JAKARTA-Upaya Polri menegakkan hukum atas dugaan pelanggaran protokol kesehatan yang mengiringi kepulangan dan safari dakwah Muhammad Rizieq Shihab (MRS) pada November lalu, menimbulkan kontroversi lanjutan. Selain pembangkangan hukum dengan tidak menghadiri panggilan Polri dan menghalang-halangi anggota Polri menjalankan tugasnya (obstruction of justice), MRS juga menebarkan kecemasan baru potensi penyebaran Covid-19 dengan kabur dari Rumah Sakit UMMI dengan kondisi yang belum jelas, apakah positif atau negatif Covid-19.

Peristiwa terbaru, penembakan terhadap enam orang pengikut MRS oleh anggota Polri pada Senin (7/12) dini hari telah menjadi kontroversi baru. Di satu sisi Polri memaparkan alasan obyektif adanya ancaman terhadap jiwa manusia anggota Polri sebagai pembenaran atas tindakan represif yang dilakukan anggotanya.

"Di sisi lain, penggunaan senjata api oleh Polri dalam mengatasi peristiwa tertentu, tetap harus mengacu pada prosedur-prosedur yang ketat dan harus dapat dipertanggung-jawabkan," kata Ketua SETARA Institute Hendardi kepada Gresnews.com, Senin (17/12/2020).

Ia menjelskan hal itu sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dan Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara RI.

Menurut Hendardi tertembaknya enam orang warga sipil tentu menjadi keprihatinan dan tidak seharusnya terjadi. Tetapi jika betul senjata-senjata yang ditunjukkan Kapolda Metro Jaya dan Pangdam Jaya adalah senjata milik anggota FPI, maka pembelaan Polri atas jiwa anggotanya yang terancam bisa diterima.

Namun demikian, untuk memenuhi standar yang diterapkan dalam Perkap 8/2009 tersebut, Polri harus melakukan evaluasi pemakaian senjata api oleh anggotanya. Kapolri dapat memerintahkan Divisi Pengamanan Profesi dan Pengamanan (Propam) untuk melakukan evaluasi atas fakta-fakta yang menjadi alasan pembenar penggunaan senjata api.

"SETARA Institute juga mendorong agar MRS kooperatif memenuhi panggilan Polri dalam pemeriksaan dugaan pelanggaran protokol kesehatan termasuk kasus-kasus lain yang mangkrak dan melibatkan dirinya sebelum menetap di Arab Saudi," katanya.

Pembangkangan MRS atas upaya penegakan hukum dan kapitalisasi kharisma dirinya sebagai habib telah memicu kepatuhan buta beberapa orang pengikutnya yang merasa dirinya syahid saat membela MRS. 

Ia mengingatkan bahwa jika benar senjata api yang ditunjukkan oleh Polri adalah milik anggota FPI, mereka bukanlah syuhada sebagaimana klaim FPI tetapi pengikut buta yang dijadikan martil oleh MRS dan elit FPI untuk memupuk simpati.

"Mereka telah memiliki senjata api secara ilegal dan ditujukan untuk menghalang-halangi penegakan hukum. Oleh karenanya tindakan mereka merupakan kejahatan," ujarnya.

Hendardi mendorong Polri terus melakukan tindakan hukum yang tegas, terukur dan akuntabel menangani berbagai tindak pidana yang dilakukan anggota-anggota organisasi pengusung aspirasi intoleran, premanisme berjubah agama, dan elit-elit yang menjadi conflict entrepreneur di belakang mereka.

Sementara itu Sekretaris Umum Front Pembela Islam (FPI) Munarman menyebut insiden dengan polisi merupakan pembantaian atau extra judicial killing. "Itu adalah pembantaian, dalam bahasa hak asasi manusia itu disebut extra judicial killing," kata Munarman saat konferensi pers di Markas FPI, Petamburan, Jakarta Pusat, Senin (7/12).

Dia pun menyatakan pihak yang telah menyebabkan enam laskar pendukung Rizieq meninggal dunia harus bertanggung jawab.

Munarman melanjutkan, FPI dan keluarga korban belum diberikan akses untuk melihat enam jenazah laskar pendukung Rizieq tersebut hingga saat ini.

Munarman juga menyatakan pihaknya menjadi korban fitnah berkaitan dengan pernyataan polisi yang menyebut pihak FPI melakukan penyerangan terlebih dulu kepada aparat.  Polisi juga menyebut anggota FPI dalam bentrokan tersebut membawa sejumlah senjata tajam.

"Fitnah, ini luar biasa fitnah bahwa laskar lebih dulu menyerang," kata Munarman.

Munarman juga menyebut fitnah berkaitan kepemilikan senjata api. "Kalau betul cek nomor registernya. Pasti bukan punya kami. Karena kami gak punya akses senjata api dan gak mungkin membeli senjata gelap," ujar Munarman.

Sebelumnya, Ketua Umum FPI Ahmad Shabri Lubis membeberkan kronologi bentrokan yang terjadi antara pendukung Rizieq dengan aparat kepolisian di Tol Cikampek, tepatnya dekat Pintu Tol Karawang Timur.

Menurutnya, kejadian tersebut bermula saat Rizieq bersama keluarganya hendak menuju acara pengajian subuh yang digelar khusus keluarga inti di wilayah yang tak disebutkan namanya pada Senin dini hari.

"Bahwa semalam IB HRS [Imam Besar Habib Rizieq Shihab] dengan keluarga termasuk cucu yang masih balita, akan menuju tempat acara pengajian subuh keluarga, sambil memulihkan kondisi," kata Shabri dalam keterangan resminya.

Tiba-tiba, rombongan Rizieq itu diadang oleh orang tak dikenal di tengah perjalanan menuju lokasi. Ia menduga mereka merupakan bagian dari operasi penguntitan Rizieq.

Para preman orang tidak dikenal (OTK) yang bertugas operasi tersebut menghadang dan mengeluarkan tembakan kepada laskar pengawal keluarga.

Shabri mengatakan orang-orang yang menghadang rombongan itu melakukan penembakan dan penculikan terhadap satu mobil yang berisi enam orang laskar. Sampai saat ini, mereka yang diculik tersebut masih tak diketahui keberadaannya.

Sebelumnya, saat konferensi pers di Polda Metro Jaya, polisi menampilkan sejumlah barang bukti yang disebut diamankan dari para laskar FPI. Beberapa di antaranya dua senjata api, peluru, samurai, celurit, dan sejumlah senjata tajam lainnya.

Kapolda Metro Irjen Fadil Imran mengatakan senjata api yang digunakan oleh pendukung Rizieq itu adalah senjata asli. "Asli ini (senjata api)," kata Fadil kepada wartawan di Polda Metro Jaya, Senin (7/12).

Bentrokan itu terjadi di Jalan Tol Jakarta-Cikampek KM 50, Senin (7/12) sekitar pukul 00.30 WIB. Polisi mengklaim pihaknya lebih dulu diserang dalam peristiwa tersebut. (G-2)

 

BACA JUGA: