JAKARTA, GRESNEWS.COM - Tahapan pilkada serentak yang akan dilaksanakan pada tanggal 9 Desember mendatang ternyata tidak berjalan mulus. Hingga masa pendaftaran calon kepala daerah ditutup pada Selasa (28/7) kemarin, banyak daerah yang hanya memiliki calon tunggal. Bahkan ada daerah yang tidak ada satupun calon kepala daerah yang mendaftar.

Komisi Pemilihan Umum sendiri telah mengumumkan dari 269 daerah yang mengadakan pilkada serentak pada tanggal 9 Desember mendatang, ada 15 daerah yang masih bermasalah. Satu daerah, yaitu Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, Sulawesi Utara malah tidak ada satu pun calon kepala daerah yang mendaftar.

Komisioner KPU Hadaf Nafis Gumay menjelaskan, tidak adanya pasangan calon yang mendaftar untuk kabupaten ini disebabkan sikap saling tunggu diantara pasangan yang ada. "Pasangan calon sudah menginfokan akan datang ke kantor KPU, tapi dia tidak mau mendaftar kalau pasangan calon satunya tidak mau daftar," kata Hadar di kantornya, Jl Imam Bonjol, Jakpus, Kamis (30/7).

Dia menjelaskan, keduapasangan itu secara administratif telah memenuhi syarat jumlah dukungan untuk mendaftarkan diri KPU. Hanya saja entah kenapa kedua pasangan ini malah saling tunggu sehingga tak satupun yang akhirnya mendaftar.

Yang unik, kedua pasangan yang tak jadi daftar itu sama-sama kader Partai Amanat Nasional. "Ini unik dan apa yang mau mereka lakukan pada daerah ini. Kami berharap jangan daerah dibiarkan pada situasi yang nanti tidak jelas kalau Pilkadanya harus menunggu sampai 2017," kata Hadar.

Akibat belum ada yang mendaftar itu, KPU membuka kembali masa pendaftaran perpanjangan pada tanggal 1-3 Agustus. Harapannya keduanya mau mendaftarkan diri tanpa harus saling menunggu. "Kalau mau daftar barengan, ya datanglah bareng. Nanti disiapkan meja terpisah. Nggak usah main tunggu-tungguan," ucap Hadar.

Sementara itu, 14 daerah yang lain memiliki problem yang tak kalah pelik dalam pilkada kali ini yaitu hanya memiliki satu pasangan calon yang mendaftar alias calon tunggal. Daerah-daerah itu adalah Kota Tidore Kepulauan, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Pegunungan Arfak, Kabupaten Blitar, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Minahasa Selatan, Kabupaten Timur Tengah Utara, Kabupaten Serang, Kota Surabaya, Kabupaten Asahan, Kabupaten Pacitan, Kota Mataram, dan Kota Samarinda.

Terkait masalah ini, Komisioner KPU Sigit Pamungkas menerangkan, KPU telah mengeluarkan surat edaran kepada daerah-daerah tersebut. KPU memerintahkan kepada KPUD setempat untuk melakukan sosialisasi kembali selama tiga hari kemudian pada tanggal 1 Agustus nanti akan dibuka pendaftaran kembali selama tiga hari.

KPU, kata Sigit, juga memerintahkan agar KPUD menata jadwal tahapan pilkada untuk menyesuaikan dengan adanya masa perpanjangan pendaftaran tersebut. Tujuannya agar pilkada di daerah yang masih bermasalah tetap bisa dilaksanakan pada tanggal 9 Desember.

"Kalau dalam masa pendaftaran tersebut masih hanya terdapat satu calon, maka pilkada di daerah mau tidak mau sesuai dengan PKPU, akan diundur ke tahun 2017 mendatang," kata Sigit kepada gresnews.com, Kamis (30/7).

Bagi Sigit fenomena ini memang tidak menyehatkan bagi kualitas demokrasi yang ada di daerah tersebut. Alasannya, masyarakat jadi tidak punya alternatif pilihan-pilihan dalam memilih pemimpin di daerahnya.

"Yang menjadi pertanyaan besar adalah kenapa partai politik tidak mengajukan calon? Apakah mereka mengalami kelangkaan kader yang mampu bertanding dengan kandidat yang lain, atau sama sekali tidak punya kader, atau tidak punya koalisi? Atau sebab-sebab lain? Posisi KPU dalam hal ini adalah pasif karena hanya memfasilitasi pendaftaran calon saja," kata komisioner yang juga menjadi dosen di Universitas Gadjah Mada ini.

Sigit menegaskan, fenomena calon tunggal ini bukan fenomena khas pilkada serentak, karena menurutnya pada penyelenggaraan pilkada sebelumnya juga terdapat fenomena calon tunggal. Tetapi karena ini diadakan serentak maka fenomena ini jadi terlihat besar.

FENOMENA CALON TUNGGAL MASIH BISA TERJADI DI TAHAP BERIKUT - Fenomena munculnya calon tunggal di pendaftaran ini diperkirakan masih bisa terjadi di tahap berikutnya. Sigit mengingatkan potensi untuk munculknya calon tunggal pada tahap lanjuta pasca pendaftaran cukup besar.

Kemungkinan itu bisa saja terjadi saat di satu daerah hanya ada dua pasangan calon yang mendaftar. Kemudian di tahap verifikasi syarat calon, jika ada satu pasangan tak lolos, maka otomatis yang tinggal hanya satu pasangan calon alias calon tunggal.

"Boleh jadi pada titik itu nanti ada peluang juga terciptanya calon tunggal karena tidak lolos syarat calon untuk melaju ke tahapan berikutnya," ujar komisioner bidang SDM, Sosialisasi dan Pendidikan Pemilih ini.

Kalau ada kejadian seperti ini, kata Sigit, KPU sudah mengantisipasi untuk menunda tahapan selama 10 hari dan membuka pendaftaran baru selama tiga hari lagi.

Selain di tahap verifikasi, pada tahap akhir pun yaitu, saat calon kepala daerah ditetapkan dan ada lebih dari satu pasangan calon, peluang munculnya calon tunggal pun masih bisa terjadi. Misalnya, kata Sigit, jika ada pasangan calon yang kepersertaannya di dalam pemilihan dibatalkan karena sanksi administratif.

"Kalau ini terjadi maka akan ditunda 2017, karena persipan proses pemilihan sudah tidak bisa diundur lagi," ujarnya.

Peluang calon yang sudah ditetapkan untuk terkena sanksi administratif, kata Sigit, bisa terjadi pada calon petahana. Misalnya, calon incumbent sejak ditetapkan dia melakukan mutasi atau membuat program yang mengunakan dana APBD. Atau bila pasangan calon ada yang beriklan di media massa cetak atau elektronik karena KPU melarang hal tersebut sebab kampanye untuk jenis itu sudah ditanggung oleh KPU.

"Atau yang bersangkutan terbukti melakukan politik uang atau membeli "perahu" dalam pencalonan itu juga akan dibatalkan kepersertaannya," katanya.

Atau bisa juga lantaran calon atau pasangan calon mengeluarkan dana kampanye melampaui batas maksimal yang dikeluarkan oleh KPU. Atau dia terbukti menerima sumbangan dari pihak yang terlarang, atau terlambat menyampaikan laporan dana akhir kampanye.

"Bila ada pasangan calon yang dibatalkan kepersertaanya dalam pilkada dan hanya menyisakan calon tunggal dalam pemilihan tersebut, maka pilkada akan ditunda sampai tahun 2017 mendatang," pungkas Sigit.

MUNCUL KARENA LOGIKA EKONOMI KALAHKAN LOGIKA DEMOKRASI - Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggarini menyebutkan bila calon tunggal muncul karena dua hal. Pertama ada kandidat yang punya eletabilitas kuat secara politik jadi kandidat ini diantara partai sehingga mampu menpatakan dukungan mayoritas dari partai politik.

"Dari data yang kami dapatkan itu di Asahan sampai 80 persen, Serang 70 persen, Purbalingga 60 persen. Memang partai lain bisa mengusung calon tapi bila ditotal suaranya tinggal 20-30 persen saja. Tapi belum tentu partai sisanya ini sepakat berkoalisi secara idelogi," ujarnya kepada gresnews.com, Kamis (30/7).

Kemungkinan kedua adalah kalau ada kandidat yang dirasa elektabilitasnya dianggap kuat baik dan kinerja dan rekam jejaka baik sehingga sulit untuk dilawan. Karena sulit untuk dilawan, maka parpol saingan cenderung membajak atau menjegal dengan tidak mengajukan calon.

"Bukan karena tidak punya kader karena berdasarkan kalkulasi pemenangan cenderung sulit sehingga tidak mengajukan calon lawan," ujar Titi.

Titi mengatakan, partai memang tidak dilarang untuk berkolaisi dalam pilkada tapi fenomena ini menujukkan adanya defisit kaderisasi dan identitas ideologi partai. Kalau memang pilkada sebagai tempat berebutan kekuasaan berbasis kepentingan kelompok di dalam partai, kepentingan anggota dan idelogi maka pilkada adalah momen memperjuangkan hal itu.

"Di negara luar sekuat apapun petahana, pasti akan ada lawannya. Karena ini soal representasi dan ideologi politik partai," katanya.

Sayangnya saat ini, kata Titi, rekrutmen politik dilakukan secara tergesa-gesa dan tidak dilakukan kaderisasi. "Kita sudah tahu akan menghadapi pilkada dan ada petahana atau kandidat yang popularitasnya sangat kuat. Partai juga harusnya akan merekrtut dan mengkader kader yang sama kuat dan sama baik. Tidak terburu-buru tetapi melewati proses. Sekarang koalisi dibangun secara instan tidak berbasis ideologi tapi hanya keinginan menang semata," kata Titi.

Titi menilai, munculnya calon tunggal ini sangat dipengaruhi sikap partai yang lebih mengedepankan "logika ekonomi" ketimbang "logika politik". "Karena proses pilkada dihitung dengan logika untung rugi karena bila maju pun diatas kertas sudah kalah, maka untuk apa mengajukan calon tandingan," ujar Titi.

Sementara itu, Direktur riset Polmark Indonesia Eko Bambang Subiantoro mengatakan, dalam konteks ini, menurut dia, parpol bersikap seperti perusahaan yang enggan "berinvestasi" jika sudah jelas bakal kalah alias "rugi".

"Partai politik seenaknya saja bisa meninggalkan, karena ngapain mencalonkan karena sudah pasti kalah. Karena transaksi politik logikanya kenapa harus keluar uang besar bila ternyata hanya akan kalah. Ini pasti berpikiran secara ekonomis. Dan tidak menghargai dari subtansi demokrasi. Partai politik yang ragu-ragu ini tidak punya jago, dan hitungan-hitungan transaksi kalah pasti berpikir tidak usah dilawan. Kita kekurangan simbol perlawanan," ujar Eko kepada gresnews.com.

KEGAGALAN PARTAI POLITIK - Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis menganggap, fenomena maraknya calon tunggal di pilkada ini merupakan kesalahan partai politik. Dia menegaskan, partai politik gagal menyiapkan calon-calon pemimpin.

"Bagaimana bisa semua partai berkumpul di satu kandidat dan itu bukan kader mereka? Ini bertentangan dengan logika pembentukan partai," ujarnya kepada gresnews.com.

Margarito mengingatkan bahwa sejatinya orang membangun partai itu karena ingin memegang kendali pemerintahan. Karena itu mereka menyiapkan orang-orangnya untuk memegang kendali itu.

"Bagaimana mungkin tidak ada sama sekali orang yang bisa dicalonkan padahal mereka mengklaim punya ratusan pengurus di desa kabupaten dan provinsi. Mereka itu apa semua kalau begitu," ujarnya.

Bagi Margarito tidak masuk logika, bila partai tidak satu pun mempersiapkan pemimpin. "Mereka ingin mengangkangi perpolitikan dengan menjadikan mereka menjadi urgen sebagai basis kehidupan bangsa dan bernegara tetapi ternyata mereka gagal menunaikan kewajiban-kewajiban. Itu karena mereka memikirkan ekonomi tadi ya begini jadinya. Kalau gagal menyiapkan pemimpin lalu mereka itu sekumpulan apa?" sindir Margarito.

Senada dengan Margarito, Eko Bambang Subiantoro menyarankan agar diciptakan mekanisme pemilihan yang membuat partai-partai politik mau mengusung calon lainnya. "Kalau sampai tidak ada yang mendaftar ya calon tunggal ini harus diakomodasi oleh sistem pemilihan yang misalkan dia diberikan maju kalau mendapat suara 15 persen saja dia sudah terpilih. Dengan demikian, partai politik tidak membiarkan calon ini berdiri sendiri," ujarnya.

Sementara itu, Titi Anggraini menyarankan agar kekosongan hukum ini segera ditindaklanjuti lewat penerbitan Perppu. Bagi Perludem, kata Titi, kondisi ini sudah memenuhi syarat yang menciptakan keadaan darurat bagi daerah yang mengalami krisis kepemimpinan definitif kalau ditunda sampai tahun 2017.

CALON TUNGGAL PILKADA JALAN TERUS - Jika fenomena calon tunggal ini marak, Titi menyarankan agar tahapan Pilkada dihentikan terlebih dahulu. Lalu di buka pendaftaran tidak hanya bagi calon dari partai tapi calon dari perseorangan. "Berarti tidak bisa serentak di 2015 tapi hanya mundur satu sampai dua bulan di tahun 2016," ujarnya.

Atau Titi memberikan pilihan kedua. Bila memang setelah ada upaya, namun tetap tunggal, pemilihan tetap bisa dilanjutkan tetapi dengan melawan bumbung kosong atau kertas kosong di sebelahnya. "Ini tetap demokratis karena sudah ada usaha sebelumnya. Sebab kalau sampai menunda di 2017 itu belum menjawab akar permasalahannya karena hanya menunda keadaan dimana itu bisa terjadi lagi," ujarnya.

Sementara menurut Eko, sebaiknya pilkada memang jalan terus meski hanya ada calon tungga. Alasannya itu sebagai penghormatan tinggi masyarakat kepada mereka yang sudah berhasil memimpin karena yang calon tunggal itu kebanyakan adalah incumbent.

"Sebenarnya ini suatu yang positif dari kinerja pemerintah dihadapan publik. Namun undang-undang belum dapat mengantisipasi hal ini sehingga menyebabkan kondisi yang tidak fair yang harus diterima incumbent kalau mereka sampai tidak tampil di dalam pilkada, karena persoalan teknis yang detail ini tidak bisa dipikirkan oleh undang-undang. Konsekuensi dari tidak punya lawan, jangan malah digugurkan," ujarnya.

Eko mengungkapkan incumbent saja tidak cukup melahirkan calon tunggal, melainkan incumbent yang memiliki kinerja yang baik selama dia menjabat di pemerintahan. Eko mencontohkan di Kabupaten Sumenep meskipun calon incumbent-nya kuat tetap ada calon tandingan, karena kinerjanya dianggap tidak memuaskan publik Sumenep.

"Di Sumenep kuat tapi ada yang melawan karena ada desakan dari masyarakat karena kinerja kepadala daerah tersebut tidak bagus," ujarnya.

Sementara itu, Wakil Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia Girindra Sandino mengatakan, terkait fenomena calon tunggal ini, sebaiknya jika sampai waktu ditentukan belum juga ada dua pasangan calon, Pilkada dengan calon tunggal di daerah tersebut diteruskan.

"Wacana aklamasi patut mendapat tempat. Hal ini menghindari skenario politik adanya ´calon boneka´ hasil rekayasa yang merupakan penghinaan terhadap demokrasi," katanya dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Kamis (30/7).

Menurut dia, esensi demokrasi tidak harus dengan kontestasi elektoral. Proses penjaringan calon kepala daerah sudah merupakan bagian dari demokrasi itu sendiri karena melibatkan masyarakat. Dukungan kuat terhadap calon kepala daerah yang menghasilkan calon tunggal tidak terlepas dari aspirasi masyarakat serta kondisi obyektif yang mengkhendaki demikian.

Girindra menegaskan, pengunduran penyelenggaraan Pilkada pada tahun 2017 pada daerah yang memiliki calon tunggal secara tidak langsung mengurangi hak pilih pasangan calon kepala daerah tersebut oleh karena merugikan secara politik calon kepala daerah yang akan maju di daerah bersangkutan.

"Pasangan Calon kepala daerah tersebut bisa jadi akan kehilangan momentum politik atau konstelasi politik akan berubah alias tidak sama dengan tahun 2017," ujarnya.

Dia mengatakan, dalam konteks calon tunggal ini, dengan pemilihan secara aklamasi, pemerintahan lokal di daerah bersangkutan akan berjalan ekfektif. Mundurnya penyelenggaraan pilkada pada periode berikutnya, kepemimpinan daerah tersebut otomatis akan diganti dengan Pelaksana Tugas (Plt) sementara.

"Pertanyaannya adalah Pejabat Plt sementara tersebut tidak mewakili siapa-siapa juga lemah legitimasinya. Hal ini akan mempersulit dalam mengambil kebijakan-kebijakan strategis di daerah itu," ujarnya.

Untuk payung hukum masalah ini, kata Girindra, jika peraturan KPU (PKPU) tidak memadai dalam mengakomodasi pemilihan aklamasi calon tunggal di pilkada serentak saat ini, Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) menjadi jalan sebagai payung hukum untuk mengatasi persoalan calon tunggal.

TAK MUNGKIN TERBITKAN PERPPU AKOMODIR CALON TUNGGAL - Terkait wacana penerbitan Perppu, sebelumnya DPC PDIP Kota Surabaya menyarankan agar pilkada Surabaya tetap berlanjut meskipun calonnya hanya tunggal yaitu pasangan incumbent Risma dan Wisnu. Mereka berniat menggugat KPUD lewat PTUN bila menunda pilkada hingga tahun 2017.

DPC PDIP Surabaya juga mendesak presiden untuk mengeluarkan Perppu. Dalam Perppu tersebut DPC PDIP menyarankan agar praktik pemilihan dengan metode bumbung kosong atau memilih kotak kosong bisa dijadikan acuan pemerintah tentang isi Perppu yang akan diterbitkan. Praktik seperti ini biasa dipakai dalam pemilihan kepala desa jika hanya ada calon tunggal.

Terkait masalah ini, Sigit pamungkas mengatakan, penundaan pilkada jika hanya ada calon tunggal adalah konsekuensi logis dalam kewenangan KPU. "Tidak mungkin bagi KPU membuat mekanisme sistem pemilihan pemimpin baru, karena ranah itu menerjemahkan undang-undang," ujarnya.

Pilkada serentak sudah dirumuskan dalam undang-undang pada tahun 2017, 2018 dan 2020. Kalau KPU membuat desain di luar undang-undang maka sudah di luar kewenangannya. "Itu ranah pemerintah dan DPR. Karena KPU hanya menjadi pelaksana undang-undang. Maka dengan melihat kewenangan yang ada maka menunda sampai ada lebih dari satu calon adalah satu-satunya pilihan saat ini," ujarnya.

Karena itu, menurut Sigit, dalam tahapan pemilihan ini akan ada pada satu titik di mana masa pandaftaran tidak mungkin lagi untuk diperpanjang karena harus ada ruang dan waktu pengadaan logistik, masa kampanye dan lain-lain jadi tidak mungkin diperpanjang terus menerus.

"Maka pilihannya menunda sampai tahun 2017. KPU tidak punya kewenangan untuk merumuskan alternatif sistem ketika sistem yang diatur undang-undang tidak berjalan. Kecuali KPU diberi madat untuk itu," ujar Sigit.

Untuk usulan mengenai Perppu, Sigit menyerahkannya kepada pemerintah dan DPR. Menurutnya KPU sekarang hanya menjalankan apa peraturan yang sudah tercantum di dalam undang-undang. Dia hanya mengimbau partai-partai untuk mendaftarkan calonnya agar tidak terjadi calon tunggal.

Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis mendukung argumentasi tersebut, menurutnya peraturan KPU yang lebih memilih menunda pilkada hingga tahun 2017 merupakan opsi yang paling masuk akal sehat secara hukum dan demokarasi. "Tidak ada masalah dengan peraturan KPU, itu sah secara tata negara. Soal keserentakan itu bukan perintah konstitusi. Kalau sudah diberi kesempatan masih tidak ada calon. Pilihan paling masuk akal memang memundurkan apa boleh buat," ujarnya.

Bagi Margarito yang tidak masuk akal justru saran untuk melawan bumbung kosong atau kardus kosong. Karena menurutnya kardus itu bukan subyek hukum sehingga tidak bisa melakukan tindakan hukum seperti ikut pemilihan Pilkada.

Berbeda dengan partai yang memang dibentuk sebagai badan hukum. "Yang tidak masuk akal kalau dilawan dengan kardus kosong untuk dilawankan dengan sang calon tunggal. Itu konyol. Itu memang sebuah kreasi tapi tidak ada nalarnya. Karena kardus kosong bisa dijadikan sebagai subyek hukum. Itu berbeda dengan parpol yang dijadikan badan hukum itu logis, kalau kardus itu apa?" ujar Margarito.

Margarito tidak yakin baik gugatan di PTUN atau penerbitan Perppu akan memuluskan jalan bagi pemilihan dengan calon tunggal. Tidak ada satu pun alasan secara hukum yang membenarkan pemilihan terus berlangsung dengan hanya ada calon tunggal. Menurut Margarito itu bukan lagi pilkada tetapi penetapan.

"Tidak ada nalarnya, bagaimana bisa memilih kalau calonnya cuma satu. Ini namanya demokrasi akal-akalan kalau penetapan kita ini sudah tidak punya akal sehat kalau begitu. Memilih itu minimal harus ada dua," ujarnya. (Gresnews.com/Lukman Al Haris/dtc)

BACA JUGA: