JAKARTA, GRESNEWS.COM -  Penetapan tersangka eks Sekjen Partai Nasdem Rio Patrice Capella oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan terungkapnya hubungan kasus Korupsi Bantuan sosial (Bansos) Provinsi Sumatera Utara yang melibatkan Gubernur Gatot Pujonugroho dengan Kejaksaan Agung, membuat sosok Jaksa Agung M Prasetyo disorot. Sebab Jaksa Agung M Prasetyo diketahui merupakan kader Partai Nasdem. Sehingga talian kepentingan penegakan hukum dan kepentingan politik diragukan bisa jalan seiring, tanpa saling menunggangi.   

Pembentukan Tim Satuan Khusus (Satgassus) Penuntasan dan Penanganan Perkara Korupsi yang dibentuk Jaksa Agung Prasetyo dituding  kerap dijadikan alat untuk kepentingan kelompok tertentu, bukan murni penegakan hukum.

Salah satu  kasus yang diduga ditunggangi kepentingan tertentu, adalah penyidikan dugaan korupsi Bantuan Sosial di lingkungan Pemprov Sumatera Utara tahun 2011-2013. Kecurigaan itu muncul karena fakta, sejak disidik Juli 2015, dan diambil alih jaksa dari Tim Satgassus. Penyidik  hingga saat ini belum menetapkan tersangka. Padahal ada puluhan saksi diperiksa, baik pejabat Pemprov Sumut hingga penerima dana Bansos.

Kejaksaan Agung mengaku telah memiliki calon kuat tersangka. Bahkan beredar informasi di lingkungan  penyidik jika dari forum gelar perkara kasus Bansos telah ditetapkan tersangka dan Surat Perintah Penyidikannya tinggal ditandatangani Direktur Penyidikan dan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus). Namun tandatangan itu konon tak kunjung dibubuhkan karena diduga belum ada persetujuan dari Jaksa Agung.

Hingga muncul dugaan kasus Bansos Medan diamankan Kejaksaan Agung. Apalagi dalam persidangan Tipikor, jaksa KPK telah memutar rekaman pernyataan tersangka Evy Susanti, istri Gatot Pujo Nugroho yang menyebut kasus Bansos diambil alih ke Kejaksaan Agung untuk mengamankan kasusnya. Evy juga membeberkan fakta pertemuan di Kantor DPP Partai Nasdem yang dihadiri petinggi Nasdem untuk mengamankan kasus Bansos Sumut tersebut.

Jaksa Agung Prasetyo, berkali-kali membantah dugaan ada main mata institusi yang dipimpinnya dalam kasus Bansos. Namun KPK tetap menyelidiki ihwal pertemuan tersebut. Dan akhirnya KPK menetapkan  Patrice Rio Capella, Sekjen Partai Nasdem sebagai tersangka kasus suap Bansos Sumut. Patrice yang hadir dalam pertemuan itu diduga menerima uang dan janji untuk mengamankan kasus Bansos yang ditangani Kejaksaan.

Namun Kejaksaan Agung lagi-lagi menampiknya. "Saya tegaskan penanganan sudah on the track,  kalau wartawan tahu ada jaksa yang terima suap, kasih tahu saya. Tapi kami akan coba lihat apakah benar. Kami berkoordinasi juga dengan KPK, " kata Jaksa Agung Pidana Khusus Widyopramono di Kejaksaan Agung, Kamis (15/10).

Disoal lambatnya penuntasan kasus ini, Widyo berdalih dalam penetapan tersangka, penyidik harus berhati-hati dalam menangani setiap perkara.‎‎ Hal tersebut dilakukan untuk menghindari praperadilan. "Masih menunggu kesimpulan akhir tim penyidik. Penyidik harus cerdas, cermat, dan cepat, dengan demikian dapat menghindari praperadilan," terangnya.

KEJAKSAAN RENTAN JADI ALAT POLITIK - Ada kasus lain yang diduga juga syarat dengan kepentingan. Dalam kasus surat hak tagih utang (cessie) Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) milik PT Victoria Securities International Corporation (VSIC), Kejaksaan dituding jadi alat kepentingan tertentu.

Masuknya kepentingan politik pada penegakan hukum di Kejaksaan Agung tentu akan mengganggu kinerja pemerintahan Joko Widodo, khususnya dalam penegakan hukum. Jaksa Agung yang berasal dari partai politik dituding akan berakibat penegakan hukum diwarnai konflik kepentingan internal.

Wakil Ketua DPR Fadli Zon sempat mengomentari soal konflik kepentingan di Kejaksaan Agung. Kepada media politisi Partai Gerindra ini mengatakan, selama kejaksaan dipimpin politisi partai politik, lembaga penegak hukum akan sangat rentan untuk dijadikan alat politik. Sudah saatnya Presiden Jokowi mengevaluasi posisi Jaksa Agung dan juga Jaksa Agung Muda di bawahnya.

Fadli berharap, pemerintah dapat memikirkan kembali untuk menunjuk jaksa agung dari karir di Kejagung. Presiden harus menunjuk Jaksa Agung yang tidak mudah menyalahgunakan kekuasaannya.

RAPOR MERAH PRASETYO - Pengamat kebijakan publik Yanuar Wijanarko juga mengaku pesimistis Kejaksaan Agung akan optimal dalam pemberantasan korupsi atau pun penegakan pidana lainnya. Apalagi melihat kinerja jaksa dalam setahun terakhir. Tim Satgassus yang awalnya diharapkan memberi harapan dalam pemberantasan korupsi ternyata tak terbukti.

"Sejauh ini netralitas dalam bekerja sudah terkontaminasi karena bagaimana pun juga Prasetyo adalah kader parpol yang harus tunduk kepada kebijakan partai. Jadi sepintar atau secerdas apapun kualitas para jaksa, di bawah kepemimpinan kader parpol maka pasti tidak akan optimal dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum," ujar Yanuar.

Yanuar juga berpendapat Jaksa Agung belum mengimplementasikan Instruksi Presiden tentang Aksi Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi Nomor 7 Tahun 2015. Poin dalam inpres tersebut belum diimplementasikan, terutana terkait proses mutasi dan promosi yang harus transparan. Penugasan Presiden tersebut ada dalam bab ´Penguatan Mekanisme Kelembagaan Dalam Perekrutan, Penempatan, Mutasi, dan Promosi, Khususnya Bagi Aparat Penegak Hukum Berdasarkan Hasil Assesment Terhadap Rekam Jejak, Kompetensi, dan Integritas Sesuai Kebutuhan´.

Namun yang terjadi Kejaksaan Agung dalam melakukan pengawasan maupun pembinaan pejabat, tak jarang tidak sesuai SOP dan terkesan sembarangan. "Presiden Jokowi harus tahu kondisi sebenarnya di Kejaksaan," cetusnya.

Disamping itu, Yanuar mendesak para pejabat Kejaksaan Agung harus akuntabel dan transparan mulai dari verifikasi terhadap Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dan transaksi keuangan dengan meminta input dari Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.

Disamping itu, Kejaksaan juga tidak memiliki database online Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang terpusat seperti yang diperintahkan Presiden. Begitu juga dengan belum adanya sistem administrasi penanganan perkara pidana umun dan khusus sebagai peningkatan keterbukaan proses penegakan hukum kepada masyarakat.

Padahal, kata Yanuar, dalam Inpres No 7 Tahun 2015 ini, Jokowi meminta kepada semua pihak yang menjadi objek dari instruksi ini untuk bersungguh-sungguh melaksanakan setiap poin aksi yang sudah diberikan. Sementara Jaksa Agung jelas-jelas abai terhadap Inpres tersebut.

"Jika tidak dilaksanakan, berarti telah terjadi pembangkangan terhadap perintah Presiden,"  tandasnya.

BACA JUGA: