JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dan Panglima TNI dinilai tidak memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tapi hanya memerlukan pertimbangan dari DPR. Sebab dengan ada persetujuan DPR, hak prerogatif presiden untuk mengangkat dan memberhentikan Kapolri dan Panglima seakan dibatasi.

Pandangan ini disampaikan ahli pemohon Saldi Isra, ahli hukum tata negara dan juga  Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI).

Sejumlah pemohon menggugat Pasal 11 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) UU Polri dan Pasal 13 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), ayat (9) UU TNI. Pasal-pasal tersebut mengatur ketentuan Kapolri dan Panglima TNI diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan DPR.

Saldi menilai adanya keharusan persetujuan DPR telah mereduksi hak prerogatif presiden. Padahal hak prerogatif presiden dapat didefinisikan sebagai hak yang diberikan pada presiden langsung oleh konstitusi. Pada prakteknya makna hak prerogatif telah semakin berkurang maknanya.

"Keterlibatan DPR ini dianggap check and balances. Padahal persetujuan DPR sudah terlalu jauh keterlibatannya terhadap hak prerogatif presiden," ujar Saldi dalam sidang pengujian UU Polri dan UU TNI yang dipimpin Hakim panel Arief Hidayat di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (15/4).

Ia menilai kewenangan DPR dalam memberikan persetujuan pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dan Panglima TNI tidak tepat.   Menurutnya akan lebih tepat kewenangan DPR diberikan dalam bentuk pertimbangan. Adanya pertimbangan ini agar DPR bisa memberikan catatan soal nama yang disampaikan presiden. Sebab jika pencalonan tersebut tidak melibatkan pihak lainnya sangat mungkin presiden mencari nama yang bermasalah.

Selanjutnya, penyampaian nama calon pada DPR bukan sama sekali menghapus peran DPR tapi hanya menggesernya dari persetujuan ke pertimbangan. Lalu kalau nama yang diajukan presiden disampaikan ke DPR maka publik bisa mengetahui calon tersebut untuk ikut menilainya. Sehingga tetap ada pihak yang mengecek calon tersebut tanpa mengurangi hak prerogatif presiden.

Menanggapi hal ini, Hakim panel Patrialis Akbar menuturkan pendapat Saldi mengkonsepkan dari persetujuan ke pertimbangan. Ia mempertanyakan melalui mekanisme DPR memberikan pertimbangan, jika presiden mencari orang bermasalah tanpa memperhatikan pertimbangan DPR. "Itu bagaimana?" ujar Patrialis pada kesempatan tersebut.

Menjawab pertanyaan tersebut, Saldi menjelaskan perlu dibangun hubungan antar lembaga yang penuh dengan kedewasaan. Dalam pengalaman di Amerika Serikat, Presiden Bush junior ingin mengangkat seorang menteri. Lalu senat memberikan catatan dalam pengangkatan tersebut bahwa nama yang diajukan pernah menyembunyikan imigan gelap. Senat tak pernah katakan keberatan atau menolak nama tersebut. Tapi presiden membaca ada keberatan dari senat. Bush pun menarik dan mencari nama lain.

"Dari cerita ini bisa kita tarik kesimpulan, kita harus membangun mode bernegara yang dewasa. Sehingga kalau ada catatan semestinya itu dimaknai sebagai keberatan dan presiden bisa cari nama lain. Sebab kalau tidak bisa menimbulkan masalah antar lembaga," ujarnya.

Sebelumnya sejumlah aktivis anti korupsi Guru besar Universitas Gadjah Mada Denny Indrayana, Peneliti Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari, Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Hifdzil Alim, dan Koordinator Indonesian Corruptions Watch (ICW) menggugat sejumlah pasal dalam UU Polri dan UU TNI.

Mereka meminta agar frasa persetujuan DPR dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dan Panglima TNI yang tercantum pada pasal tersebut dihapus. Sebab jika pengangkatan dan pemberhentian melalui persetujuan DPR maka berarti hak prerogatif presiden telah dibatasi.

BACA JUGA: