JAKARTA, GRESNEWS.COM - Banyak jalan menuju ke Roma, rupanya menjadi pegangan para koruptor dan penjahat berdasi. Sadar gerak-geriknya diawasi bila bertransaksi lewat transfer bank, mereka kini lebih suka bertransaksi dengan uang tunai dengan menggunakan pecahan SGD 1.000 dan SGD 10.000; dan dilakukan di luar negeri.

Dalam wawancara khusus dengan Gresnes.com pertegahan Januari 2014 lalu, Wakil Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) Agus Santoso pernah menyebut, modus baru tindak pidana pencucian uang (TPPU, korupsi dan penyuapan tersebut.
 
Kata Agus, untuk mengantisapasinya, koordinasi di dalam negeri sudah cukup bagus. Akan tetapi kerjasama dengan luar negeri baru tahap memperkuat. Misalnya bekerjasama dengan Suspicious Transaction Reporting Office (STRO) Singapura—PPATK-nya Singapura untuk memantau peredaran mata uang Singapura itu.
 
Untuk mengetahui seseorang pembawaan uang tunai, PPATK bisa mengetahuinya melalui CBCC (cross border cash carrier). CBCC ini akan memeriksa semua uang tunai di setiap pintu masuk dan pintu keluar sebuah negara. Kalau ada uang dalam jumlah yang mencurigakan, mereka akan ditangkap CBCC.
 
"Melalui kerja sama ini, kita bersama KPK pernah melakukan operasi tangkap tangan dengan sejumlah barang bukti, kita menemukan uang dolar singapura dalam pecahan Sin$ 1.000 dan Sin$ 10.000,” katanya.

Padahal pecahan ini tidak beredar di masyarakat Singapura, tapi tenyata dimiliki oleh para koruptor Indonesia. Ketika ditanya, siapa yang bisa dimintai tanggung jawabnya di dalam negeri? Agus mengatakan sudah menghimbau Gubernur Bank Indonesia untuk mempertanyakan hal ini kepada pemerintah Singapura.

Selain itu, Gubernur BI juga harus mengontrol impor uang asing ke Indonesia. Selama ini uang dianggap barang sehingga diserahkan ke Bea Cukai. Pengiriman uang satu kontainer dianggap sebagai pengiriman barang.

Menurutnya, Bank Indonesia mestinya lebih mengawasi impor uang ini karena bisa disalahgunakan untuk kejahatan. Termasuk mengawasi valuta asing, misalnya penukaran uang asing.
 
Modus ini kata dia, mulai terjadi satu tahun menjelang dan sesudah masa pelaksanaan pemilihan legislative (Pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres). Untuk mengantisipasinya, PPPATK telah meminta semua partai politik (Parpol) peserta Pemilu untuk melaporkan nama, alamat, dan nomer rekening seluruh calon anggota legislatifnya (Caleg), dari daerah tingkat II hingga pusat.

PPATK akan mengawasi semua peredaran uang dalam Pemilu 2014, baik itu transaksi yang dilakukan para caleg atau partai politik berlandasan peraturan KPU tentang pembatasan dana kampanye.
 
Kecurigaan PPATK tersebut terbukti dengan ditemukannya sejumlah barang bukti berupa dolar Singapura pecahan SGD 10.000 oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
 
Antara lain, KPK menemukan enam lembar pecahan SGD 10.000 saat menangkap Bupati Biak Numfor, Yesaya Sombuk. Pecahan setara Rp95 juta ini diduga kuat sebagai uang suap yang akan diberikan pengusaha Teddy Renyut kepada Yesaya untuk pemulusan proyek tanggul laut di Biak Numfor.
 
Yesaya ditangkap KPK, tak lama setelah menerima suap dari Teddi. Keduanya ditangkap di Hotel Acacia, Jakarta Pusat Senin (16/6) malam. Sebelumnya, sekitar pukul 21.00, Yesaya dan Teddi bertemu di restoran di hotel tersebut. Setelah itu, keduanya menuju kamar di lantai VII.
 
Penyelidik dan penyidik KPK menemukan dua amplop berisi uang 63.000 dollar Singapura dan 37.000 dollar Singapura. Uang tersebut terdiri dari enam lembar pecahan uang 10.000 dollar Singapura dan 40 lembar pecahan 100 dollar Singapura. Suap diduga diberikan terkait proyek pembangunan talut laut di Biak yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2014 di Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT).
 
“Dalam operasi tangkap tangan tersebut, KPK menemukan barang bukti uang yang dimasukkan ke dalam dua amplop senilai 100.000 Dolar Singapura yang diduga merupakan uang pemberian TR untuk mendapatkan proyek pembangunan Talud di Kabupaten Biak Numfor Provinsi Papua pada Kementerian PDT,” Juru Bicara KPK Johan Budi SP seperti dikutip dari laman kpk.go.id, Sabtu (5/7).
 
KPK juga menyita uang pecahan serupa saat menangkap bekas Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Beberapa uang pecahan SGD 10.000 ditemukan saat tim KPK melakukan penggeledahan di lima tempat berbeda. Begitu pula saat menangkap Kepala Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini.
 
Sebelumnya, Pemerintah Singapura melalui Deputy Managing Director Monetary Authority of Singapore (MAS) Ong Chong Tee, telah menyatakan tidak akan lagi mencetak pecahan bilyet uang SGD 10.000 mulai 1 Oktober 2014.
 
Namun, janji tidak akan mencetak lagi pecahan bilyet uang SGD 10,000 tidak membuat PPATK berpuas diri. PPATK tetap mendesak Monetary Authority of Singapore agar segera menarik bilyet SGD 10.000 dari peredaran dan lebih mempersingkat masa berlakunya (masa edar). Sebab, apabila penarikan atau masa laku uang tersebut masih berlaku hingga 5 atau 10 tahun lagi, maka peredaran bilyet uang SGD 10.000 itu tetap masih dikategorikan sebagai ancaman terhadap upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang, khususnya di Indonesia.
 
"Selain penghentian pencetakan, kami masih berharap kepada Monetary Authority of Singapore agar penarikan bilyet uang tersebut dari peredaran dan masa berlakunya bisa lebih dipersingkat," kata Agus kepada Gresnews.com, di Jakarta, Sabtu (5/7).
 

BACA JUGA: