yang seharusnya mencalonkan dua pasang lagi.

Menurut Sigit, yang menjadi persoalan adalah apakah partai itu sungguh-sungguh mau mencalonkan atau tidak. Bukan kekurangan orang untuk mau mencalonkan diri. Karena Sigit mencontohkan di beberapa daerah tersebut ada calon kepala daerah yang sudah datang ke KPUD, ada yang juga yang sudah mengantongi persetujuan DPP partai dan DPD partai bersangkutan yang menjadi syarat pencalonan juga sudah ada. Sayangnya pencalonan itu tidak dilanjutkan.

"Ini memang suatu misteri dalam pencalonan di tujuh daerah itu. Kenapa syarat-syarat yang dimungkinkan untuk bisa dimajukan tidak diteruskan prosesnya. Misteri ini KPU tidak menerkanya apa penyebabnya. Ini keanehan saja, murni berpulang pada elite partai setempat sejauh mana mereka mau mencalonkan kepala daerah," ujar Komisioner KPU Bidang Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, dan Pengembangan Sumber Daya Manusia ini.

TUNDA PILKADA BLUNDER KPU - KPU memang sudah menetapkan aturan untuk menunda pilkada di daerah yang hanya memiliki satu calon kepala daerah hingga masa perpanjangan pendaftaran ditutup. Aturan hukum untuk mengakomodir satu pasangan calon dalam pilkada pun memang belum ada.

Hanya saja, keputusan KPU untuk mengundur jadwal pilkada di tujuh daerah tersebut mendapatkan tentangan dari aktivis pegiat demokrasi. Direktur eksekutif  Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyatakan, keputusan KPU tersebut bertentangan dengan UU Pilkada itu sendiri.

Menurut Titi, UU Nomor 1 Tahun 2015 juncto UU Nomor 8 Tahun 2015 sebetulnya tidak memberi mandat kepada KPU untuk memundurkan jadwal pilkada suatu daerah karena undang-undang sudah menetapkan jadwal pilkada dalam rangka menunju pilkada serentak nasional. "KPU tidak perlu membuat jadwal sendiri," katanya kepada gresnews.com.

Titi pun tidak dapat menerima dalih KPU, bahwa UU Pilkada mengharuskan paling sedikit terdapat dua pasangan calon, sebagai dasar KPU secara serta merta membuat kebijakan memundurkan jadwal pilkada dari semula Desember 2015 ke Februari 2017.  Titi menyayangkan sikap KPU yang tidak menyampaikan kepada pembuat undang-undang (pemerintah dan DPR) untuk mencari solusi guna mengatasi fenomena calon tunggal ini.  "Justru KPU mencari jalan pintas dengan membuat kebijakan sendiri," ujarnya

Menurut Titi, kebijakan KPU tersebut memiliki lima kesalahan atas kebijakan memundurkan jadwal pilkada tersebut. Pertama, KPU mengabaikan hak politik rakyat untuk memilih pemimpinnya secara langsung, karena dengan menunda pilkada berarti hak memilih yang seharusnya digunakan saat ini, terpaksa tertunda atau malah hilang.

Kedua, KPU membiarkan pemerintahan daerah dipimpin oleh orang yang tidak mendapat legitimasi rakyat. Ketiga, KPU menghilangkan atau mengurangi daya kontrol pemilih terhadap kinerja pemimpinnya karena mereka tidak bisa memberikan penghargaan (memilih kembali) atau hukum (tidak memilih kembali) pada saat yang tepat sesuai dengan periode masa kerja kepala daerah.  

Keempat, KPU merusak skenario pilkada serentak nasional, karena mengurungkan pilkada yang hanya punya satu pasangan calon, yang bisa terjadi pada daerah mana saja dan kapan saja. Kelima, KPU membiarkan anggaran negara terbuang percuma karena sebagian biaya penyelenggaraan pilkada sudah dibelanjakan namun tahapan pemungutan dan penghitungan suara tidak dilakukan.

"Jika mengikuti logika PKPU No 12/2015, bisa-bisa pilkada bakal terus gagal digelar sebab bukan tidak mungkin setelah diundur pada Februari 2016, pasangan calon yang muncul tetap tunggal, yaitu pasangan calon yang sama," pungkas Titi.

Menanggapi tudingan tersebut Sigit Pamungkas mengungkapkan bila keputusan menunda Pilkada merupakan akibat dari kewenangan yang dimiliki KPU saat ini terbatas. KPU tidak memiliki kewenangan untuk merumuskan hal yang lain selain penundaan tersebut.

Dia bilang, tidak mungkin bagi KPU untuk membuat mekanisme sistem pemilihan yang lain, karena itu sama saja dengan menerjemahkan undang-udang. Kecuali bila KPU diberi mandat untuk itu.

"Pilkada serentak sudah dirumuskan dalam undang-undang pada tahun 2017, 2018 dan 2020. Kalau KPU membuat desain di luar undang-undang maka sudah di luar kewenangannya. Itu ranah pemerintah dan DPR. Karena KPU hanya menjadi pelaksana undang-undang. Maka dengan melihat kewenangan yang ada maka menunda sampai ada lebih dari satu calon adalah  pilihannya," tegas Sigit

PERPPU KOTAK KOSONG - Terancam diundurnya pilkada di tujuh daerah ini sendiri memang mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Kementerian Dalam Negeri bersama dengan Kementerian Hukum dan HAM sudah menyiapkan draf Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk mencari jalan keluar bagi nasib ketujuh daerah ini.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengungkapkan, pihaknya akan memberikan draf tersebut kepada Presiden Joko Widodo untuk dibahas bersama dengan lembaga tinggi negara yang lain, khususnya DPR untuk mencari jalan keluar yang tepat menyelesaikan persoalan ini.

Mendagri menyadari memang di kalangan masyarakat dan partai politik saran dan ide yang muncul bervariasi untuk mencari alternatif pelaksanaan pilkada dengan calon tunggal. Salah satunya ada yang menginginkan seperti apa yang telah KPU putuskan agar pilkada diundur pada 2017.

Namun Tjahjo mengungkapkan, keputusan yang diambil oleh KPU itu juga masih menyisakan persoalan bagi calon kepala daerah yang sudah mendaftar. "Calon ini punya hak politik, hak untuk dipilih, dan hak konstitusional serta didukung oleh partai politik yang mengusungnya. Selain itu dia juga sudah mempersiapkan diri. Kalau menunggu 2017 apakah ada keyakinan apakan nanti akan muncul (minimal) dua pasangan calon?" ujarnya saat ditemui di Kantor Kementerian Dalam Negeri.

Menurut Tjahjo, Partai politik yang telah mendaftarkan calon juga punya hak politik. Kalau dibatalkan partai tersebut bisa marah. "Bagi partai politik yang tidak mengusung calon mungkin ada pertimbangkan lain. Kalau mengusulkan juga kalah misalnya," ujar mantan Sekjen Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini.

Tjahjo menerangkan, di dalam draf Perppu yang dibuat oleh kementeriannya tersebut ada beberapa opsi yang ditawarkan. "Salah satu opsinya adalah walaupun hanya ada satu pasang, akan tetap diikutkan pilkada," ujarnya kepada gresnews.com

Saat ditanyakan bagaimana mekanismenya bila pilkada hanya diikuti satu pasangan calon, Tjahjo menjawab bila melawan kotak kosong menjadi salah satu alternatifnya. "Kalau pilkades (pemilihan kepala desa-red) juga kan lawan kotak kosong. Kita juga belajar dari sejumlah negara lain sama prinsipnya," ujarnya.

Tjahjo juga berharap bila Perppu ini nantinya akan segera bisa diterbitkan secepat mungkin agar bisa segera ada kepastian hukum atas nasib tujuh daerah tersebut. Mendagri juga yakin bila Perppu ini tidak akan mendapatkan hambatan di DPR.  

Tjahjo yakin karena partai yang mengusung calon tunggal di daerah juga merupakan bagian dari partai politik yang ada di DPR. "DPR pasti akan mencari jalan yang terbaik," ujarnya.

Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Dodi Riyadmadji mengingatkan bila masalah calon tunggal ini bukan hanya masalah ketujuh daerah tersebut. Menurutnya, bisa saja angka tersebut bertambah nantinya bila pada pengumuman hasil verifikasi banyak calon kepala daerah yang tidak lulus syarat pencalonan.

Problemnya bukan persoalan pendaftaran yang hanya calon tunggal itu. Karena problematikanya pada saat nanti pendaftaran ditutup setelah 3 Agustus maka dalam waktu seminggu itu harus diumumkan hasilnya kemudian ditetapkan sebagai calon.

"Apakah dari seluruh yang mendaftar itu lolos semua? Seandainya itu nanti ada yang tidak lolos, pada daerah yang hanya memiliki dua pasangan calon yang mendaftar. Berarti itu akan ada calon tunggal lagi," ujarnya kepada gresnews.com

Dodi menerangkan dasar kedaruratan dari penerbitan Perppu tersebut adalah Pasal 49 UU Pilkada yang mengatur paling sedikit itu Pilkada itu diikuti dua pasangan calon. Maka, Perppu ini akan mengatur supaya yang satu pasang bisa tetap mengikuti Pilkada.

"Alternatif yang dirumuskan itu selain mengubah ketentuan di Pasal 49 UU Pilkada tersebut, mungkin tidak disebutkan paling sedikit dua pasang," urai Dodi.

Dodi menjelaskan, nantinya setelah diubah yang satu pasang itu bisa mengikuti Pilkada misalnya dilawankan dengan kotak kosong. Hanya saja memang perlu dipikirkan, mekanisme hukumnya seperti apa untuk menentukan pemenangnya nanti.

"Hanya saja seandainya itu melawan kotak kosong apakah itu pemilih memberikan suara di kotak kosong, dan bila jumlahnya lebih dari setengah maka yang menang kan bisa kotak kosong, maka itu yang akan diatur," ujarnya.

Dalam Draf Perppu tersebut, Kemendagri memikirkan tidak harus mengubah UU secara subtansial tetapi hanya fokus mengatasi kejadian satu pasang calon. "Formula dalam draf tersebut terkait dengan terkait Pasal 49 UU Pilkada, tidak harus harus minimal dua pasang calon dan mekanisme penentuan pemenang," ujar Dodi.

PERPPU TERANCAM MENTOK DI DPR - Pemerintah memang tampak bersemangat untuk menyelamatkan pilkada di daerah yang terancam ditunda dengan mengerluarkan Perppu. Hanya saja, Perppu tersebut potensial bakal terganjal di DPR lantaran pihak DPR sendiri sepertinya tak antusias dengan wacana mengeluarkan Perppu Pilkada ini.

Ketua Komisi II DPR RI Rambe Kamarul Zaman tidak menolak bila pemerintah ingin mengeluarkan Perppu karena itu merupakan hak dan kewenangan presiden. Hanya saja, kata dia, DPR ingin tahu terlebih dahulu mengetahui situasi yang menjadi dasar dari dikeluarkanya Perppu tersebut.

"Dasar dikeluarkannya Perppu tersebut adalah pertama itu harus ada kepentingan yang memaksa. Kriteria dari hal yang memaksa itu bila tidak ada hukum yang mengatur, mengatur kepentingan hajat hidup orang banyak. Perppu ini dikeluarkan pada masa reses dan akan dibahas pada masa sidang berikutnya untuk diterima atau ditolak," ujarnya kepada gresnews.com.

Rambe belum mengetahui apakah Perppu tersebut akan mulus diterima DPR, karena sampai saat ini Perppu tersebut belum terbit sehingga belum tahu apa saja yang diatur di dalamnya. Namun politisi Partai Golkar ini sudah memperkirakan dimana saja letak perdebatan itu nantinya.

"Perdebatanya bila Perppu itu dikeluarkan adalah bila calon tunggal diperbolehkan lalu langsung dilakukan pemilihan maka perdebatannya akan menjadi panjang. Berikutnya perdebatanya apa ini sangat dipentingkan, karena sisa tujuh lagi kenapa tidak PKPU-nya saja yang direvisi secara cepat lewat konsultasi dengan DPR?" ujar Rambe.

Rambe lebih memilih masa pendaftaran diperpanjang terlebih dahulu ketimbang langsung mengeluarkan Perppu. "Pendaftaran diperpanjang lagi 10 hari siapa tahu ada yang mendaftar. Dengan demikian kita maksimalkan dulu hal tersebut. Kalau ada yang mendaftar lagi di 3-4 daerah, maka kita akan ada dasar untuk mengatakan bila tidak mampu lagi kenapa tidak ditunda ke 2017," ujar legislator asal Sumatera utara ini.

Di sisi lain, beberapa kelompok masyarakat sipil justru setuju langkah pemerintah keluarkan Perppu. Titi Anggaraini mendukung usul dari Kemendagri untuk menjadikan kolom kosong, bumbung kosong atau kotak kosong sebagai lawan bagi pasangan calon tunggal di pilkada serentak mendatang. Menurut Titi, itu sudah lazim dipraktikkan dalam pemilihan kepala desa.

"Hadirnya kolom kosong yang akan berdampingan dengan pasangan calon tunggal dalam surat suara, selain tetap menjamin pelaksanaan pilkada, yang berarti juga menjamin penggunaan hak politik rakyat untuk memilih pemimpinnnya, juga untuk menguji tingkat akseptabilitas pasangan calon tunggal di mata pemilih," ujar Titi.

Menurut Titi, jika pasangan calon tunggal menang dalam pemilihan (meraih suara 50%+1) akan menjadi alasan pembenar selama ini jika pasangan calon tunggal tersebut benar-benar dikehendaki rakyat, sehingga tidak ada pasangan calon lain muncul karena takut kalah.

Tetapi jika kolom kosong yang menang dalam pemilihan (meraih suara 50%+1) berarti asumsi bahwa pasangan calon tunggal diterima rakyat, tidak terbukti, maka pilkada baru harus digelar lagi dan pasangan calon tunggal yang kalah tersebut dilarang mencalonkan kembali sehingga akan tampil pasangan calon-pasangan calon baru.

Untuk itu, menurut Titi, Presiden Jokowi perlu mengeluarkan Perppu demi menjamin hak-hak politik rakyat dalam pilkada, dan demi menjamin kepastian hukum penyelenggaraan pilkada. "Dan Perppu ini secepatnya disahkan agar bisa dilaksanakan dengan baik," pungkasnya. (Gresnews.com/Lukman Al Haris)

BACA JUGA: