JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kinerja Jaksa Agung HM Prasetyo dalam 100 hari kerja dinilai belum memuaskan. Dalam bidang pemberantasan korupsi kinerja Prasetyo belum ada gregetnya. "Jika dirapor, kerja Prasetyo mendapat warna merah alias sangat buruk," kata Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman, kemarin.

Menurut Boyamin jika diranking angka 1 hingga 10, nilai rapor Prasetyo masih dititik terendah, yakni dibawah angka 5.  Padahal dulu Jaksa Agung asal Partai Nasdem itu pernah berjanji akan memfokuskan pada upaya pemberantasan korupsi.

Harusnya, kata dia, Prasetyo menepati janjinya tersebut. Boyamin beranggapan, politisi Nasdem tersebut telah melakukan kebohongan publik. Dalam setiap pernyataannya akan memfokuskan pemberantasan korupsi. Tapi sekarang nihil. Kasus korupsi yang digarap juga masih kelas teri bukan kakap.

Boyamin mengkhawatirkan, jika Prasetyo terus melakukan kebohongan,  bisa jadi dapat dimakzulkan. "Ngakunya berpengalaman dan tahu anatomi kejaksaan, kok belum ada perubahan signifikan," tegasnya.

Selain itu, sistem mutasi dan promosi tak luput dikritisi Boyamin. "Saya rasa untuk hal mutasi dan promosi yang dilakukan Prasetyo, sangat rendah nilainya. Contoh saja ketika awal menjabat dirinya mempromosikan sepupunya yakni Momock Samiarso sebagai Kajati Bali. Ini sudah keliatan tidak relevan," jelasnya.

Menurutnya, masa menugaskan Momock yang hanya tersisa 6 bulan, menunjukkan Prasetyo berpolitik tebang pilih dalam promosi jabatan. "Padahal, Kajati Bali sebelumnya itu belum lama menjabat," tuturnya.

Begitupula dengan keputusannya menabrak Peraturan Jaksa Agung (PERJA) Pusat Pemulihan Aset (PPA) dengan Keputusan Jaksa Agung (KEPJA) terkait mutasi jabatan. "Artinya, sudah ´nabrak´ dua kali. Jelas profesionalisme dan integritas Prasetyo diragukan. Pembenahan internal saja tidak becus," ujarnya.

Senada dengan Boyamin, praktisi hukum Akbar Hidayatullah juga menilai sampai saat ini belum terlihat apa sebenarnya yang menjadi visi Jaksa Agung ke depan. "Biasa-biasa saja. Tidak ada gebrakan. Reformasi kejaksaan sepertinya berhenti pada Jaksa Agung yang sekarang," kata Akbar.

Akbar mengatakan, sikap dan perilaku Prasetyo kembali seperti masa ketika menjabat sebagai Jaksa Agung Muda Pidana Umum. "Tidak ada prestasi dan terkesan monoton. Saya belum melihat apakah Prasetyo yang sekarang lebih reformis dari Jaksa Agung yang terlebih dahulu," terangnya.

"Prasetyo masih belum meyakinkan masyarakat bahwa kejaksaan sudah berubah atau lebih baik dari KPK."

Disamping itu, eksekusi mati yang marak dijadikan bahan pemberitaan Jaksa Agung, menurut Akbar bukanlah sebuah prestasi. "Eksekusi mati itu sebenarnya kewajiban dari eksekutor.  Saya belum melihat eksekusi mati sebagai sebuah prestasi," jelasnya.

Apalagi, ketegasan Prasetyo menurun ketika pelaksanaan eksekusi mati tahap dua terpidana. "Alasan persiapan belum matang, adalah alibi semata. Patut diduga ada sesuatu. Saya harap Presiden mengevaluasi Prasetyo sebagai Jaksa Agung pada 3 bulan kinerjanya," jelasnya.

Mengenai pembinaan, Akbar berpendapat masih banyak jaksa bermasalah di daerah yang cenderung dibiarkan begitu saja. "Mulai dari kebiasaan hiburan malam, asusila, kriminalisasi dll. Seharusnya Jamwas lebih proaktif dalam menerapkan reward & punishment terhadap jaksa. Kalau Kejaksaan mau berwibawa di mata masyarakat maka harus melakukan pembenahan secara internal," tuturnya.

"Sayangnya, Prasetyo belum bisa membawa Kejaksaan mengarah lebih baik di 100 hari kinerjanya," tandasnya.

Di bidang pemberantasan korupsi, Kejaksaan Agung memang telah membentuk tim khusus pemberantasan dan penyelesaian kasus korupsi. Tim khusus ini terdiri dari 100 jaksa terbaik yang merupakan mantan jaksa di KPK. Namun, tim ini dalam sebulan terakhir tak terlihat gregetnya. Malah kasus-kasus yang sejatinya cepat tuntas kian mengambang. Seperti penuntasan kasus korupsi BJB Tower, ATC Angkasa Pura II, kasus IM2 dan Chevron. Kasus-kasus tersebut tenggelam dengan isu eksekusi mati.

BACA JUGA: