JAKARTA, GRESNEWS.COM - Mekanisme pengajuan calon Kapolri melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ditujukan untuk menjaga independensi kepolisian, sehingga kepolisian tidak terpengaruh kepentingan politik penguasa atau dijadikan alat untuk sekelompok orang.

Dalam pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian (UU Kepolisian), sejumlah pemohon menggugat pasal yang mensyaratkan persetujuan DPR untuk pencalonan kapolri oleh presiden.

Dalam sidang pengujian ini, pihak kepolisian memberikan keterangannya. Kepala Biro Penyusunan Hukum Divisi Hukum Polri Brigjen Sigit Triharjanto menyatakan tak sependapat dengan dalil pemohon dengan berlakunya sistem presidensil di Indonesia bisa membuat Presiden mengangkat dan memberhentikan Polri tanpa persetujuan DPR. Menurutnya, para pemohon harus melihat kedudukan strategis dan penting Polri dalam kegiatan politik. Misalnya dalam pengamanan pemilihan umum Presiden dan pemilihan kepala daerah.

"Dikhawatirkan akan muncul kooptasi pada Polri untuk kepentingan politik dan khawatir pengaruh politik akan mengganggu independensi Polri," ujar Sigit dalam pengujian UU Polri dan UU TNI di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (10/3).

Ia menjelaskan, dalam cabang kekuasaan eksekutif terdapat organ pemerintahan yang bersifat independen yaitu bank sentral, militer, dan kepolisian. Tetapi dalam sistem demokrasi modern, eksekutif memiliki siklus kekuasaan yang dinamis dengan adanya pemilihan presiden tiap 5 tahun sekali, sehingga akan sangat berbahaya ketika Polri dan TNI bergantung pada kekuasaan eksekutif yang tidak terlepas dari pengaruh politik.

Secara ideal, eksekutif yang dipengaruhi kekuatan politik sebisa mungkin jangan sampai ikut mempengaruhi tugas Polri dan TNI. Sehingga TNI dan Polri harus dikelola secara profesional dan terhindar dari intervensi kepentingan politik praktis eksekutif.

"Khusus untuk Polri, Polri memegang kekuasaan penegakan hukum yang tidak boleh dikendalikan sekelompok orang yang berkuasa untuk kekuasannya," kata Sigit dalam keterangannya di muka sidang.

Selanjutnya, sebagai implementasi independensi Polri, pengajuan calon Kapolri oleh Presiden harus melibatkan kekuasaan legislatif atau DPR dalam persetujuan atau penolakan pengangkatan dan pemberhentian Kapolri. DPR tidak memiliki kewenangan mengadakan pemilihan Kapolri. Mekanisme persetujuan DPR menjadi strategi agar penentuan calon Kapolri tidak mutlak menjadi kewenangan Presiden. Presiden tidak dapat menentukan calon Kapolri menurut kepentingan kekuasaanya sendiri.

Sebelumnya para pemohon diantaranya Denny Indrayana sebagai Guru Besar Fakultas Hukum dan Tata Negara UGM, Feri Amsari sebagai peneliti Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Hifdzil Alim sebagai peneliti Pusat Kajian Antikorupsi UGM, dan Ade Irawan sebagai Koordinator Indonesian Corruption Watch menggugat sejumlah Pasal UU Polri dan UU TNI.

Pasal yang diajukan diantaranya Pasal 11 Ayat (1) hingga Ayat (5) UU Polri dan Pasal 13 Ayat (2) hingga Ayat (9) UU TNI. Melalui kuasanya, Heru Widodo, pemohon menilai norma tersebut bertentangan dengan Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945 bahwa presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD 1945. Heru menjelaskan sistem pemerintahan yang dianut Indonesia adalah sistem presidensial. Sehingga hak prerogatif mengangkat dan memberhentikan personil pemerintahan bisa dilakukan tanpa meminta persetujuan DPR.

Saat ini Presiden masih harus melalui persetujuan DPR untuk mengangkat dan memberhentikan Kapolri dan Panglima TNI. Sehingga hak prerogatif Presiden belum sepenuhnya didapatkan secara mutlak. "Selama Presiden belum memiliki hak prerogatif secara mutlak maka norma ini bisa dianggap bertentangan dengan sistem presidensial," ujar Heru.

BACA JUGA: