JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden selama ini kembali jadi perdebatan. Dalam draft revisi UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian (UU Kepolisian) mencantumkan kedudukannya tidak lagi langsung di bawah Presiden tetapi di bawah Kementerian atau Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).

Reposisi Polri dalam draft revisi UU Kepolisian diakui Komisioner Kompolnas Adrianus Meliala memang bakal jadi perdebatan alot. Karena selama ini dengan langsung di bawah Presiden kewenangan Kepolisian menjadi sangat besar sehingga rentan disalahgunakan. Dengan mereposisi Kepolisian tidak lagi di bawah Presiden akan mengurangi Kepolisian dijadikan alat kepentingan politik tertentu.

"Ada beberapa hal yang krusial, di antaranya soal kedudukan polisi apa di bawah Kementerian atau Kompolnas," kata Adrianus saat dihubungi Gresnews.com, Selasa (25/2).

Reposisi itu masih dalam bahasan di Kompolnas. Kompolnas juga masih mengumpulkan pandangan dari berbagai pihak terhadap pasal-pasal krusial yang ada dalam draft revisi tersebut.

Pengamat Kepolisian Bambang Widodo Umar ikut memberikan pandangan atas revisi UU Kepolisian ini. Selain soal penguatan peran Kompolnas, Bambang juga memberikan masukan perlunya mereposisi Kepolisian dari di bawah Presiden menjadi di bawah Kementerian.

"Saya lebih setuju Polisi di bawah Kementerian karena ia adalah alat negara," jelas Bambang kepada Gresnews.com, Rabu (26/2).

Perlunya perubahan posisi Kepolisian tidak lagi langsung di bawah presiden juga menjadi keinginan publik. Sebuah survei yang dilakukan lembaga swadaya masyarakat Imparsial pada Juni sampai Juli 2011 di wilayah DKI Jakarta menyebutkan, responden menginginkan Polri berada di bawah Kejaksaan Agung atau Kementerian Dalam Negeri.

Publik yang berpandangan polisi berada di bawah Kejaksaan Agung memperoleh persentase tertinggi sekitar 28,8 %, disusul Kementerian Dalam Negeri sebanyak 18,8 %, di bawah Kementerian Pertahanan 6 %, Kementerian Kepolisian dan Kemenkumham masing-masing 4 %. Sementara itu, hanya sekitar 4 % saja publik yang mendukung polisi harus ditempatkan di bawah TNI dan sekitar 2 %  di bawah DPR. Publik yang menjawab tidak tahu persentasenya sekitar 37 %.

Atas hasil hasil survei tersebut, Imparsial memandang kedudukan polisi di bawah presiden akan cenderung dipolitisasi dan disalahgunakan. Meski diakui juga tidak ada jaminan bahwa perubahan kedudukan polisi di bawah kementerian tidak lagi mengundang politisasi. Akan tetapi, perubahan tersebut diyakini sedikit banyak akan memperkecil potensi politisasi dan penyalahgunaan polisi oleh kekuasaan. Imparsial menegaskan perubahan kedudukan Polri menjadi di bawah kementerian merupakan kelanjutan dari reformasi polisi demi mewujudkan polisi profesional dan bukan alat kekuasaan.

Sejatinya wacana mereposisi kedudukan Polri bukan hanya terjadi pada saat ini saja. Sebelumnya wacana-wacana reposisi Polri sudah banyak didengungkan oleh para pejabat-pejabat elit negara ini. Apalagi sejak mulai adanya pembahasan RUU Kamnas, reposisi Polri juga menjadi salah satu bahasannya. Kasus terakhir yang mencuatkan kembali wacana ini adalah kasus pengamanan perebutan lahan di Mesuji dan pembubaran aksi blokir pelabuhan di Bima yang memakan korban jiwa.

Polri dianggap sebagai institusi yang super power dengan membela kepentingan pemerintah. Kekuasaan Polri dipandang sangat besar dengan kedudukannya di bawah Presiden sehingga seolah-olah menjadi alat kekuasaan penguasa dan tidak memiliki sense of crisis terhadap permasalahan yang ada di masyarakat.

Tak heran pada 2012, sejumlah advokat dan kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) juga pernah mengajukan gugatan atas Pasal 8 UU Kepolisian ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan tersebut sama-sama mempersoalan kedudukan Kepolisian yang langsung di bawah Presiden. Meskipun akhirnya gugatan tersebut ditolak MK.

Memang Polri merupakan alat negara yang memiliki kedudukan problematik. Sesuai dengan fungsi dan perannya, kedudukan Polri harus ditempatkan dalam posisi independen. Namun disisi lain apabila independensi kedudukan Polri salah dalam penataan sistemnya maka Polri dapat menjelma menjadi institusi yang super power karena tugas dan kewenangannya yang begitu luas.  

Dalam UUD Negara RI 1945 sesungguhnya tidak ditegaskan tentang posisi kelembagaan Polri di bawah Presiden. Dalam Pasal 30 Ayat (5) hanya mengatur bahwa kedudukan Polri dan TNI diatur lebih lanjut dengan UU. Sementara UU Kepolisian yang meletakan kedudukan Polri di bawah Presiden. Jadi sah-sah saja muncul wacana mereposisi Polri tak lagi di bawah langsung presiden.

Apalagi memang ada beberapa kelemahan dalam UU Kepolisian yang dapat menjadi celah terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan kewenangan oleh polisi, diantaranya pertama, UU Kepolisian tidak ekplisit menegaskan anggaran Polri berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), kecuali penegasan soal anggaran Kompolnas, sehingga dapat diduga bahwa sumber anggaran off-budget dari pos masyarakat menjadi titik lemah Polri dalam akuntabilitas dan transparansi pemanfaatan anggaran.

Kedua, terdapat tumpang tindihnya tugas dan wewenang Kapolri. Selain sebagai penyelenggara operasional, Kapolri juga merumuskan berbagai kebijakan non operasional yang menentukan kebijakan strategis penyelenggaraan fungsi kepolisian negara. Dengan demikian ketentuan dalam UU Kepolisan yang menyatakan Kapolri memiliki kewenangan untuk menentukan kebijakan teknis operasional, dalam kenyataannya bisa lebih luas.

Ketiga, dalam Pasal 38 UU Kepolisian yang mengatur Kompolnas dikatakan bahwa tugas Kompolnas 1) Membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Polri dan; 2) Memberi pertimbangan kepada presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri. Nah tugas Kompolnas yang seharusnya cukup strategis itu dalam kenyataannya masih jauh dari harapan.

Kompolnas belum dapat memainkan perananannya. Kompolnas masih sebatas pembantu presiden yang hanya dapat melaporkan hal-hal tentang Polri dan tidak dapat melaksanakan intervensi operasional secara langsung. Bahkan apabila dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan Kompolnas dapat berjalan dengan baik masih belum memadai sebagai kontrol operasional terhadap Kapolri.

Keempat, disamping itu, Polri sebagai polisi nasional menyebabkan daerah enggan memberikan bantuan ataupun subsidi lainnya kepada institusi Polri. Hal ini terkait dengan tidak adanya share dalam bentuk desentralisasi manajemen Polri kepada kepala daerah, sehingga Polri di daerah terintegrasi dalam konektivitas kelembagaan, dan Polri secara institusi akan mendapat dukungan anggaran operasional di daerah.

BACA JUGA: