JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Pemilihan Umum secara resmi akan menggelar pemilihan kepala daerah serentak pada 9 Desember 2015. Sementara proses pendaftaran akan dimulai pada 26 Juli. Untuk masyarakat diminta mencermati masuknya para koruptor dalam pemilihan tersebut.   

Manajer Advokasi Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Apung Widadi, mewanti-wanti meski sudah bebas seorang terdakwa kasus korupsi tidak bisa mengajukan diri sebagai calon kepala daerah.  Hal ini sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada).

Pasal 45 huruf K menjelaskan syarat calon adalah tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih dari pengadilan negeri.

"Ketentuan itu merupakan syarat mutlak yang tidak dapat diganggu gugat walaupun masih dalam proses pencalonan," kata Apung kepada Gresnews.com, Kamis (30/4).

Sekalipun terpidana mendapat pengurangan hukuman menjadi di bawah lima tahun, setelah mengajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung misalnya. Koruptor tersebut tetap tidak bisa ditetapkan sebagai calon kepala daerah.

Alasannya, standar dalam UU Pilkada adalah dakwaan, bukan putusan. Namun kata Apung, dalam hal koruptor dapat maju lagi menjadi calon, Pasal 45 khusus kategorisasi dakwaan diatas lima tahun masih membuka ruang pengampunan dan permisif kepada koruptor. Dalam tahap ini, menurutnya, UU Pilkada belum memberikan efek jera kepada koruptor dan masih membuka ruang demokrasi untuk diisi orang-orang korup.

Sebab para koruptor, menurutnya, pasti mempunyai jaringan politik yang sangat kuat. Mulai dari membeli rekomendasi partai sebagai basis dukungan, mempengaruhi KPU agar lolos hingga melobi politisi DPRD untuk bisa lolos dalam tahap uji publik.

"Jika koruptor tetap bisa maju dan menang, dampaknya kemungkinan besar dia akan korupsi lagi," tegasnya. Karena itu, ia mendesak Komisi Pemilihan Umum di daerah untuk mencoret calon yang telah menjadi terdakwa korupsi sesuai UU Pilkada.

Kemudian meminta semua partai politik tidak mendukung koruptor maju Pilkada. Mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) untuk selalu menerapkan hukuman pencabutan hak politik. Serta meminta kepada Presiden Joko Widodo dan Kementerian dalam Negeri untuk membuat kebijakan khusus agar koruptor yang didakwa satu tahun pun. Tidak bisa mencalonkan diri.

"Benteng terakhir ada ditangan pemilih, masyarakat harus jeli melihat track record calon kepala daerah agar jangan tertipu," tegasnya.

Menanggapi kekhawatiran ini Ketua Fraksi PKS DPR RI, Jazuli Juwaini, mengatakan, partainya telah bersiap menghadapi pilkada serentak pada Desember mendatang. Diakui Jazuli, kompetisi dalam pilkada serentak Desember mendatang akan lebih ketat, persaingan antar kader partai juga akan terjadi. Sehingga diperlukan seleksi figur calon kepala daerah juga secara ketat.

"Harus dipastikan kepala daerah tidak boleh menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangannya. Itu yang kami tekankan di PKS," kata Jazuli di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (30/4).

Seperti diketahui, Komisi Pemilihan Umum (KPU) resmi meluncurkan pemilu kepala daerah serentak 2015. Dalam gelombang pertama, sebanyak sembilan provinsi, 36 kota dan 224 kabupaten akan ikut pilkada serentak pada 9 Desember 2015.

Pilkada gelombang pertama akan diikuti kepala daerah yang telah habis masa jabatannya pada 2015. Sementara pada pilkada gelombang dua akan diikuti kepala daerah dengan akhir masa jabatan 2016 pada semester pertama. Selanjutnya, kepala daerah yang akhir masa jabatannya pada 2018 dan 2019 akan diikutsertakan pada pilkada serentak gelombang ketiga.

BACA JUGA: