JAKARTA, GRESNEWS.COM - Bisa jadi tak banyak yang menyadari kalau, Kamis (16/6) ini adalah hari yang istimewa bagi para pekerja rumah tangga (PRT) saat dunia memperingati Hari Pekerja Rumah Tangga Internasional. Setiap tahunnya, pada tanggal tersebut, para PRT di seluruh dunia menyerukan pengakuan global terhadap kerja PRT sebagai pekerjaan pada umumnya.  

Di Indonesia sendiri, peringatan hari PRT ini menjadi penting mengingat masih minimnya perlindungan hukum bagi profesi itu. Padahal International Labour Organization (ILO) memperkirakan jumlah PRT di Indonesia cukup besar yaitu mencapai 2,6 juta orang.

"Para PRT, yang ribuan dari mereka hidup dan bekerja di kondisi kerja yang menyedihkan, harus diberikan jaminan perlindungan legal yang sama dengan para pekerja lainnya," kata Interim Campaigner on Indonesia and Timor-Leste Amnesty International Sophie Crocker, dalam pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com, Kamis (16/6).
 
Minimnya perlindungan hukum terhadap para PRT disinyalir menjadi penyebab utama maraknya kasus penyiksaan terhadap para PRT. Salah satu kasus yang mengemuka adalah kasus penyiksaan PRT yang melibatkan mantan anggota Komisi IX DPR RI–yang menangani isu ketenagakerjaan- Fanny Safriansyah atau yang lebih dikenal sebagai Ivan Haz.

Kasus ini, menurut Sophie, merupakan masalah emblematik bagaimana ribuan PRT terus terpapar risiko mendapat kekerasan dan pelecehan. Ivan Haz saat ini menghadapi tuntutan penjara lima tahun dan denda karena melanggar Undang-Undang No. 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga atas kekerasan fisik berulang yang dilakukannya terhadap seorang perempuan PRT yang dipekerjakan untuk merawat anaknya.

Sopehie menilai, meskipun terikat kepada berbagai hukum perjanjian internasional yang menyediakan perlindungan umum terhadap para PRT, produk-produk hukum Indonesia saat ini tidak menyediakan perlindungan khusus yang memadai bagi PRT. Sebagai contoh, Undang-Undang No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan mendiskriminasi PRT karena UU ini tidak mendefinisikan PRT sebagai pekerja atau menyediakan PRT perlindungan-perlindungan yang sama dengan para pekerja lainnya.

Demikian pula dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) No.2/2015 tentang Perlindungan PRT. Meski merupakan sebuah langkah kecil maju, tidak menjawab secara memadai masalah pembatasan jam kerja yang masuk akal, jaminan upah yang memadai bagi suatu standar hidup yang layak. Permenaker itu juga tak memberikan definisi yang jelas atas waktu istirahat mingguan dan hari cuti, termasuk cuti tahunan, hari libur umum, cuti sakit, dan cuti melahirkan, yang membuat para PRT beresiko terhadap eksploitasi dan pelanggaran HAM.

"Permenaker No. 2/2015 juga tidak memiliki mekanisme penegakan hukum jika hak-hak para PRT tidak dijamin oleh majikannya," ujarnya.

Oleh karena itu, Amnesty International menyerukan sebuah Undang-Undang Perlindungan PRT utuh dengan fungsi penegakan hukum yang sesuai dengan hukum dan standar-standar HAM internasional. "UU semacam itu akan lebih baik melindungi hak-hak para PRT dari eksploitasi ekonomi, diskriminasi berbasis gender, kekerasan fisik, psikologi, dan seksual, dan pelanggaran-pelanggaran HAM lainnya," kata Sophie.

Amnesty International menyambut baik keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada Februari ini untuk memasukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan PRT kedalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) untuk tahun 2016. Amnesty International mendesak DPR RI untuk menindaklanjutinya dan segera mendiskusikan dan memperdebatkan RUU ini, dan mengesahkannya dalam kesempatan tercepat yang mungkin ada menjadi UU yang secara penuh menghormati hak asasi PRT.

Selama sesi Peninjauan Universal Periodiknya (Universal Periodic Review/UPR) di bawah Dewan HAM PBB pada 2012, Indonesia menerima rekomendasi-rekomendasi untuk mengesahkan sebuah RUU yang mengatur soal PRT dan sebuah rekomendasi untuk meratifikasi Konvensi No. 189 tentang Pekerja Rumah Tangga. KOnvensi itu sendiri adalah sebuah hukum internasional penting yang menyediakan standar-standar internasional bagi perlindungan hak-hak asasi PRT.

Konvensi ini diadopsi pada 16 Juni 2011 pada masa sessi ke-100 ILO ketika Presiden saat itu Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan ke publik akan dukungannya untuk meratifikasi Konvensi ini. Namun demikian, hingga saat ini Indonesia belum juga meratifikasinya.

"Amnesty International menyerukan kepada pihak berwenang Indonesia untuk meratifikasi Konvensi No. 189 tentang PRT sebagai langkah pertama untuk memastikan perlindungan legal efektif bagi para PRT Indonesia di dalam dan luar negeri," pungkas Sophie.

KASUS BERULANG - Keberadaan UU Perlindungan PRT memang dinilai penting mengingat kasus-kasus kekerasan terhadap PRT juga makin kerap terjadi. Pada 2015, Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) mencatat paling sedikit ada 402 kasus kekerasan dan penganiayaan terhadap PRT di Indonesia.

Meski begitu, JALA PRT meyakini, angka sebenarnya bisa jauh lebih tinggi karena data tersebut dibuat oleh organisasi-organisasi non-pemerintah (Ornop) di tengah-tengah ketiadaan data resmi. Minimnya perlindungan hukum yang efektif bagi para PRT dari pelanggaran HAM secara tidak proporsional dialami oleh para perempuan dan anak perempuan, yang merupakan mayoritas besar dari PRT Indonesia.

Kasus terbaru adalah dugaan penganiayaan terhadap PRT asal Nusa Tengga Timur (NTT) di Pekanbaru, Riau. Koordinator Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Lembaga Bantuan dan Peduli Anak Riau (LBPAR) Rosmaini mengatakan, kasus itu terungkap dari penggerebekan yang dilakukan tim Polsek Siak Hulu terhadap sebuah keluarga karena adanya laporan adanya penyiksaan terhadap PRT berinisial S.

Sang majikan, kata Rosmaini, saat itu sudah sempat ditangkap. Sayangnya, begitu kasus ini dilimpahkan ke Polda Riau, sang majikan dilepas dengan alasan tidak cukup bukti.

Rosmaini mengatakan, penggerebekan dilakukan pada Minggu (12/6). Dari sana majikan langsung dibawa ke Mapolda Riau. Tak lama setelah penangkapan, korban S didampingi LBPAR langsung menuju Polda Riau. "Dari sana antara majikan dan korban dipertemukan. Keduanya saling kenal. Pemeriksaan terhadap majikan terus berlangsung sampai Senin pukul 02.00 dini hari," kata Rosmaini.

Selama proses pemeriksaan, lanjut Rosmaini, banyak sekali kolega majikan yang menjenguknya. Silih berganti mobil mewah keluar masuk halaman Mapolda Riau.

"Setelah pemeriksaan itu, kami dapat kabar, pihak kepolisian tidak melakukan penahanan karena tidak cukup bukti atas dugaan penganiyaan tersebut," kata Rosmaini yang saat ini kembali mendampingi korban untuk membuat laporan tambahan di Polda Riau atas korban penganiyaan tersebut.

Padahal untuk melacak kebetadaan majikan tersebut, lanjut Rosmaini, dia bersama korban S ikut bersama Polsek Siak Hulu Kampar, melacak keberadaan yayasan penyalur PRT di Jambi. Karena awalnya korban dibawa dari kampung halamannya ke Jakarta selanjutnya ke Jambi.

"Yayasan di Jambi berhasil kita temui, dan dari sana mereka memberikan no HP majikan tersebut yang meminta korban untuk bekerja di rumahnya. Dari sanalah, lantas dilakukan pelacakan keberadaan rumah pelaku," kata Rosmaini.

Pihak LBPAR bersama paguyuban keluarga besar NTT di Pekanbaru akan terus mendampingi korban untuk mencari keadilan. Bila Polda Riau menghentikan kasus dugaan penganiyaan ini maka pihaknya akan membuat laporan ulang ke Mabes Polri.

"Sepertinya karena korban ini anak orang miskin, keadilan kurang berpihak kepadanya. Kami sangat menyayangkan sikap Polda Riau yang melepas majikan tersebut," kata Rosmaini.

Sebagaimana diketahui, korban dibuang majikannya pada 1 Meret 2016 di kawasan Kecamatan Siak Hulu, Kab Kampar Riau. Kondisi korban sangat mengenaskan, badan kurus dan lunglai tak berdaya. Setelah mendapat perawatan warga sekitar, belakangan korban menceritakan apa yang dialami selama bekerja sebagai PRT.

Korban mengaku jarang dikasi makan selama tiga bulan. Saban hari dipukuli sampai 100 kali dengan korban menghitung sendiri saat majilkannya memberikan cambukan. Selama bekerja disuruh tidur di kamar mandi dan tak pernah terima gaji.

Kapolres Kampar, AKBP Edy Sumardi membenarkan bahwa kasus soal dugaan penganiayan terhadap PRT asal NTT sudah dilimpahkan ke Polda Riau. Edy juga tidak menampik jika sang majikan belum dijadikan tersangka (dilepas Polda Riau-red).

"Menurut hemat kami, penyidi pasti memiliki pemikiran yang tajam sesuai normal hukum dalam melaksanakan sidik. Kalau kita bijak, kita bisa sama-sama tunggu proses hukum dan kelepangkapan bukti pendukung sehingga tak salah dalam memaknai suatu proses hukum yang sedang ditangani," kata Edy.

PROGRES TAK JELAS - Mengingat kasus yang teus berulang, sejak DPR berkomitmen memasukkan RUU Perlindungan PRT dalam prolegnas, berbagai pihak sudah mendesak agar RUU itu segera dibahas. Jala PRT serta Komnas Perempuan pada Februari lalu bahkan pernah menemui Fraksi Hanura untuk membahas hal itu.

JALA PRT dan Komnas Perempuan menegaskan, RUU PPRT mesti jadi prioritas karena sudah ada draf, naskah akademik, dan masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019. Hanya saja, RUU PRT belum menjadi Prolegnas Prioritas.

"Bagaimana kita berstrategi untuk dibahas. RUU ini menjadi kebutuhan. Ini yang harus melindungi PRT karena pekerjaan ini erat dengan kemiskinan dan identik dengan perempuan. Hal-hal yang berkaitan agar bisa diatasi untuk melindungi," kata salah seorang perwakilan Komnas Perempuan di ruang Fraksi Hanura, ketika itu.

Menanggapi itu, Fraksi Hanura yang diwakili Miryam S Haryani mengatakan RUU PPRT akan diperjuangkan pihaknya. Mengacu 4 bulan terakhir, aksi kekerasan terhadap PRT seringkali terjadi. "Memang kekerasan ini lebih didominasi ke pembantu rumah tangga. Sering kami mendapat laporan, ini intens terjadi empat bulan terakhir," ujar Miryam.

Terkait persoalan ini, Miryam berjanji akan mengupayakan melobi fraksi lain serta pimpinan DPR untuk mendorong percepatan pembahasan RUU PPRT. "Akan dicoba lobi ke fraksi lain kepada pimpinan DPR juga. Makanya kami juga minta diawasi, dibantu dari Komnas Perempuan, Jala PRT, dan teman aktivis lain," tutur Ketua DPP Hanura itu.

Diakui Miryam, perjuangan RUU ini masih ada pro dan kontra karena tak setiap fraksi setuju. Namun, akan terus dicoba oleh Fraksi Hanura untuk diperjuangkan. Pentingnya pembahasan RUU ini karena menyangkut perlindungan perempuan dari kekerasan
"Bagaimana RUU itu kan mengatur hak antara PRT dan majikan. Perlindungan PRT. Jadi itu penting," tuturnya.

Ketua JALA PRT Lita Anggraini sendiri menyesalkan lambannya pembahasan RUU Perlindungan PRT. "Kita minta RUU PRT yang dibahas itu sudah sejak 2004. Tapi seperti hilang begitu saja, padahal ini penting sebagai dasar perlindungan hukum PRT," ujar Lita, beberapa waktu lalu.

DPR sendiri beralasan belum dibahasnya RUU itu karena masih ada ketidaksinkronan persepsi antara pemerintah dan pihak JALA PRT. "Persepsi yang belum sinkron menjadi masalah RUU ini enggak dibahas-bahas. Jadi ada pro-kontra pada RUU PRT. Ada ketakutan terkait hubungan kerja, sistem penggajian, bahkan spesifikasi PRT saat bekerja seperti apa," anggota Komisi IX DPR RI Irma Suryani Chaniago, medio Februari lalu.

Dia mengakui, negosiasi pembahasan RUU PRT memang ada di DPR. Namun, saat diajukan ke Badan Legislasi, muncul masalah baru terkait pembahasan pasal per pasalnya. Sebelum RUU PRT benar-benar dibahas, lanjut Irma, kedua belah pihak harus memastikan telah menyamakan persepsi tentang bagaimana membuat dasar perlindungan hukum bagi PRT.

"Pelaksanaannya di Baleg DPR. Bagaimana dasarnya, ada ketakutan harus sama dengan UMR dan kontraknya harus jelas. Pembagian tugas yang ditakutkan ada spesialis nyuci, masak dan lain-lain. Kalau berpikir RUU diundangkan, maka 1 rumah butuh 4 PRT. Ini ditakutkan semua orang. Mereka menolak karena itu. Jadi, samakan dulu persepsinya, kalau tidak mau jadi kontra produktif," ujarnya.

Sementara itu, Ketua Komisi IX Dede Yusuf beralasan, pembahasan RUU Perlindungan PRT lamban karena DPR akan memperluas cakupan RUU itu. Menurut Dede, poin penting yang ditekankan dalam RUU adalah perlindungan PRT dan peningkatan kompetensi PRT.

"Rencananya, kami akan mendorong RUU Perlindungan PRT menjadi RUU Perlindungan Pekerja Domestik. Mereka yang bekerja sebagai tukang kebun, sopir pribadi, baby sitter dan pekerja home industri akan masuk dalam cakupan ini," jelas Dede.

"Jadi, rencananya RUU mendatang akan mengatur perlindungan terhadap para pekerja domestik di dalam negeri. Selain mengurangi angka kekerasan terhadap PRT, RUU secara jangka panjang harus mampu melindungi daya saing pekerja lokal," jelas Dede. (dtc)

BACA JUGA: