JAKARTA, GRESNEWS.COM - Proses hukum terhadap tersangka kasus penganiayaan dan pembunuhan pembantu rumah tangga (PRT) di Medan, Sumatera Utara yang hanya dijerat Pasal 184 KUHP berpotensi mencptakan ketidakadilan. Pasalnya tersangka Syamsul Anwar dan 6 tersangka lainya, tidak hanya menyembunyikan bekas kekejahatan tetapi mereka juga diduga melakukan pembunuhan dan penganiayan yang berulang.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta meminta Kepolisian, khususnya Polresta Medan untuk menindak tegas Syamsul Anwar yang merupakan otak penyiksaan dan pembunuhan PRT. Apalagi  Syamsul diduga bukan kali ini saja melakukan penyiksaan terhadap PRT, namun sudah melakukannya berkali-kali.

"Tidak ada tindak lanjut dari Polresta Medan terhadap proses hukum para PRT yang kabur," kata pengacara publik LBH Eny Rofiatul, kepada Gresnews.com, Senin (29/12).

Pada Februari 2011 tiga orang PRT sempat melarikan diri, begitu juga pada lima orang PRT yang kabur pada September 2013. Laporan para PRT yang berhasil melarikan diri ini nyatanya tak diindahkan polisi. Kasus penganiayaan dan pembunuhan PRT ini dianggap Eny sebagai poin penting dalam memperlihatkan komitmen kepolisian mengungkap dalang kejahatan.

Selain dari aspek regulasi, salah satu hambatan terbesar dalam pengusutan kasus-kasus PRT adalah tidak ada UU yg melindungi PRT. Terjadi kekosongan hukum terhadap perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Meskipun sudah diperjuangkan lebih dari 10 tahun, RUU Perlindungan PRT tidak kunjung dibahas dan disahkan.

"Padahal di tingkat Internasional sudah lahir Konvensi ILO 189 Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga 16 Juni 2011," katanya. Ia mengingatkan hal itu menjadi pekerjaan rumah pemerintah dan DPR ke depan untuk menjamin perlindungan Pekerja Rumah Tangga melalui UU Perlindungan PRT.

Hal  senada diungkap koordinator Komisi Nasional untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), ia menyebut kasus ini berpotensi berujung mulus. "Satu per satu anggota keluarga pelaku hanya dapat tuduhan pasal yang jauh lebih ringan dari kekejaman yang ada," katanya dalam pesan kepada Gresnews.com, Minggu (28/12).

Ia memprediksi berbagai aksi pembunuhan dan penghilangan orang secara paksa, perbudakan dan lainnya hanya akan ditimpakan oleh Polisi ke si supir dari pelaku. "Polri makin lihai, selamat!" sindirnya.

Sebelumnya Syamsul Anwar Cs, dipastikan terlepas dari ancaman hukuman mati, sebab aparat hukum tidak menjerat dengan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana.

Kepala Seksi Pidana Umum, Kejaksaan Negeri (Kejari) Medan, Dwi Agus Arfianto mengatakan, penerapan pasal itu sesuai hasil rekonstruksi kasus. “Sudah sesuai dengan hasil penyidikan selama ini. Saya yakin, Kejaksaan dan juga Kepolisian sudah bekerja dengan profesional,” ujar Dwi.

Ia tidak memungkiri akan timbul pemikiran negatif dari masyarakat terkait penerapan pasal ini. Sebab masyarakat sudah terlanjur melihat peristiwa ini sebagai kasus pembunuhan keji. Dengan begitu, pasti ada tekanan untuk menjerat tersangka dengan hukuman mati.

Namun, ia memastikan tidak ada rekayasa dalam kasus ini, mulai dari penyidikan hingga dilimpahkan ke kejaksaan. “Kami mengimbau kepada masyarakat agar memaklumi. Silahkan sama-sama memantau dan mempelajari bagaimana kasus ini sebenarnya,” katanya.

Untuk diketahui, saat ini berkas Syamsul Anwar Cs sudah dilimpahkan ke Kejari Medan. Salah satu tersangka yang merupakan anak Syamsul Anwar, M Thoriq Anwar, 17, sudah disidangkan Rabu (24/12) lalu. Dalam sidang tertutup untuk umum itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Lila Nasution dan Mirza mendakwa Thoriq melakukan penganiayaan yang menyebabkan dua PRT meninggal, yakni Hermin alias Cici.

Thoriq juga didakwa jaksa melakukan penganiayaan terhadap tiga PRT lainnya, yakni Anis Rahayu, 31, asal Malang, Jawa Timur; Endang, 55, asal Madura, Jawa Timur; dan Rukmiyani, 42, asal Demak, Jawa Tengah.

Atas perbuatannya, JPU dari Kejari Medan ini menjerat M Thoriq dengan Pasal 351 ayat 1 KUHP tentang penganiayaan jo Pasal 44 ayat 3 Undang-undang (UU) No 23/2014 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) jo Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP tentang perbuatan secara bersama-sama dan berkelanjutan dengan ancaman hukuman maksimal empat tahun penjara.

BACA JUGA: