JAKARTA - Isu Partai Gerindra bergabung ke pemerintahan Jokowi-Maruf semakin menguat usai Ketua Umum Prabowo Subianto bertemu dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri beberapa waktu lalu. Kendati Gerindra belum memutuskan akan condong ke pemerintahan atau di luar pemerintahan, namun demi demokrasi, Gerindra sebaiknya berada sebagai pengontrol kekuasaan.

Pengamat politik dari Diksi Indonesia Sebastian Salang mengatakan menjadi oposisi dalam politik bukan soal kuat atau banyak sedikitnya kursi di parlemen. Sejatinya oposisi dibutuhkan oleh sebuah sistem politik bernama demokrasi. "Namun, di Indonesia tidak dikenal dalam UUD atau regulasi soal oposisi. Karena itu oposisi tidak mendapat tempat istimewa dalam politik kita," ujar pendiri Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) itu, kepada Gresnews.com, Jumat (26/7).

Dampaknya, lanjut Sebastian, partai politik di luar lingkaran kekuasaan tidak percaya diri dan tidak bangga mengambil peran oposisi. Meski begitu, dalam praktik politik di tanah air, kelompok oposisi itu ada dan cukup berperan walau belum maksimal. Hal itu sudah terjadi selama beberapa periode, termasuk dilakukan oleh Gerindra.

Menurut Sebastian, Gerindra punya pengalaman berada di luar kekuasaan dan mendapat efek elektoral cukup baik dengan pilihan politik itu. Hasil penelitian Formappi menunjukkan Gerindra cukup berpengaruh sebagai partai oposisi di DPR selama 2014-2019. Hal itu merupakan modal bagi Gerindra untuk berada di posisi oposisi saat ini.

Dalam lima tahun ke depan, lanjut Salang, Gerindra jauh lebih strategis berada di luar kekuasaan ketimbang masuk lingkaran pemerintahan Joko Widodo. Sebab, dengan menjadi kekuatan penyeimbang, bagi Gerindra merupakan kesempatan untuk merawat soliditas pendukungnya selama lima tahun. Sebaliknya jika bergabung maka beberapa pihak mendapat keuntungan, tetapi risiko ditinggalkan pendukungnya sangat besar. (G-02)

 

BACA JUGA: