JAKARTA, GRESNEWS.COM - Ancaman ditundanya pemilihan kepala daerah di sejumlah daerah ke tahun 2017 kian menjadi nyata, menyusul tidak adanya calon lain yang mendaftar hingga perpanjangan pendaftaran, terhadap daerah yang hanya memiliki satu pasang calon. Diketahui terdapat 12 daerah hanya memiliki calon tunggal, dan satu daerah tanpa calon kepala daerah.  Di sisi lain pemerintah juga belum mengambil langkah dan tindakan untuk mengisi kekosongan hukum agar pilkada tidak ditunda menjadi tahun 2017 mendatang.

Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggarini menyarankan kepada pemerintah agar segera membuat landasan hukum yang baru guna mencegah penundaan pilkada, terhadap sejumlah yang hanya memiliki calon tunggal.

Menurut Titi, bila hal itu sampai terjadi maka secara tidak langsung merugikan proses demokrasi yang tengah berjalan di daerah tersebut. "Belum lagi penundaan akan menyebabkan terjadinya krisis kepemimpinan definitif, karena penundaannya hingga tahun 2017 mendatang" ujar Titi kepada gresnews.com.

Dalam pandangan Titi, kondisi ini sudah bisa disebut sebagai kondisi darurat dan genting secara hukum. Sehingga bisa menjadi alasan bagi Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu), sebagai jalan keluar menyelesaikan polemik ini.

Titi menyarankan, salah satu opsi dalam Perppu tersebut membuka kembali masa pendaftaran dengan waktu yang lebih panjang, agar tidak hanya calon dari partai politik yang bisa mendaftar tetapi juga bagi calon kepala daerah independen. "Artinya meski pelaksanaan pilkada tidak serentak dengan daerah lainnya, namun tidak sampai menunggu tahun 2017 nanti, hanya diundur beberapa bulan ke tahun 2016." ujarnya.

Hal senada juga disampaikan Pengamat politik Populis Center Nico Harjanto. Menurutnya, KPU memang harus memberikan perpanjangan masa pendaftaran tidak saja bagi calon dari partai politik tetapi juga bagi calon independen. "Ini merupakan salah satu alternatif untuk memecahkan kebuntuan, dibandingkan bila harus mengundurkan jadwal ke tahun 2017 mendatang," ujarnya kepada gresnews.com.

ADA SANKSI BAGI PARTAI PRAGMATIS - Namun Nico menolak bila perpanjangan masa pendaftaran ini harus diatur dalam Perppu. Keputusan dan tindakan itu bisa diambil di level kebijakan KPU. Karena, menurut Nico, Perppu bisa jadi memiliki implikasi hukum yang panjang ke belakangnya.

Menurut Nico, pangkal dari polemik ini adalah partai yang enggan secara jantan berkompetisi di arena pertarungan Pilkada. Sehingga, menurut Nico, harus ada mekanisme yang memaksa partai politik agar mau dan wajib mencalonkan calon kepala daerahnya.

"Pilkada serentak kali ini merupakan bagian pertama untuk menata proses demokrasi di Indonesia. Harusnya partai politik benar-benar punya komitmen kuat. Jangan sampai di awal saja sudah dicederai dan membajak proses ini, dengan tidak mau bertanding dan tidak mencalonkan. Jangan sampai ini menjadi bagian dari taktik elektoral partai," ujarnya.

Nico menyarankan ke depan, ada mekanisme hukuman bagi partai dengan sengaja enggan mencalonkan calon kepala daerah di pilkada meskipun sebenarnya mereka bisa. "Bisa saja dengan pembekuan bantuan keuangan Negara atau pembatalan keikutsertaan partai tersebut di dalam gelombang pilkada serentak berikutnya. Kalau tidak maka partai tidak ada insentif untuk berkompetisi secara sehat." ujarnya.

POLEMIK PENERBITAN PERPPU - Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Dodi Riyadmadji mengakui munculnya calon tunggal ini karena kinerja incumbent yang bagus di mata publik, kemudian menurut hasil survei pun hasilnya baik. Hal ini ditambah dengan perilaku partai yang pragmatis yang enggan melawan bila sudah dipastikan kalah sehingga partai enggan untuk mencalonkan dirinya.

 "Akhirnya partai-partai yang tadinya menjadi kompetitor dari incumbent ini menjadi mendukung. Ini tidak sehat seharusnya partai mencari calon untuk bersaing di pilkada selama 5 tahun siapapun lawannya. Yang menjadi masalah adalah perilaku partai-partai politik pragmatisnya tinggi," pungkasnya.

Terkait usulan penerbitan Perppu tersebut Dodi menyatakan, tidak menutup kemungkinan pemerintah mengeluarkan Perppu. Namun saat ini Kemendagri masih menimbang-nimbang apakah kondisi yang terjadi ini sudah mendesak bagi dikeluarkannya Perppu atau tidak.

"Apakah hanya 13 daerah yang hanya ada calon tunggalnya dari 269 daerah yang melaksanakan Pilkada serentak itu sudah layak melahirkan Perppu," ujarnya kepada gresnews.com di Kompleks Kantor Kementerian Dalam Negeri.

Tetapi, menurut Dodi, Kemendagri sudah menyiapkan langkah-langkah yang diperlukan apabila memang benar-benar terjadi calon tunggal setelah penutupan masa pendaftaran kedua pada tanggal 3 Agustus mendatang. Termasuk opsi untuk mengeluarkan Perppu.

Dodi mengungkapkan langkah pertama adalah Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo akan bertemu dengan pimpinan partai politik, Baik itu ketua umum maupun sekretaris jenderal dari 10 partai yang ada di DPR. "Akan membicarakan baiknya bagaimana kebijaksaan yang harus diambil terkait nasib dari daerah yang hanya memiliki calon tunggal tersebut."

Langkah kedua bila langkah pertama tidak berhasil, menurut Dodi, baru kemudian Kemendagri menyiapkan konsep Perppu. Landasan dari konsep itu sendiri, menurutnya, adalah pemilihan kepala daerah itu paling sedikit dua pasangan calon, kalau ada pemilihan berarti harus ada dua kandidat. Kalau hanya satu itu bukan pemilihan. "Jadi Perppu ini akan mencari cara dan jalan keluar agar bagaimana supaya yang tadinya hanya satu calon menjadi dua calon dan dari yang tidak ada calon menjadi ada dua calon,” ujarnya.

Dodi sendiri belum mau mengungkapkan apa konsep yang ditawarkan oleh pemerintah nantinya, menurutnya pemerintah masih menunggu dan melihat kondisi hingga tanggal 3 Agustus nanti. "Tunggu tanggal mainnya, yang pasti nanti pemerintah akan mengeluarkan pernyataan terkait calon tunggal ini," pungkasnya.

Namun Dodi menegaskan Kemendagri juga telah menyiapkan mekanisme dan peraturan bila Kemendagri harus mengangkat PLT kepala daerah dan Pilkada ditunda hingga tahun 2017 mendatang pada daerah-daerah bercalon tunggal tersebut.

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Irman Putra Siddin mengungkapkan apapun jalan yang diambil pemerintah untuk mengatasi persoalan ini sah-sah saja secara ketatanegaran baik itu penundaan Pilkada hingga tahun 2017 yang berarti mengangkat PLT kepala daerah, maupun dikeluarkannnya Perppu oleh pemerintah.

"Yang paling penting bila pemerintah mengeluarkan Perppu yang harus dilihat kemana arah konsep perppu tersebut," ujarnya kepada gresnews.com.

Namun bagi Irman polemik calon tunggal ini bukan disebabkan adanya celah hukum pada UU Pilkada atau pada level landasan hukumnya, melainkan hanya imbas dari permainan partai-partai politik di daerah yang ingin mengurangi kekuatan dari incumbent. "Ini persoalan politik saja,  bukan pada level undang-undang. Bisa saja orang tidak mau mencalonkan diri, bisa saja-lama-lama lawannya sudah tidak populer lagi," pungkasnya.

Politisi Partai Amanat Nasional Viva Yoga Mauladi mengungkapkan partainya tidak setuju pemerintah mengeluarkan Perppu.  Viva lebih memilih untuk menggunakan mekanisme yang ada untuk menunda Pilkada ke tahun 2017 dan mengangkat pelaksana tugas (PLT) kepala  daerah.

Menurutnya hanya ada 13 kabupaten yang sampai sekarang ada satu pasang yang satu belum mendaftar dari 269 yang melaksanakan Pilkada. Jadi prosentasinya sangat kecil. "Perppu itu dibuat dalam kondisi mendesak dan genting untuk keperluan negara, saya rasa melalui prosedur yang sudah ada. melalui PLt saja," ujarnya kepada gresnews.com.


PRAKTEK MENGAKALI UU - Namun Viva menuding polemik ini timbul justru karena ada celah celah hukum dari UU nomor 8 tahun 2015 karena tidak ada pasal musyawarah untuk mufakat. "UU itu tidak menampung bagaimana bila hanya ada calon satu pasang, tidak ada nilai musyawarah untuk mufakat disitu. Kalau masyaraakat sepakat  mau satu pasang itu yang tidak tertampung," ujarnya kepada gresnews.com.

Viva mengingatkan bila UU nomor 8 tahun 2015 juga bisa menimbulkan praktek  pasangan boneka dalam pelaksanaan Pilkada kali ini. Menurutnya, pasangan boneka ini dibiyai pasangan yang sebenarnya untuk mengakali celah hukum yang ada. "Dari sisi prosedur itu sah tapi dari sisi subtansi demokrasi ini menjadi masalah besar," pungkasnya.

Wakil Sekretaris jenderal Partai Demorkat Didi Irawadi menolak pandangan Viva Yoga. Didi justru mendesak pemerintah untuk mengeluarkan Perpu terkait dengan calon tunggal ini dan menolak adanya PLT kepala daerah.
Menurutnya hal itu justru akan mencederai proses  demokrasi yang ada "Kalau mengangkat PLT itu sepihak. Apakah PLT itu sesuai dengan kehendak rakyat." Ujarnya kepada gresnews.com.

Partai Demokrat merupakan salah satu Partai yang memiliki calon kepala daerah yang terancam diundur Pilkadanya ke tahun 2017. Di Kabupaten Pacitan partai Demokrat mampu mencalonkan sendiri calon kepala daerahnya karena itu merupakan basis dari partai Demokrat. Namun itu menyebabkan tidak ada Partai lain yang mengusung calon tandingan.

Didi menginginkan pemerintah agar mencari jalan keluar lewat Perppu agar pemilihan Pilkada ini tidak sampai tertunda, bagaimana agar jangan sampai hanya ada satu calon tunggal,  namun juga jangan sampai muncul calon boneka untuk mengakali peraturan ini. "13 wilayah bukan daerah yang sedikit, tidak boleh ada yang dirugikan dan harus ada kompetisi yang sehat dan demokratis," pungkasnya.

Terkait dengan polemik calon tunggal ini, Komisioner KPU Sigit Pamungkas mengungkapkan bila lembaganya bersikap pasif dan tegak lurus terhadap aturan perundang-undangan yang ada.

"Sampai saat ini KPU hanya menjalankan apa yang diperintahkan oleh undang-undang. Permasalahan Perppu itu di luar kewenangan KPU, dan diserahkan kepada pemerintah dan DPR untuk membahasnya," ujarnya kepada gresnews.com. (Lukman Al HAries)

BACA JUGA: