JAKARTA, GRESNEWS.COM - Greenpeace Indonesia mendukung upaya penegakan hukum yang diambil oleh pihak Badan Pengelolaan Hidup Daerah (BPLHD) Jabar yang memberikan sanksi administratif terhadap 43 perusahaan yang berada di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum. Seluruh perusahaan itu oleh BPLHD diberikan waktu enam bulan untuk memperbaiki proses pembuangan limbah industrinya. Jika gagal maka BPLHD akan memidanakan perusahaan-perusahaan tersebut

Juru Kampanye Detox Greenpeace Indonesia Ahmad Ashov Birry mengatakan penegakan hukum adalah salah satu syarat dasae yang harus dilakukan pemerintah secara konsisten untuk melindungi sungai, lingkungan, warga dan generasi mendatang dari dampak bahan-bahan kimia beracun dan berbahaya. "Karena itu kami mendorong agar proses tersebut dilakukan secara tegas, transparan hingga tuntas," kata Ashov kepada Gresnews.com, Jumat (28/2).

Tindakan yang diambil BPLHD atas ke-43 perusahaan itu merupakan tindak lanjut dari audit Badan Pemeriksa Keuangan pada semester kedua tahun 2012. Hasil audit itu mengungkapkan laku lancung perusahaan-perusahaan tekstil dan industri lainnya yang mencemari DAS Citarum sepanjang 269 kilometer. Ke-17 perusahaan itu menurut hasil audit BPK telah melakukan tindak pidana perlindungan dan pengelolaan lingkungan dengan cara membuang limbah tanpa Izin Pembuangan Limbah Cair (IPLC).

Atau jikapun memiliki, IPLC-nya sudah kadaluarsa. "Mereka juga membuang limbah cair yang melebihi baku mutu," kata anggota BPK Ali Masykur Musa ketika itu. Dari hasil audit itu BPK juga mengonfirmasi temuan BPLHD Jabar bahwa sepanjang tahun 2009, 2010, dan 2011 status air sungai Citarum tercemar berat.

BPK telah melakukan uji petik terhadap 7 kabupaten dan kota di DAS Citarum dan memperoleh 12 temuan pemeriksaan. Dua temuan diantaranya berindikasi tindak pidana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Temuan yang berindikasi tindak pidana lingkungan dilakukan oleh sejumlah perusahaan di Kabupaten Bandung dan Kabupaten Purwakarta dengan total 8 perusahaan yang membuang limbah tanpa IPLC atau IPLC kadaluwarsa.

Untuk wilayah Kabupaten Bandung ada PT Hansungtex Jaya, PT Cahaya Mitra Damai atau Indo Hasasi, PT Mega Duta Berkat Bersama dan PT Stockindo Kurnia Lestari. Sedangkan untuk wilayah Purwakarta ada PT Warna Unggul, PT MItra Catur Artha Mas, PT Nipsea Paint and Chemical dan PT prima Il Jo.

Di luar delapan perusahaan yang berindikasi pidana BPK juga menemukan 23 pabrik lainnya yang membuang limbah melebihi baku mutu lebih dari satu kali. Tujuh pabrik berada di Kabupaten Bandung, 16 di Bandung Barat. berbagai pabrik ini terindikasi melanggar UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Hanya saja menurut BNPLHD Jabar, perusahaan yang terindikasi melakukan pidana lingkungan ini jumlahnya mencapai 43 perusahaan. Semuanya saat ini sudah diberi sanksi administratif. Kepala BPLHD Jabar Anang Sudarna mengatakan, hari ini BPLHD sedang melakukan rapat evaluasi kinerja perusahaan-perusahaan tersebut.

Evaluasi tersebut digelar bersama Polda Jabar dan BPLHD kabupaten/kota se-Bandung Raya. "Dalam rapat ini akan disusun pula rencana jangka pendek terkait penanganan hukumnya," kata Anang. Ke-43 perusahaan itu melakukan berbagai pelanggaran, kebanyakan mereka tidak memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).

Temuan pemerintah ini kata Ashov menggambarkan bagaimana industri mengambil keuntungan dari sebuah sistem yang tidak menuntut aktivitas industri yang transparan. "Termasuk aktivitas pembuangan bahan kimia berbahaya dan dimana regulasi yang tidak memadai gagal untuk mencegah pembuangan bahan-bahan kimia berbahaya ke dalam lingkungan," ujarnya.

Kebijakan pemerintah Indonesia untuk mengatasi polusi air di Indonesia masih sangat bergantung pada pendekatan kontrol polusi (atur dan awasi-red), ketimbang pencegahan polusi. Sistem ini, kata Ashov, memiliki beberapa kelemahan diantaranya:

* Berdasar sepenuhnya pada baku mutu atau dengan kata lain mengizinkan keberadaan bahan berbahaya beracun sampai batas tertentu, bukan pencegahan penggunaan dan pembuangannya;

* Standard tersebut hanya meliputi parameter dan jenis bahan kimia yang terbatas; tidak merefleksikan kompleksitas limbah industri dan beragam bahan kimia berbahaya yang digunakan industri;

* Kurangnya kapasitas untuk mendeteksi pelanggaran dari aturan yang ditetapkan Pemerintah, serta respon cepat dan tegas saat pelanggaran terjadi;

* Kurangnya informasi hasil monitoring pembuangan limbah industri yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

Untuk keluar dari masalah ini, menurut Ashov, diperlukan pergeseran paradigma dari hanya pendekatan reaktif atur dan awasi seperti sekarang ini menuju pendekatan preventif. "Pendekatan Preventif mengatur agar penggunaan bahan kimia berbahaya beracun dihilangkan dari sumbernya, melalui skema produksi bersih dan substitusi secara progresif dengan bahan yang aman," katanya.

BACA JUGA: