JAKARTA, GRESNEWS.COM - Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) menilai penyelesaian kasus pembantu rumah tangga (PRT) di Medan sebagai kegagalan aparat penegak hukum yang turut melanggengkan kekerasan terhadap PRT. Hingga kini, berkas kejahatan tersangka utama, Syamsul Anwar pun masih berada di kepolisian. Padahal berkas tersangka lainnya sudah naik ke kejaksaan.

"Berkas Syamsul masih saja bolak balik. Kenapa otak pembunuhan malah tidak ditindaklanjuti cepat," ujar Eny Rofiatul pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta kepada Gresnews.com, Senin (12/1).

Ia merasa polisi masih terlampau  ribet dengan pemberkasan, sehingga komitmen polres Medan patut dipertanyakan. "Dugaan sementara, Syamsul mempunyai orang dalam kepolisian yang melindunginya sehingga jalannya kasus begitu lambat," katanya.

Pada akhirnya, Eny memprediksi tersangka lain yakni sopir Syamsul lah yang akan ditumbalkan. Hal ini terindikasi dari pengenaan pasal kepada Syamsul hanya sebatas penghilangan barang bukti. "Ini hukumannya lebih ringan," katanya.

Kasus ini bukan pertama kalinya dilakukan Syamsul dan keluarganya di rumahnya sendiri. Sudah berkali-kali penyiksaan dan pembunuhan dilakukan dan banyak PRT yang menjadi korban namun tidak  ditindaklanjuti. "Padahal dari RT sendiri sudah ada laporan," katanya.

Berdasarkan pantauan JALA PRT, Syamsul pernah melakukan penyiksaan terhadap tiga orang PRT pada 2011. Tak hanya itu, Pada 2013, lima orang PRT turut menjadi korban penyiksaan. Sayangnya, kedua kasus tersebut menguap begitu saja lantaran tidak ada tindakan tegas dari kepolisian dan pihak berwajib.

Ironisnya, saat ini Syamsul Anwar hanya dikenakan Pasal 221 KUHP tentang menyembunyikan bekas kejahatan dan Pasal 184, karena membuang mayat. Padahal, awalnya, Syamsul cs sempat diancam dengan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan dengan berencana, Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, Pasal 351 ayat 3 KUHP tentang penganiayaan yang menghilangkan nyawa orang lain. Serta Pasal di dalam UU tentang Permberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (trafficking).

“Sudah jelas terjadi kekerasan sistematis yang dilakukan oleh Syamsul Anwar dan keluarganya terhadap PRT,” ujar Lita Anggraini, Koordinator JALA PRT dalam pesan yang diterima Gresnews.com.

Ia mengungkapkan, mayoritas kasus yang dialami PRT tidak berujung pada keadilan. Kasus-kasus ini selalu berhenti aparat hukum kepolisian. "Kepolisian justru menjadi pelaku hambatan yang cukup besar dalam menjamin kepastian hukum bagi PRT”, katanya.

Hilangnya pasal UU Trafficking di dalam dakwaan, menunjukan aparat hukum tidak melihat kasus ini sebagai kekerasan yang sistematis. Padahal, kekerasan sudah berulangkali dilakukan. Apalagi, Syamsul juga membuka agen penyalur PRT. Kepolisian juga sempat menemukan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang menunjukan adanya indikasi pemalsuan identitas sebagai salah satu modus trafficking yang dilakukan.

Tak hanya itu, data yang didapat JALA PRT berdasar Laporan LSM Sahdar, menganut fakta serta keterangan saksi, rumah Syamsul kerap didatangi ambulance menjelang tengah malam yang selalui membawa bungkusan besar ke dalam ambulance. "Kuat dugaan, pelaku menjual organ tubuh para pekerja yang menjadi korban," katanya.

Saat ini, persidangan sudah memutus hukuman bagi M. Tariq, anak Syamsul Anwar dan M. Hanafi Bahri, pekerja di rumah Syamsul Anwar. M. Tariq dikenakan 1 tahun 8 bulan, sementara Hanafi mendapat hukuman setengah dari tuntutan jaksa yaitu 5 tahun.

Hingga saat ini hasil persidangan masih menunjukan lemahnya keadilan dan kinerja aparat penegah hukum. Karena itu penting bagi masyarakat turut mengawal persidangan dan putusan tiga tersangka lainnya. “Kita perlu membuat peringatan keras kepada kepolisian, jaksa dan majelis hakim yang menangani perkara ini untuk mengadili secara tegas para pelaku dan memberi hukuman seadil-adilnya,” tegasnya.

Kekerasan terhadap PRT yang terus terjadi di rumah Syamsul Anwar tidak terlepas dari kegagalan aparat penegak hukum  mengusut kasus-kasus terdahulu secara tuntas. Pada September 2012, Syamsul sempat dilaporkan oleh lima orang PRT yang berhasil kabur dari rumah tersangka karena tidak tahan melihat dan mengalami siksaan di rumah tersebut. Namun kasus ini dihenyikan akibat dinilai kepolisian kurang cukup bukti.

Karenanya, kasus ini seharusnya menjadi ruang pembuktian keseriusan pemerintah dan aparat penegak hukum dalam memberantas trafficking. "Kasus ini busa menjadi pintu masuk bagi Polresta Medan untuk mengungkap praktik human trafficking dengan motif penyalur PRT," ujarnya.

Selain dari sisi penegakan hukum, aspek regulasi juga menjadi hambatan terbesar dalam pengusutan kasus-kasus PRT. Sebab, tidak ada undang-undang yang melindungi PRT sehingga terjadi kekosongan hukum terhadap perlindungan PRT. Hal ini membuat pelanggaran maupun penyiksaan terhadap PRT semakin menjadi-jadi.

Meskipun RUU Perlindungan PRT sudah diperjuangkan lebih dari 10 tahun, hingga kini RUU tersebut belum juga disahkan. Padahal di tingkat internasional sudah lahir Konvensi ILO 189 Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga pada 16 Juni 2011.

BACA JUGA: