JAKARTA - Posisi Partai Gerindra hingga kini masih menjadi teka-teki. Sebelumnya kencang bersuara keras pada pemerintahan Joko Widodo, kini mulai melunak dan lobi pun digelar. Kondisi mencair setelah Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto menemui seteru politiknya. Bahkan terakhir juga bertemu dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Dalam kesempatan itu, Megawati menegaskan tidak ada koalisi ataupun oposisi.

Wakil Ketua Umum Gerindra Arief Poyuono seolah hendak `menegaskan` sikap Gerindra tersebut. "Tidak ada oposisi dan parpol pemerintah," ucap Arief kepada Gresnews.com, Jumat (26/7).

Memang bila menilik semasa Reformasi ketika BJ Habibie (1998-1999) menggantikan Soeharto, peran partai oposisi belum nampak. Penyebabnya kondisi pemerintahan saat itu dalam masa transisi usai lengsernya Soeharto. Sedangkan di pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) (1999-2001), dapat disebut tak ada oposisi karena seluruh kekuatan politik nasional terserap dalam pemerintahan.

Seluruh partai besar dan menengah (PDIP, Partai Golkar, PAN, PKB, PPP, PBB, PKS, dan PKP) mendapatkan posisi dalam kabinet yang dipimpinnya bersama dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Keadaan berubah ketika Gus Dur mulai mengganti menteri dengan orang dekatnya. Beberapa partai berdiri menegaskan sebagai oposisi dan menggoyang kursi Gus Dur dengan sidang istimewa MPR.

Saat pemerintah dipegang oleh Megawati peran oposisi kembali meredup, partai-partai tidak secara tegas memposisikan dirinya sebagai oposisi. Meskipun, pemerintah Megawati juga kerap panen kritik. Barulah ketika zaman presiden dipilih langsung oleh rakyat, peran oposisi kembali terlihat. Yakni ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi presiden pertama yang dipilih langsung oleh rakyat. Pada masa kepemimpinan periode pertama, SBY kerap menerima kritik dari partai yang secara tegas memilih menjadi oposisi, yakni PDIP, yang dipimpin oleh Megawati, rivalnya dalam pemilihan presiden. (G-2)

 

BACA JUGA: