Oleh: Teguh Nirmala Yekti *)

Tidak lama lagi pada bulan Desember 2015, Komisi Pemilihan Umum akan menyelenggarakan hajatan nasional yaitu pemilihan gubernur, bupati, dan walikota dalam pemilihan kepala daerah serentak gelombang pertama yang akan dilaksanakan pada 9 Desember 2015. Gelombang pertama dilaksanakan untuk kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memasuki akhir masa jabatan (AMJ) 2015 dan semester pertama 2016.

Kemudian dilanjutkan dengan gelombang kedua yang dilaksanakan pada Februari 2016 untuk AMJ semester kedua tahun 2016 dan seluruh daerah yang AMJ jatuh pada 2017. Mekanisme pemilihan serentak ini merupakan yang pertama kali di Indonesia, bahkan di dunia. Indonesia patut dicatat dalam sejarah demokrasi dunia karena tercatat ada 269 daerah terdiri atas 9 provinsi, 36 kota, dan 224 kabupaten yang serentak memilih kepala daerah. Artinya, sekitar 53 persen dari total 537 jumlah provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia akan melaksanakan pilkada serentak gelombang pertama (Husni Kamil Manik : 2015).

Oleh karena itu, banyaknya calon kepala daerah yang akan dipilih masyarakat di daerahnya masing-masing untuk dipilih sebagai pemimpin daerah harus menjadi perhatian bagi masyarakat untuk ditelaah lebih jauh, apakah calon kepala daerah yang akan dipilihnya nanti merupakan sosok pemimpin yang mampu membawa kemajuan bagi daerahnya atau tidak. Pertanyaan seputar kapabilitas dan integritas calon kepala daerah tentunya akan muncul dibenak masyarakat sebagai pemilih, mengingat pelbagai fakta yang telah banyak diungkap di media pers mengenai pemberitaan kepala daerah yang terjerat kasus hukum berkenaan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukannya.

Seperti data yang dilansir oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dalam siaran pers Kemendagri yang menyatakan ada 343 kepala daerah yang berperkara hukum baik di kejaksaan, kepolisian, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebagian besar karena tersangkut masalah pengelolaan keuangan daerah. Dengan melihat ulasan di atas, maka permasalahan yang dapat dikemukakan di sini adalah apakah dalam pelaksanaannya UU Pilkada masih dapat menghasilkan kepala daerah yang kompeten, kapabel, dan berintegritas atau dengan kata lain sosok kepala daerah yang mumpuni? Dan bagaimanakah solusi pragmatis dari permasalahan saat ini untuk menemukan sosok calon kepala daerah yang mumpuni?

Dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang pernah berlaku dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2014, Indonesia mulai mengenal pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dipilih oleh masyarakat. Dalam ketentuan Pasal  58 diatur mengenai syarat-syarat calon kepala daerah dan wakil kepala daerah misalnya: bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; setia kepada Pancasila dan UUD 1945; sehat jasmani dan rohani; tidak pernah dipidana yang ancamannya 5 tahun atau lebih dan lain-lain.

Ketentuan Pasal 58 tersebut mengatur syarat-syarat untuk maju sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya sebagai formalitas hukumnya saja. Artinya dalam pengaturan persyaratan kepala daerah untuk dipilih secara langsung terlihat hanya sebagai basa-basi secara hukum dan tidak ada klausul syarat untuk menghasilkan calon kepala dan wakil kepala daerah kapabel, kompeten, dan berintegritas.

Berdasarkan ketentuan persyaratan tersebut, banyak pasangan calon yang bisa lolos untuk dipilih dalam pilkada langsung selama diberlakukannya UU No. 32 tahun 2004. Namun harus disadari bahwa pengaturan yang formalitas tersebut mengakibatkan pasangan calon yang lolos sebagai peserta resmi pilkada tidak menjamin bahwa pasangan calon yang akan dipilih masyarakat merupakan pasangan calon kapabel, kompeten, dan berintegritas.

TAK ADA PERUBAHAN SIGNIFIKAN - Dalam perkembangannya kemudian, UU No.32 Tahun 2004 diganti dengan UU No. 1 Tahun 2015 jo. UU No. 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Dalam beleid baru ini juga diatur persyaratan bagi untuk maju sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam ketentuan Pasal 7.

Syarat-syarat itu sejatinya tidak ada yang berbeda dari syarat yang ditetapkan dalam Pasal 58 UU No. 32/2004. Syarat yang ditetapkan dalam beleid baru ini juga hanya mengatur syarat formal saja semisal: tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian; menyerahkan daftar kekayaan pribadi; tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara; dan tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Jikapun ada yang baru itu menyangkut permasalahan seperti: memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Bupati, dan Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota; belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Bupati, dan Walikota untuk Calon Wakil Gubernur, Calon Wakil Bupati, dan Calon Wakil Walikota; berhenti dari jabatannya bagi Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota yang mencalonkan diri di daerah lain sejak ditetapkan sebagai calon; dan tidak berstatus sebagai penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota; serta tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.

Dari situ kelihatan kalau ketentuan persyaratan Pasal 7 yang merupakan rumusan pengganti dari Pasal 58 UU No. 32 tahun 2004 tidak membuat perubahan yang siginifikan yang semestinya mengatur lebih banyak tentang sosok calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Meski begitu toh, tetap saja muncul fenomena beberapa kepala daerah yang inovatif seperti Wali Kota Tarakan Jusuf Serang Kasim, Bupati Blitar Djarot Saiful Hidayat, Bupati Jombang Suyanto, Bupati Bantaeng Nurdin Abdullah, Bupati Banyuwangi H. Abdullah Azwar Anas, Wali Kota Bandung M. Ridwan Kamil, Gubernur Sumatera Selatan H. Alex Noerdin dan lain-lainnya.

Penulis berpendapat, pertama, bahwa terpilihnya beberapa kepala daerah yang mumpuni seperti mereka merupakan suatu fenomena kebetulan belaka bahwa ada beberapa orang yang mumpuni seperti mereka diajukan oleh masyarakat atau partai politik sebagai calon kepala daerah dan terpilih. Kedua, karena ketentuan Pasal 58 UU No. 32 tahun 2004 dalam pelaksanaannya persyaratan tersebut tidak berbanding lurus dengan harapan munculnya kepala daerah yang mumpuni (inovatif, kapabel, dan berintegritas) sehingga kepala daerah yang terpilih belum tentu terjamin kualitasnya.

Ketiga, ketentuan  UU No. 1 Tahun 2015 jo. UU No. 8 Tahun 2015  yang merupakan undang-undang penggantian dari UU No. 32 tahun 2004 kurang signifikan dalam mengatur persyaratan untukmaju menjadi kepala daerah sehingga dapat diprediksi dalam pilkada serentak yang dimulai pada tanggal 9 Desember 2015, calon yang terpilih sebagai kepala daerah kualitasnya sama dengan yang dihasilkan dari pelaksanaan UU No. 32 tahun 2004.

MASIH ADA HARAPAN - Dalam UU No. 1 tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Pilkada menjadi undang-undang, sempat muncul klausul tentang uji publik. Menurut Pasal angka 2, Uji publik adalah pengujian kompetensi dan integritas yang dilaksanakan secara terbuka oleh panitia yang bersifat mandiri yang dibentuk oleh Komisi Pemilihan Umum Provinsi atau Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota, yang hasilnya tidak menggugurkan pencalonan.

Selanjutnya diatur dalam persyaratan bahwa bakal calon kepala daerah harus mengikuti proses uji publik sebelum ditetapkan sebagai calon kepala daerah oleh KPU provinsi, kabupaten, dan Kota. Sangat disayangkan dalam proses pembentukan UU No. 8 Tahun 2015 tentang perubahan  UU No. 1 Tahun 2015, seluruh ketentuan uji publik dihapuskan.

Lemahnya ketentuan persyaratan dan hapusnya ketentuan uji publik dalam UU Pilkada bukan berarti harapan akan munculnya kepala daerah yang mumpuni menjadi hilang. Walaupun kepala daerah yang terpilih pada pilkada serentak Desember 2015 para calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang lolos persyaratan dianggap hanya mempunyai kualifikasi rata-rata atau sama dengan kualitas masyarakat kebanyakan, namun ada aturan yang menjamin kepala daerah bisa bertindak inovatif dalam membangun daerah.

Ada dua undang-undang yang dapat dijadikan acuan dan dasar hukum bagi kepala daerah untuk melaksanakan program kerjanya dengan maksimal dengan membuat terobosan-terobosan yang inovatif yakni UU No. 23 tahun 20014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 30 tahun 2014 tentang Adminitrasi Pemerintahan.

Dalam UU No. 23 tahun 20014 tentang Pemerintahan Daerah terdapat klausul BAB XXI tentang inovasi daerah dari Pasal 386-390. Dalam ketentuan Pasal 386 disebutkan bahwa dalam rangka peningkatan kinerja penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pemerintah Daerah dapat melakukan inovasi berupa semua bentuk pembaharuan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

Selanjutnya ketentuan Pasal 387 mengatur bahwa dalam merumuskan kebijakan inovasi, Pemerintahan Daerah mengacu pada prinsip: a. peningkatan efisiensi; b. perbaikan efektivitas; c. perbaikan kualitas pelayanan; d. tidak ada konflik kepentingan; e. berorientasi kepada kepentingan umum; f. dilakukan secara terbuka; g. memenuhi nilai-nilai kepatutan; dan h. dapat dipertanggungjawabkan hasilnya tidak untuk kepentingan diri sendiri.

Dan dalam ketentuan Pasal 388 diatur bahwa inisiatif inovasi dapat berasal dari kepala daerah, anggota DPRD, aparatur sipil negara, Perangkat Daerah, dan anggota masyarakat. Dan yang terakhir dalam ketentuan Pasal 389  mengatur bahwa dalam hal pelaksanaan inovasi yang telah menjadi kebijakan     Pemerintah Daerah dan inovasi tersebut tidak mencapai sasaran yang telah ditetapkan, aparatur sipil negara tidak dapat dipidana.    

UU No. 30 tahun 2014 tentang Adminitrasi Pemerintahan mengatur bahwa pembuat keputusan tidak mudah dikriminalisasi yang melemahkan mereka dalam melakukan inovasi pemerintahan. Undang-undang ini juga mengamanatkan agar badan atau pejabat pemerintahan tidak mengambil keputusan atau tindakan sewenang-wenang.

Undang-undang ini memuat kejelasan jenis kewenangan atribusi, delegasi, dan mandat, kejelasan tanggung jawab terhadap kewenangan agar terdapat kejelasan tanggung jawab dan tanggung gugat terhadap pelaksanaan kewenangan. Selain itu, undang-undang ini mengatur larangan penyalahgunaan wewenang, sehingga badan atau pejabat pemerintahan dalam membuat keputusan atau tindakan sesuai dengan batas kewenangan yang dimiliki.

Terkait dengan diskresi, UU Adminitrasi Pemerintahan memberikan keleluasaan pengambilan keputusan dan tindakan berdasarkan pertimbangan pejabat dengan tujuan untuk mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu, guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Serta diatur pula upaya dan sanksi administratif untuk memberikan kejelasan dan kepastian hukum kepada masyarakat dalam mengajukan upaya administratif (Eko Prasojo: 2014).

Pilkada serentak yang akan berlangsung pada Desember 2015 semestinya tidak perlu disikapi dengan pesimis dan seolah hilang harapan akan hadirnya kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mumpuni dalam menyelesaikan permasalahan di daerah dan sigap dalam membuat terobosan inovatif dalam program pelayanan maupun pembangunan di daerah.

Hadirnya ketentuan inovasi daerah dalam UU No.23 tahun 2014 dan UU No. 30 tahun 2014 tentang Adminitrasi Pemerintahan yang mengatur inovasi maupun diskresi bagi pejabat merupakan acuan dan cambuk bagi kepala daerah dan wakilnya untuk memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat pemilih di daerahnya.

*) Penulis adalah Perancang Undang-Undang pada Sekretariat Jenderal DPR-RI.

BACA JUGA: