JAKARTA, GRESNEWS.COM - Berbagai aksi dan upaya penolakan terhadap pemerintah yang ingin membolehkan pembuangan bahan berbahaya dan beracun (B3) ke laut lewat pengesahan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Limbah B3 tampaknya tak didengar. Buktinya setelah tertunda sejak Maret 2012 lalu, pembahasan RPP diam-diam kembali dilanjutkan. Menariknya, ada penamaan baru atas RPP ini menjadi "Rencana Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun".

Namun isinya sama saja, dumping masih diperbolehkan. Di dalam Pasal 1 angka (12) RPP ini, dumping (pembuangan) didefinisikan sebagai kegiatan membuang, menempatkan, dan/atau memasukkan limbah dan/atau bahan dalam jumlah, konsentrasi, waktu, dan lokasi tertentu dengan persyaratan tertentu ke media lingkungan hidup tertentu. Lebih lanjut, kewenangan penerbitan izin dumping sebagaimana diatur di dalam Pasal 178 dimiliki oleh Menteri, Gubernur, Bupati dan atau Walikota.

Lagi-lagi pembahasan RPP ini mengundang protes. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan yang bekerjasama dengan Universitas Surya menilai, praktik dumping ini seharusnya dilarang dalam RPP ini. Hal ini selaras dengan semangat Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal itu menyebutkan: "Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum".

Direktur Pusat Studi Oseanografi dan Teknologi Kelautan Universitas Surya Dr. Alan F. Koropitan mengatakan, praktik dumping seperti pembuangan tailing ke dasar laut dapat berdampak terhadap akumulasi logam berat di biota. "Misalnya, ikan domersal yang memang habitatnya dekat dasar, kemudian cumi yang bertelur di dekat dasar sebelum kemudian naik ke permukaan," ujarnya dalam pernyataan tertulis yang diterima Gresnews.com, Rabu (19/2).

Demikian pula terhadap hewan laut lainnya seperti kepiting atau udang yang tinggal dekat dasar perairan. Akumulasi logam berat juga dapat terjadi pada bentos dan plankton sehingga dapat berdampak kepada manusia melalui proses rantai makanan.

Masalah lain mengenai dumping limbah B3, Pasal 179 ayat (2) yang berbunyi: "Dumping limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah dilakukan pengolahan sebelumnya".

Hanya saja kata Alan, di sini perlu penegasan definisi pengolahan dan cakupan kegiatannya sehingga potensi terjadinya pencemaran lingkungan hidup akibat kandungan logam berat yang dibuang tidak terjadi. Terlebih soal pengawasan seperti yang diatur dalam Pasal 241 RPP tersebut. Karena izin dumping diberikan oleh menteri, gubernur atau bupati/walikota, maka akan ada konflik kepentingan dimana pihak pemberi izin juga berperan sebagai pengawas.

"Pada titik ini, perlu ada pemisahan antara fungsi regulator dengan pengawas, seperti Environmental Protection Agency di Amerika Serikat yang melakukan pengawasan independen," ujar Alan.


RPP tersebut juga dinilai bertentangan dengan Pasal 65 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal tersebut menyatakan: "Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup".

Dalam kaitan ini menurut Alan, berkaca pada fakta-fakta di lapangan, implementasi atas amanah pasal ini sering kali dikesampingkan, khususnya terkait pembuangan limbah B3. "Oleh karena itu, pendapat dan persetujuan masyarakat yang akan terdampak harus menjadi syarat penting," ujarnya.

Dia menyarankan selain melarang dumping, perkembangan mutakhir teknologi pengurai limbah seharusnya menjadi arah kebijakan dalam RPP ini. Perkembangan mutakhir teknologi dapat mengatur zat seperti apa yang bisa dilakukan pengelolaan limbah, bahkan untuk dilakukan dumping di bawah laut. Merujuk pada London Dumping Convention tahun 1973 dan Protokol London tahun 1996, maka seharusnya RPP ini lebih maju dalam mengatur daftar negatif dan positif substansi atau kandungan yang dilarang dan tidak berbahaya untuk dumping.

Dia menilai RPP tersebut tidak mengakomodir semangat United Nation Convention on the Law of The Sea yang telah diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982. Dalam Pasal 194 ayat (1) UNCLOS, menegaskan bahwa setiap negara penandatangan konvensi melakukan langkah penting untuk mencegah, mengurangi, dan mengontrol pencemaran lingkungan laut dari segala bentuk sumber pencemaran, termasuk pelarangan dumping di dalamnya.

Sebelumnya, organisasi lingkungan hidup Greenpeace Indonesia juga menyatakan keberatannya atas pembahasan RPP ini. Sebab pasal-pasal terutama soal pembolehan dumping diyakini merupakan pesanan dari para pemodal perusahaan tambang. Sebab dalam beleid itu juga diatur yang limbah yang boleh dibuang ke laut salah satunya adalah tailing dari kegiatan pertambangan.

Padahal tailing oleh para aktivis lingkungan dianggap sebagai limbah berbahaya yang tidak boleh begitu saja dilepas ke alam karena masih mengandung bahan berbahaya dan beracun. Salah satu elemen kimia yang sering terdapat dalam tailing adalah Arsenik (As). Paparan arsenik secara kronis (sedikit demi sedikit dalam jangka waktu yang lama-red), bisa mengakibatkan kerusakan pada organ tubuh seperti hati, sistem pencernaan, dan kulit. Jika terpapar lebih banyak lagi, bahkan bisa mengakibatkan kematian.

Juru Kampanye Detox Greenpeace, Ahmad Ashov, mengatakan, regulasi dan rancangan regulasi pemerintah Indonesia dalam manajemen bahan kimia berbahaya beracun secara keseluruhan belum mengedepankan pendekatan kehati-hatian dan pencegahan. "Selain itu juga belum menuju pada eliminasi atau penghapusan penggunaan bahan kimia berbahaya yang seharusnya disandingkan dengan kewajiban bagi industri untuk melakukan substitusi atau penggantian dengan alternatif yang lebih aman," katanya kepada Gresnews.com.

Ashov mengatakan Greenpeace juga menyayangkan adanya pasal yang berpotensi melegalkan pembuangan tailing. "Prinsip kehati-hatian seharusnya juga diterapkan dalam permasalahan limbah tailing pertambangan," ujarnya. Secara internasional melalui London Convention (London Protocol), dumping limbah industri ke dalam lautan dilarang, tidak peduli tingkat toksisitasnya. Sayangnya hingga saat ini Indonesia belum menjadi peserta penandatangan konvensi-protokol tersebut.


Menanggapi RPP ini Gresnews.com sebelumnya juga pernah meminta pendapat dari beberapa anggota DPR. Suara para anggota DPR sendiri tampaknya masih terbelah. Anggota Komisi VII dari Fraksi Hanura Ali Kastella mengatakan, melegalkan salah satu jenis limbah yang masuk dalam daftar limbah berbahaya adalah pelanggaran besar. "Kalau limbah B3 kan jelas-jelas limbah berbahaya dan beracun. Itu sudah tidak bisa ditolerir lagi," kata Ali kepada Gresnews.com, beberapa waktu lalu.

Ali menambahkan tidak ada toleransi bagi limbah B3 yang boleh dilegalkan, termasuk tailing. Menurutnya, pelarangan pembuangan limbah seperti tailing itu harus dilakukan karena dampaknya yang sangat berbahaya bagi manusia dan lingkungan termasuk makhluk-makhluk hidup air di wilayah yang terkena.

Suara Ali ini boleh jadi mewakili suara masyarakat yang terdampak pembuangan tailing di kawasan timur Indonesia khususnya Papua. "Saya sudah melihat sendiri di Timika, limbah tailing itu berupa pasir yang mirip tepung, sehingga sangat mudah menyebar ke sungai atau laut yang menjadi tempat pembuangan," ujarnya.

Sementara beberapa anggota DPR lainnya beranggapan RPP ini bisa dipahami. Anggota Komisi VII dari Fraksi Demokrat Sutan Sukarnotomo mengatakan, usulan pemerintah mengenai RPP B3 itu sejauh ini dapat dipahami karena bertujuan untuk meningkatkan nilai guna limbah, khususnya tailing. "Karena masih banyak kandungan pertambangan yang tersisa. Karena limbah itu tidak terlalu berbahaya seperti kita impor limbah B3 dari baja. Jadi masih ada nilai gunanya," kata Sutan kepada Gresnews.com.

Sutan mengatakan, beberapa material limbah yang masih memiliki kandungan material pertambangan itu bisa memiliki nilai ekonomis bagi negara. Menurutnya, dalam limbah pertambangan emas (tailing), tidak seluruhnya merupakan limbah berbahaya, karena sisa hasil tambang dalam tailing masih memiliki nilai ekonomis. "Hal inilah yang menjadi pertimbangan pemerintah untuk mengajukan RPP itu," imbuh Sutan.

Anggota Komisi VII dari Fraksi Golkar Bobby Adhityo Rizaldi juga mengatakan, tidak semua limbah B3 tergolong berbahaya. Menurutnya, ada beberapa limbah yang masih bisa ditangani dan memiliki daya guna ekonomi. "Kan tidak semua. Karena mengenai limbah ini belum ada kesamaan persepsi. Kalau limbah-limbah B3 juga tidak semuanya berbahaya. Seperti limbah tambang itu masih ada nilai gunanya bagi perindustrian," kata Bobby kepada Gresnews.com. Soal tailing, kata Bobby, selama ini tailing indonesia masih dibatas wajar.

Manajer Kampanye Tambang Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Pius Ginting mengatakan seharusnya pemerintah bukan memberikan kelonggaran tapi mendorong perusahaan tambang untuk bangun kolam khusus pembuangan limbah seperti halnya di negara lain. Sehingga limbah dari penambang itu sudah ramah lingkungan setelah dikelola di dalam kolam tersebut.

Pius menambahkan, selama ini izin pembuangan limbah tailing tergolong sangat mudah di Indonesia. Menurutnya, aturan di Indonesia belumlah ketat dibandingkan negara lain. "Di sini izin pembuangan tailing sangat gampang. Hanya perlu melakukan kajian ilmiah. Kajian ilmiah itu pun tidak harus menyeluruh. Hanya penelitian satu minggu saja," ujarnya.

BACA JUGA: